FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
[/quote] Quote:
Kisah Pengajar Muda Desa Indong (1) �Jangan Hanya Mengutuk Kegelapan� Rahman Adi Pradana memiliki segala persyaratan untuk hidup nyaman. Adi�biasa ia disapa�tumbuh di kota besar dan mampu meraih dua gelar sarjana sekaligus dengan masa studi tepat waktu. Pada tahun 2009, ia lulus dari Fakultas Teknik Elektro ITB dengan IPK 3,28 dan Fakultas Ekonomi Unpad dengan IPK 3,66. Adi sedang menapaki jenjang karier pada sebuah perusahaan multinasional bergengsi di Jakarta sebelum memutuskan untuk mengikuti seleksi Indonesia Mengajar (IM) pada tahun 2010. Semua berawal ketika ia menemukan �panggilan� usai membaca iklan IM di sebuah surat kabar. Pemuda kelahiran 10 April 1986 itu lantas �berbelok� dan memasang tekad untuk menjadi Pengajar Muda (PM). Adi lolos seleksi. Saat ini, sudah setengah jalan ia menunaikan tugas mulia menjadi PM di sebuah daerah terpencil, tepatnya di desa Indong, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Adi mengaku betah dan menikmati peran sebagai �Pak Guru� bagi anak-anak di sebuah pulau kecil yang hanya memiliki pasokan listrik selama 4 jam setiap harinya itu. Tak ada yang salah dengan pekerjaan Adi di bidang marketing sebelum ia berhenti dan lalu memutuskan bergabun menjadi Pengajar Muda (PM). Adi mengatakan,�Sebenernya menurut saya pekerjaan saya keren, fun, dan challenging.� Di perusahaan tersebut, berbagai target yang hampir semuanya diukur dengan angka pun tak jarang juga membuat Adi harus bekerja dengan usaha 120 persen. Ini membuatnya sangat tertantang. Namun, setelah beberapa waktu, Adi kerap merasa ada yang kurang dari rutinitasnya.�Dari situ saya mulai galau-galau mode on, gitu,� lanjut pemuda kelahiran Padang tersebut. Iklan IM di harian Kompas kemudian menuntun Adi mencari tahu lebih dalam tentang seleksi menjadi PM. Dari sebuah milis, ia �menemukan� surat untuk anak-anak muda Indonesia yang ditulis Anies Baswedan.�Saya merasa Pak Anies kayak ngomong langsung. Selama 25 tahun saya hidup, kok kayaknya benar juga, nikmat benar hidup saya. Bisa kuliah di dua tempat, bisa kerja begini. Pikiran untuk hidup buat orang lain itu belum ada apa-apanya,� cerita Adi. Surat Anies Baswedan semakin membuatnya mantap.�Ok, Ini akan saya lakukan�. [/spoiler] Spoiler for open this:
Spoiler for open this:
Spoiler for open this:
Spoiler for open this:
![]() Ia juga menemukan fakta bahwa di tempatnya mengajar, ada anak yang sudah kelas 5 dan 6 SD, tapi masih belum bisa membaca. Ada pula yang sudah duduk di bangku SMK, namun masih kesulitan dalam menghasilkan tulisan tangan yang bisa terbaca dengan mudah. Mengajar di pelosok Maluku tak jarang membuat hati Adi bergetar. Kadang-kadang ia melihat ruang kelas di tempatnya mengajar tak jauh berbeda dengan sekolah dalam film Laskar Pelangi. �Bangunan sekolah tempat saya mengajar sudah hancur banget. Kalau hujan, pasti banjir, jadi kita harus mengungsi. Terus kalau libur, di dalam ruang kelas pasti sudah ada kambing,� cetus Adi. Namun, dalam berbagai keterbatasan itu, Adi tak ingin menyerah. Dua pesan yang paling diingatnya selama mengikuti training menjadi sumbu semangat. Meskipun kondisi pendidikan kita masih terpuruk, berpikir bagaimana mencoba turut serta mengatasinya jauh lebih baik daripada mengeluh tak berkesudahan. Adi menuturkan,�Jadi jangan hanya mengutuk kegelapan, tapi bagaimana caranya kita bisa membuat cahaya di kegelapan itu. Bisa menyalakan lilin. Itu yang Pak Anies bilang.� Pesan kedua yang tak pernah ia lupakan berasal dari salah satu pelopor Wanadri (Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung), Iwan Abdurrachman.�Abah Iwan sempat sharing ke kita. Dia bilang jangan jadikan tugas ini sebagai pengorbanan, tetapi kehormatan. (Bahwa) kita di sini melakukan sesuatu yang berdaya guna buat orang lain,� pungkas Adi. ![]() ![]() ![]() Terkait:
|
![]() |
|
|