FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Nasional Berita dalam negeri, informasi terupdate bisa kamu temukan disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Mahfud MD: Gedung Baru DPR Melanggar Rasa Kepantasan
Telan Dana Rp 1,8 Triliun, Kemarin Mulai Ditender JAKARTA - Para anggota DPR bersikukuh membangun gedung baru senilai Rp 1,8 triliun (untuk fisik saja Rp 1,1 triliun). Kritik dari berbagai kalangan tak digubris. Kemarin tender tahap I mulai dibuka. Sikap para wakil rakyat itu dikritik Mahfud M.D. yang kini menjabat ketua Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, pembangunan gedung dewan itu melanggar rasa kepantasan. ''Saya pernah di DPR. Menurut saya, gedung yang sekarang masih sangat baik,'' ujar Mahfud di gedung MK kemarin (31/8). Dia menilai, kengototan dewan melanjutkan pembangunan gedung baru tersebut sebenarnya hanya dilandasi semangat gagah-gagahan. ''Okelah kalau dibuat gagah-gagahan. Itu tidak melanggar hukum, tapi melanggar rasa kepantasan,'' imbuh Mahfud. Karena itu, dia mengharapkan sebaiknya proyek pembangunan gedung baru itu dipertimbangkan lagi lebih lanjut. Bahkan, Mahfud menyindir, walaupun gedung DPR dibangun sehingga menjadi lebih mewah dan gagah, itu tetap tidak akan memengaruhi kemampuan anggota dewan. ''Kemampuan mereka tidak akan meningkat. Pasti masih begitu-begitu saja,'' sindirnya kembali. Jadi, menurut dia, percuma fasilitas gedung dibenahi sedimikian rupa. Sebab, hal itu tidak akan berdampak signifikan kepada produktivitas kerja penghuninya. ''Asal mau kerja keras, produktivitas anggota sebenarnya tak perlu terganggu hanya karena gedung,'' tandasnya. Lebih lanjut, menteri pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid itu menambahkan, anggaran yang akan digunakan sebaiknya dialihkan untuk keperluan lain yang mendesak. Misalnya, untuk membantu korban bencana alam dan membangun gedung pengadilan di luar Jawa. ''Gedung pengadilan di luar Jawa itu masih sangat jelek. Atau, kalau tidak, untuk membangun rumah prajurit, itu lebih pantas. Mereka lebih memerlukan,'' tegasnya. Terhitung mulai kemarin (31/8), pendaftaran tender pembangunan awal fisik gedung yang meliputi tiga lantai basement dan satu lantai di atasnya tersebut mulai dibuka. Plafon anggaran yang sudah disepakati dalam APBN Perubahan 2010 adalah Rp 250 miliar. Rencananya, pembangunannya dimulai Oktober 2010. Pembangunan fisik gedung baru DPR yang diperkirakan memakan waktu tiga tahun itu akan menghabiskan dana sekitar Rp 1,1 triliun. Namun, anggaran itu belum termasuk untuk pengadaan. Ditambah dengan pemasangan jaringan teknologi informasi, furniture, dan keamanan, diperkirakan biaya seluruhnya Rp 1,8 triliun. Ketua DPR Marzuki Alie hingga kemarin bersikukuh pembangunan gedung baru berlantai 36 dan berbentuk huruf U terbalik itu diteruskan. Pembangunan ruangan kerja tiap anggota dewan seluas 120 meter persegi juga tetap akan diteruskan. ''Itu bukan untuk kami. Sebab, jika waktu dua atau tiga tahun selesai, yang menikmati tentu anggota DPR periode 2014-2019,'' ujar Marzuki. Saat ini, beber dia, setiap anggota dewan yang berjumlah 560 orang ditunjang satu tenaga ahli dan satu staf pribadi. Menurut dia, ada semangat yang makin kuat untuk menambah tenaga ahli menjadi empat orang per anggota. Jika ditotal, penghuni Gedung Nusantara I akan bertambah 2.240 orang. ''Memang akan tetap pro kontra. Tapi, ini sudah sewajarnya dibangun gedung baru yang lebih representatif,'' katanya. Terkait kabar fasilitas wah semacam fasilitas rekreasi dan kebugaran berupa spa, sauna, dan pijat, Marzuki membantah. Dia hanya mengakui, nanti memang ada ruang istirahat bagi anggota DPR. ''Tidak ada fasilitas spa dan pijat itu,'' tegas sekretaris Dewan Pembina DPP Partai Demokrat tersebut. Fasilitas istirahat sejenak itu, menurut dia, digunakan untuk mengantisipasi apabila anggota parlemen bekerja hingga larut malam. ''Semua fasilitas standar, hanya untuk memacu kinerja agar lebih tinggi, tetapi efisien dan efektif,'' imbuhnya. |
#2
|
||||
|
||||
![]()
RI Perlu Belajar dari Korsel
Oleh Kacung Marijan SERUAN agar Indonesia bersikap keras dalam menghadapi Malaysia belakangan semakin kuat, khususnya setelah mengetahui komentar perdana menteri Malaysia yang bernada ''mengancam''. Bahkan, ada yang menyerukan agar Indonesia memutus hubungan diplomatik. Masalahnya, apakah perselisihan itu harus diselesaikan melalui jalur ancam-mengancam atau sampai melakukan kekerasan? Untuk ini, ada baiknya kita belajar dari Korea Selatan (Korsel) dalam menghadapi Jepang. Dua negara tetangga itu juga tidak luput dari ketegangan-ketegangan sebagaimana Indonesia dan Malaysia. Jepang pernah menduduki wilayah Korea pada 1910-1945. Itu merupakan kurun waktu penindasan bangsa Jepang terhadap bangsa Korea. Khususnya pada tahun-tahun pengujung pendudukan, banyak perempuan Korea yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang. Pasca-Perang Dunia Kedua dan Korea menjadi dua bagian (Korea Utara dan Korea Selatan), hubungan Korsel dengan Jepang tetap tak lepas dari ketegangan-ketegangan. Hal itu tidak semata-mata terjadi karena hubungan historis tentang Jepang yang pernah menjajah, melainkan juga berkaitan dengan sengketa perbatasan. Di antara dua negara tersebut, laut Jepang, terdapat sejumlah pulau yang tidak berpenghuni. Orang Jepang menyebut Takeshima dan orang Korea menyebut Dokdo. Bagi keduanya, wilayah yang disengketakan itu tidak hanya berkaitan dengan integritas wilayah negara, melainkan juga menyangkut kehidupan nelayan di kedua negara yang mencari ikan di wilayah yang disengketakan. Dalam menghadapi Jepang, Korsel jelas tidak mengalah dan pasrah begitu saja. Ketika Perdana Menteri Junichiro Koizumi mengunjungi Kuil Yasukuni pada pertengahan Oktober 2005 untuk mengenang para tentara Jepang yang tewas pada masa perang, misalnya, Korsel melakukan protes keras. Perdana Menteri Koizumi dianggap tidak menghiraukan perasaan bangsa Korea yang pernah dijajah Jepang beberapa dekade. Semangat Melawan Selain sikap tegas, ada satu hal yang patut kita tiru dari Korsel dalam menghadapi Jepang. Yaitu, semangat untuk ''mengalahkan'' Jepang di luar peperangan ala militer. Korsel ingin mengalahkan Jepang di bidang ekonomi. Semangat itu, terutama, terjadi ketika Korsel dipimpin Park Chung-hee pada 1961 sampai 1979. Sebagai seorang jenderal militer, Park menyadari bahwa melawan Jepang melalui aksi militer jelas tidak mungkin. Dia melihat, perlawanan itu bisa dilakukan melalui jalur ekonomi. Caranya, Korsel harus menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan, melalui strategi industrialisasi. Untuk mengembangkan sektor industri, Park menggunakan instrumen negara yang kuat sebagai aktor utama, melalui beragam kebijakan industri. Dalam literatur strategi sering disebut pendekatan state lead to industrialization. Pendekatan itu berlawanan dengan yang dianut para pemikir liberal yang berargumentasi bahwa industrialisasi tersebut akan berkembang secara baik manakala prosesnya diserahkan kepada pasar (market lead to industrialization). Sebagai pemimpin yang otoriter, Park memimpin langsung industrialisasi itu. Para pengusaha dikumpulkan dan diarahkan. Pemerintah berusaha mencarikan modal untuk para pengusaha tersebut. Syaratnya, pengusaha itu harus mengikuti kebijakan-kebijakan industri yang telah ditentukan pemerintah. Yang tidak kalah penting adalah modal tersebut tidak dikorupsi. Usaha Park tidak sia-sia. Sejak beberapa dekade belakangan, Korsel telah menjelma menjadi negara industri terkemuka. Keberhasilan Korsel membangun sektor industri melalui kekuatan negara, khususnya pada awal-awal proses industrialisasi, telah menjadikannya sebagai salah satu developmental state di dunia. Di dalam negara demikian, negara memiliki kekuasaan dan otoritas yang cukup besar. Tapi, kekuatan itu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran warganya. Kondisi tersebut berlawanan dengan negara-negara lain yang juga memiliki kekuasaan serta otoritas besar. Tapi, yang dimiliki itu tidak digunakan untuk kemakmuran rakyat, melainkan untuk kepentingan para elite sendiri. Karena itu, negara-negara demikian sering disebut predator state. Penguatan Ekonomi Kondisi struktural Indonesia saat ini memang sudah berbeda dari Korsel pada 1960-an dan 1970-an. Indonesia tidak lagi memiliki kapasitas yang cukup besar untuk bertindak sebagai ''pemimpin'' dalam melakukan perlawanan melalui pengembangan ekonomi. Tapi, semangat ''nasionalisme'' sebagian elite dan masyarakat bisa menjadi modal. Para elite dan tokoh masyarakat bisa saja mengobarkan semangat untuk ''mengalahkan'' Malaysia melalui jalur non kekerasan, sebagaimana pernah dilakukan Park dan para penerusnya. Caranya, para elite harus memberikan teladan untuk bekerja keras dan serius serta tidak berpraktik korupsi. Sekiranya, anggaran sekitar 30 persen yang dikorupsi itu berkurang secara drastis, anggaran tersebut akan berfungsi sebagai stimulan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan rakyat secara berarti. Hal demikian juga akan melahirkan trust dari rakyat. Implikasinya, rakyat juga akan ikut bekerja keras dan bisa mengubah budaya tangan di bawah menjadi budaya tangan di atas. Selain itu, negara memang tidak lagi kuat. Tapi, negara tetap saja bisa bertindak sebagai dirigen melalui kebijakan-kebijakan yang lebih terarah, jelas, serta konsisten. Misalnya, pemerintah mengembangkan sektor industri manufaktur, pertanian, perkebunan, dan lainnya secara lebih terarah untuk menampung tenaga kerja. Sekiranya kebijakan-kebijakan semacam itu dibuat dan diimplementasikan secara konsisten, anak-anak muda yang sebagian besar berasal dari desa-desa tidak perlu pergi ke Malaysia. Di negeri sendiri mereka bisa memperoleh pekerjaan dengan upah yang memadai. Semoga. (*) |
#3
|
||||
|
||||
![]()
emang ga punya hati semua, yang dikejar kemewahan aja....
emang klo dah dikasi fasilitas kerja nya bisa bagus? |
#4
|
||||
|
||||
![]() ![]() |
#5
|
||||
|
||||
![]()
bner" tu dpr . ini ma sma aj pemerasan batin rakyat,1 triliun cukup lah buat d pake usaha mikro bwt rakyat kecil. mlah bsa mkin brkmbang prekonomian kita.parah
Posted via Mobile Device |
#6
|
||||
|
||||
![]()
setujuuu ama om mahfud
|
#7
|
||||
|
||||
![]()
anggota DPR sekarang sudah tidak punya hati nurani..seenaknya saja membangun gedung baru..coba lihat penderitaan rakyat..
|
![]() |
|
|