FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
||||
|
||||
![]() Quote:
![]() Secara visual, meskipun Cotopaxi hanya merupakan puncak tertinggi kedua diantara beberapa puncak pegunungan Andes yang terdapat di negara ini, posisinya menyebabkan pincak gunung ini seperti lebih dekat dengan matahari, sehingga banyak orang menyebutnya puncak gunung aktif yang paling dekat dengan matahari. Dari Quito, ibu kota Ekuador, jika hari cerah saya dapat melihat puncak-puncak pegunungan Andes dengan jelas dan sepertinya sangat dekat. Akhirnya saya memutuskan untuk menerima tantangan fisik yang mungkin paling berat dalam hidup saya, mencoba menaklukan salah satunya. Rata-rata ketinggian puncak-puncak Andes hampir 6,000 meter, sehingga bahkan yang dikatakan paling ringanpun pasti akan menguras stamina. Setelah mencari informasi dari sana sini saya bergabung dengan sebuah kelompok pendakian. Untuk menaklukan Cotopaxi kami memulai dengan kendaraan 4�4 untuk mencapai pos pendakian pada ketinggian 4.800 meter di lereng utara. Masih di atas mobil, pendakian yang sesungguhnya belum benar-benar dimulai, tapi saya sudah merasa seperti kehabisan nafas karena tingkat kerapatan udara yang rendah di ketinggian. Semakin tinggi pepohonan sudah tidak tampak lagi. Mobil yang kami tumpangi berjalan melintas padang rumput. Kemudian rumputpun sudah tidak ada lagi, hanya tinggal bebatuan dan kerikil. Pada ketinggian 4.500 meter mobil berhenti dan menurunkan kami. Sekarang andalan saya tinggal sepatu gunung yang membungkus kaki saya. Perjalanan bukan main beratnya, rasanya seperti sedang mengangkut sebuah kulkas besar sendirian. Kaki seperti tertanam di lumpur yang dalam, berat sekali untuk diangkat, sementara kerapatan udara yang tipis membuat nafas tersengal-sengal, seperti ada kerbau duduk di atas dada. Untungnya makan siang yang dirancang khusus untuk memberikan supply kalori dalam jumlah besar membantu saya untuk dapat mencapai glacier dimana kami beristirahat. Sore itu sambil beristirahat kami berlatih mengenakan crampon, sepatu khusus untuk melakukan pendakian di atas permukaan es. Pemandangan sore itu sangat indah. Kombinasi sinar matahari yang hampir tenggelan dengan lereng Cotopaxi yang kemerahan, dan perbukitan berwarna coklat kehijauan di bawah sana. Sebelum pukul 7 kami semua sudah terbungkus sleeping bag, mencoba beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Perjalanan selanjutnya akan dilakukan malam hari, karena pada siang hari terik matahari akan melunakkan salju sehingga pendakian menjadi lebih berbahaya. Tengah malam kami semua sudah siap untuk melanjutkan perjalanan menembus malam. Mulanya kami berjalan dalam barisan panjang yang terdiri dari 50an pendaki. Lampu-lampu kota Quito nampak indah dikejauhan, seperti melihatnya dari atas pesawat. Tapi pada malam yang cerah di ketinggian, gemerlapnya kalah oleh bintang-bintang yang rasanya sangat dekat di atas kepala. Setelah satu jam perjalanan kami mencapai glacier dimana kami mulai menggunakan crampon untuk berjalan di atas salju. Kadang-kadang kaki terbenam di dalam salju sampai setinggi lutut. Udara dingin membuat hidung saya meler sementara ketingguan membuat kepala terasa seperti terhimpit. Setiap saya melirik ke atas gunung yang gelap dengan kelip-kelip senter para pendaki hati saya semakin kecut menyadari perjalanan berat ini masih sangat panjang. Satu langkah, disusul langkah berikutnya yang semakin berat, langkah berikutnya yang lebih berat lagi, bagaimana jarak sejauh itu bisa ditempuh jika mengankat kaki untuk satu langkah saja rasanya sudah sangat berat. Saya belum pernah merasakan kelelahan separah ini. Badan sepertinya sudah menangis dengan air mata darah minta istirahat. Tiba-tiba muncul seberkas sinar keemasan. Sudah pagi! Rasanya seperti ada suntikan tenaga baru, seperti korban kapal tenggelam yang melihat daratan setelah berhari-hari terapung di lautan, saya lebih bersemangat menjejakan kaki saya. Semakin terang saya melirik ke belakang. Saya terkaget-kaget sendiri melihat betapa terjalnya lereng yang baru saja saya daki. Tapi pemandangan yang membuat saya terkesima adalah melihat bayangan sisa gunung Cotopaxi yang berlum terdaki di hamparan awan yang sekarang berada di bawah saya. Perjuangan belum berakhir, tanjakan demi tanjakan masih harus dilalui. Setiap menghadapi satu tanjakan saya berharap itu menjadi tanjakan yang terakir, tapi ternyata masih ada lagi dan ada lagi. Setelah saya hampir berhenti berharap kami sampai di tempat datar berukuran sekitar sebesar lapangan basket dimana puluhan orang berkerumun. Puncak! Tenaga saya rasanya seperti terkuras habis, tapi saya masih memaksakan diri berjalan mengelilingi puncak yang diselimuti salju, memandang sekeliling dan menikmati rasanya berada di atap dunia. Diantara hamparan awan yang menyerupai karpet lembut menyembul puncak-puncak Andes lainnya seperti Chimborazo, Cayambe dan Antisana. Sudah waktunya bersiap-siap untuk turun. Setelah pendakian yang melelahkan selama 6 jam, saya kanya sempat meniklati keindahan di puncak selama sekitar 10 menit saja. Tapi meskipun sangat pendek tentu akan menjadi kenangan yang sangat membekas. |
#2
|
||||
|
||||
![]()
pengen ke gunung salju,,,
![]() |
#3
|
|||
|
|||
![]()
KEREN LANDSCAPE-NYA...
![]() ![]() ![]() |
#4
|
|||
|
|||
![]()
gosipnya disana banyak tinja manusia
![]() ![]() ![]() |
![]() |
|
|