FAQ |
Calendar |
SEARCH |
Today's Posts |
#1
|
|||
|
|||
Politik dan Partai Politik dalam Islam
Al-Mawardi (Politikus Islam) Islam mengandung ajaran yang berlimpah tentang etika dan moralitas kemanusiaan, termasuk etika dan moralitas politik. Karena itu, wacana politik tidak bisa dilepaskan dari dimensi etika dan moralitas. Melepaskan politik dari gatra moral-etis, berarti mereduksi Islam yang komprehensif dan mencabut akar doktrin Islam yang sangat fundamental, yakni akhlak politik. Dengan demikian, muatan etika dalam wacana politik merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan. Asas asas sistem politik Islam ialah:Al-Mawardi, ahli politik Islam klasik terkemuka (w.975 M) merumuskan syarat-syarat seorang politisi sebagai berikut:
Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan umat kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari’at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. la bertujuan untuk menyimpulkan segala sudut Islam yang syumul melalui satu institusi yang mempunyai syahksiyyah untuk menerajui dan melaksanakan undang undang. Pengertian ini bertepatan dengan firman Allah yang mafhumnya: “Dan katakanlah: Ya Tuhan ku, masukkanlah aku dengan cara yang baik dan keluarkanlah aku dengan cara yang baik dan berikanlah kepadaku daripada sisi Mu kekuasaan yang menolong.” (AI Isra’: 80) 1. Hakimiyyah Ilahiyyah Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah. Tidak mungkin ianya menjadi milik sesiapa pun selain Allah dan tidak ada sesiapa pun yang memiliki suatu bahagian daripadanya. Fir man Allah yang mafhumnya: “Dan tidak ada sekutu bagi Nya dalam kekuasaan Nya.” (Al Furqan: 2) “Bagi Nya segaIa puji di dunia dan di akhirat dan bagi Nya segata penentuan (hukum) dan kepada Nya kamu dikembalikan.” (A1 Qasas: 70) “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (A1 An’am: 57) 2. Risalah Jalan kehidupan para rasul diiktiraf oleh Islam sebagai sunan al huda atau jalan jalan hidayah. Jalan kehidupan mereka berlandaskan kepada segala wahyu yang diturunkan daripada Allah untuk diri mereka dan juga untuk umat umat mereka. Para rasul sendiri yang menyampaikan hukum hukum Allah dan syari’at syari’at Nya kepada manusia. Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah dan larangan Rasulullah s.a.w. Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah perintah Rasulullah s.a.w dan tidak mengambil selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara mereka. Firman Allah yang mafhumnya: “Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kamu, maka tinggatkanlah.” (Al Hasyr: 7) “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah.” (An Nisa’: 64) “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang orang mu’min, akan Kami biarkan mereka bergelimang daiam kesesatan yang telah mereka datangi, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu adalah seburuk buruk tempat kembali.” (An Nisa: 115) “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisa’: 65) 3. Khalifah Khilafah berarti perwakilan. Dengan pengertian ini, ia bermaksud bahwa kedudukan manusia di atas muka bumi ialah sebagai wakil Allah. Ini juga bermaksud bahawa di atas kekuasaan yang telah diamanahkan kepadanya oleh Allah, maka manusia dikehendaki melaksanakan undang undang Allah dalam batas batas yang ditetapkan. Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang sebenarnya. Firman Allah yang mafhumnya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi… “ (Al Baqarah: 30) “Kemudian Kami jadikan kamu khalifah khalifah di muka bumi sesudah mereka supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Yunus: 14) Dalam hal ini memang ada dua titik ekstrem dikalangan umat Islam. Pertama, kaum sekuleris yang beranggapan bahwa: Islam Yes Partai atau Politik Islam No. Kedua, sebagian aktifis gerakan atau aliran keislaman yang membidahkan partai Islam karena mereka beranggapan tidak ada contohnya dimasa Rasul SAW. Islam adalah agama yang sempurna (QS 2:208), mencakup aspek diin (agama) dan daulah (negara). Dan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan pemimpin Islam selanjutnya -jika kita menggunakan konteks sekarang- adalah para pemimpin negara. Hukum-hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnahpun sebagian besarnya tidak mungkin diterapkan kecuali dalam ruang lingkup negara. Disebutkan dalam literatur Islam bahwa tugas pemimpin adalah hirasatudin wa siyasatudunya bihi (memelihara agama dan menegatur urusan dunia dengan aturan agama ) (Al-Mawardi dalam Al-Ahkaam As-Sulthoniyah hal 3). Jadi mengatur segala urusan dunia(negara) adalah politik. Jika kita kembali kepada ayat-ayat Alquran maka kita akan menemukan banyak kisah-kisah yang sarat dengan dunia perpolitikan seperti kisah Ibrahim AS vs Namrud, Musa AS vs Firaun, Thalut vs Jalut dan Rasullulah SAW vs kuffar Quraisy, Yahudi dan Nasrani. Ini semua berkaitan dengan dimensi politik, namun kita bisa membedakan siapa diantara mereka yang selalu menegakkan nilai-nilai kebenaran dan yang selalu membaking nilai-nilai kebatilan (QS 9:32). Imam Al-Bujairimi dalam kitabnya at-Tajrid linnafi al-abid vol 2, hal 178 berkata: Siyasah adalah memperbaiki dan merencanakan urusan rakyat. Ibnul Qoyyim dalam kitabnya ilamul Muaqiin vol 4 hal 375 membagi siyasah menjadi dua, siyasah shohihah (benar) dan siyasah fasidah (salah), siyasah yang benar adalah bagian dari syariah. Maka bernegara, mengangkat pemimpin dan berpolitik adalah kewajiban yang disepakati ulama. Apabila politik ini merupakan kendaraan atau sarana untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan dan keindahan yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul SAW. Setiap muslim wajib melakukan gerakan dakwah dengan seluruh potensi yang dimilikinya sebagai mana yang pernah dilakukan oleh para nabi dan salafu shalih berikutnya. Bahkan berdakwah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang dholim merupakan jihad yang paling utama. Hanya saja media apa yang paling tepat pada saat ini untuk menyuarakan kemarufan itu dan membrangus kebatilan ? Kami yakin bahwa kita semua sepakat media dakwah yang paling ideal pada saat ini di Indonesia- adalah lembaga atau institusi formal. Institusi formal yang dapat digunakan untuk dakwah diantaranya: Sekolah, Pesantren, Yayasan Sosial dll. Salah satu lembaga yang penting adalah orpol (organisasi politik) atau partai politik. Anehnya ada sebagian umat Islam atau sebagian kelompok Islam yang membidahkan partai politik atau berdakwah lewat partai politik. Lalu apakah mendirikan, sekolah dan yayasan sebagai sarana dakwah adalah bidah? Apakah pesantren atau berdakwah melalui pendidikan di pesantren juga bidah ? Karena pesantren tidak ada dimasa Rasulullah SAW. Apakah berdakwah melalui mas media cetak maupun elektronik juga bidah ? Karena kebanyakan masmedia milik umat non Islam. Apakah berdakwah melalui komputer itu bidah ? Karena komputer itu produk umat non Islam. Partai politik, yayasan, pesantren, mas media dan komputer adalah sarana. Disini justru umat Islam dianjurkan untuk melakukan ibda (kreatifitas) dalam hal sarana dan metodologi dakwah sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi itu semua harus sesuai dengan koridor Islam. Dalam alam demokrasi salah satu dakwah yang paling penting dan efektif adalah dakwah melalui partai politik. Karena nilai-nilai Islam dapat diperjuangkan dilembaga-lembaga tinggi negara. Di lembaga legislatif dalam bentuk undang-undang, di lembaga eksekutif dalam bentuk pelaksanaan undang-undang tersebut dan di lembaga yudikatif dalam bentuk kontrol terhadap undang-undang. Memang dalam suatu negara yang bercirikan kerajaan tidak dapat membuat partai politik dan itu dibidahkan oleh raja dan seluruh jajarannya. Di Saudi misalnya, berpartai dan berpolitik adalah bidah dan haram hukumnya, sedangkan di Indonesia di masa Orde Baru partai politik hanya sekedar alat yang dijadikan kendaraan politik rezim Soeharto untuk melanggengkan kekuasannya. Lalu apakah kita akan mengikuti raja atau presiden yang kekuasaannya seperti raja, atau mengikuti ulama yang loyal kepada raja dan kerajaan atau mengikuti Alquran dan Sunnah ? Kalau kita ingin mengikuti Alquran dan As-sunnah maka disana ada hizbullah (partai Allah) (QS 5 : 54-56), dan umat Islam wajib wala kepada partai Allah atau partai Islam tersebut. Wallahu alam bishawab. sumber : Politik dalam Islam Indra’s Blog Partai Politik dalam Islam |
#2
|
||||
|
||||
ah. ane kira ga ada politik islam. islam bis disesuaikan dengan sistem politik manapun
|
|
|