PDA

View Full Version : (FOTO) ATC membantah Terbang di Indonesia seperti di Neraka (WHY)


belanjayuk
27th May 2012, 06:29 PM
Foto terkait Musibah kecelakaan Sukhoi Superjet 100



1. Kartu Tanda Penduduk milik seorang penumpang yang ditemukan di lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi, 11 Mei 2012. Foto: dok. Mapala UI



http://cdn-u.kaskus.co.id/72/gknye7gj.jpg



2. Kartu identitas karyawan Sky Aviation yang ditemukan di lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi di Gunung Salak, 11 Mei 2012. Foto: dok. Mapala UI



http://cdn-u.kaskus.co.id/72/o5ckbm4w.jpg



3. Kartu ATM atas nama Ganis Arman Zuvianto di Lokasi Jatuhnya Pesawat Shukoi di Gunung Salak, 11 Mei 2012. Foto: dok. Mapala UI



http://cdn-u.kaskus.co.id/72/xovgidas.jpg



4.Sebuah laptop dan beberapa serpihan barang milik penumpang Sukhoi Superjet-100 ditemukan oleh tim relawan 37 di Puncak Salak 1, Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/5). REUTERS/Duyeh Cidayu



http://cdn-u.kaskus.co.id/72/dquppxgd.jpg






[/quote]





TEMPO.CO, Jakarta - Mantan General Manager Air Traffic Service (ATS), Weda Yuwana, membantah bahwa sistem komunikasi udara di Indonesia sudah tidak layak pakai. �Itu tiga tahun lalu, mungkin. sekarang sudah bagus dan tidak ada masalah,� kata Weda kepada Tempo, Sabtu 12 Mei 2012. Weda baru saja pensiun pada awal April lalu dan belum memiliki pengganti.



Sebelumnya pilot Garuda Indonesia Jeffrey Adrian mengatakan beberapa pilot asing pernah mengungkapkan pernyataan mengejutkan. "Kata mereka, terbang di Indonesia seperti di neraka," ujarnya dalam diskusi yang digelar di Jakarta Pusat.



Pilot menyebutnya sebagai neraka karena saat melintasi Indonesia komunikasi antara pesawat dan menara pengawas kerap terganggu. Sinyal radio dan operator telekomunikasi kerap menembus kokpit. (Baca: Pilot: Terbang di Indonesia Seperti Neraka)



"Tak jarang saya mendengar musik dangdut, jazz, dan percakapan dua orang sedang komunikasi via telepon di atas pesawat," ujarnya. Bahkan ia mengaku pernah mendengar phone sex dalam suara yang menyelinap ke alat komunikasi di pesawat.



Penyebabnya adalah banyak pemancar yang mengekspansi cakupan jaringan dengan cara yang tidak semestinya. "Harusnya kan yang ditambah menara pemancar, bukan kekuatan(sinyal)-nya," ujar dia.



Menurut Weda, kejadian seperti itu bukanlah kesalahan alat ATC, tapi Balai Monitoring (Balmont) yang mengurus perizinan frekuensi. Tiga tahun yang lalu belum ada perjanjian kerja sama antara Balmont dan ATC. �Sekarang sudah bekerja sama. Jadi jika ada gangguan langsung bisa dilaporkan ke sana,� ujarnya.



Munculnya suara-suara tersebut juga bukan karena gangguan dari provider dan stasiun radio legal. �Itu karena ada radio gelap. Dengan yang legal tidak ada masalah,� kata Weda. Gangguan kerap terjadi seperti di Indramayu dan Cirebon.



Saat ini, sistem pada Jakarta Automatic Air Transport System (JAATS) sudah diberlakukan secara berlapis dan selalu disiapkan data back up yang dipasang oleh Kementerian Perhubungan. �Jadi sudah dijamin tidak akan ada masalah,� katanya.



Selain infrastruktur, Weda menjelaskan sumber daya manusia yang tersedia juga sudah memadai. �Sudah ideal, kemarin juga baru ada penambahan personel,� Weda berujar. Idealnya, satu orang staf ATC bisa melayani 14 sampai 15 pesawat dalam satu waktu. �Jadi itu tergantung pada kemampuan masing-masing orang. Kan beda-beda,� ujarnya.



Mengenai kemungkinan radar rusak ketika pesawat Sukhoi jatuh, Weda tidak mau berpekulasi. �Investigasinya harus tuntas dulu, bisa karena banyak faktor. Yang pasti sejak tiga tahun lalu infrastruktur kami sudah membaik,� kata Weda.














Halah busyeh, kok bisa komunikasi tergganggu dengan komunikasi lain (Alias Frekuensi Nyasar). :cd:

"Tak jarang saya mendengar musik dangdut, jazz, dan percakapan dua orang sedang komunikasi via telepon di atas pesawat," ujarnya. Bahkan ia mengaku pernah mendengar phone sex dalam suara yang menyelinap ke alat komunikasi di pesawat".







Ternyata, ini sebab ELT (Emergency Locator Transmitter) Sukhoi Tak Terdeteksi






[quote]





TEMPO.CO , Bogor - Pakar telematika Roy Suryo menyatakan Emergency Locator Transmitter (ELT) pesawat Sukhoi Superjet 100 yang berhasil ditemukan oleh tim SAR gabungan masih menggunakan frekuensi lama, sehingga sinyal saat terjadinya kecelakaan pesawat tersebut tidak bisa terdeteksi.



"Pesawat Sukhoi Superjet 100 ini masih menggunakan ELT frekuensi lama di 105 VHF. Di Indonesia rata-rata 406 VHF," kata Roy di posko helipad Pasir Pogor, Cijeruk, Kabupaten Bogor, Senin 14 Mei 2012.



Menurut Roy, ELT sendiri dulunya bernama Emergency Locator Beacon (ELBA). Alat tersebut merupakan standar penerbangan sipil karena saat terjadi kecelakaan pesawat dengan tekanan di atas lima, secara otomatis alat tersebut akan memancarkan frekuensi.



"ELT ada tiga jenis, ELT untuk pendaki gunung, kapal laut, dan pesawat. Itu otomatis on. Pertanyaan kenapa ELT tidak terdengar sama sekali, sekarang terjawab sudah," katanya.



Roy Suryo yang ikut dalam rombongan KNKT dan Badan SAR Nasional ke posko evakuasi menyatakan yang menjadi panduan Indonesia dalam panduan monitor sateli, adalah memonitor frekuensi di 406, tapi ternyata ELT yang digunakan pesawat Sukhoi ini masih menggunakan ELT dengan frekuensi lama, yaitu di 105.



"Akibatnya, tidak lagi termonitor karena frekuensi 105 menggunakan VHF, yang jenis pancarannya lurus. Kalau kemarin on, tapi terhalang oleh gunung, itu tidak terdeteksi," ujar Roy. "Kalau 406, itu akan terdeteksi minimal di Australia atau Singapura."







</div>