Login to Website

Login dengan Facebook

 

Post Reply
Thread Tools
  #1  
Old 18th November 2010
Ulama
Ceriwis Lover
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 1,239
Rep Power: 16
Ulama mempunyai hidup yang Normal
Default Tulisan Dari Temen

Memudikan Kemanusiaan

Setiap tahun kita melewati 1 Syawal Hijriah. Umat Islam merayakannya sebagai Hari Raya Idul Fitri. Dan kita selalu menyaksikan (dan melakukan) gerakan massal manusia bernama, tradisi �mudik Lebaran�.
Tidak ada gerakan yang sebegitu kolosal melebihi tradisi mudik Lebaran. Jutaan manusia bergumul bergerak serentak (bertahap) menuju kampung halaman. Tak sedikit yang harus melintasi jarak ribuan kilometer, bahkan melintasi lautan dan baris kepulauan. Seakan fakta lapang tersebut tidaklah berarti.
Nilai kemanusiaan telah mendorong manusia melakukan mudik lebaran. Kecintaan, kasih sayang dan rindu akan kampung halaman beserta keluarga menjadikan manusia rela melakukan apa saja untuk memenuhinya. Sehingga tradisi mudik menghadirkan sebuah paradoks. Atas dasar nilai kemanusiaan, manusia melakukan mudik Lebaran. Tetapi dalam prosesnya manusia telah merendahkan nilai kemanusiaan yang lain. Dengan mengabaikan keselamatan diri dan juga orang lain, para pemudik bersedia berdesakan dalam kendaraan umum yang fasilitasnya kurang memadai. Dan bahaya kecelakaan pun siap menyambut.
Bisa dikatakan, tradisi mudik Lebaran merupakan cerminan terhadap kemampuan manusia dalam melintasi batas-batas. Dan dalam melintasi batas-batas tersebut sadar-tidak sadar manusia telah melihat dan merekam keadaan dari batas-batas yang dia lintasi. Misalnya orang Madura yang hidup dan mencari nafkah di Jakarta. Ketika dia mudik ke Madura, sedikit-banyak dia akan membandingkan keadaan Jakarta, Madura dan daerah-daerah lain yang dia lintasi. Selayaknya dia akan sadar bahwa batas-batas telah menciptakan kesenjangan yang nyata. Batas-batas yang pada hakikatnya berfungsi sebagai identitas dan identifikasi, malah menjadi pemisah yang menjauhkan kita satu sama lain. Kedaerahan, keetnisan, strata ekonomi, identitas politik, dan agama, telah menjadi kurungan-kurungan yang memisahkan dan menjauhkan kita dari persamaan nilai kemanusiaan.
Setahun kita asyik berada dalam aturan kurungan batas-batas tersebut. Kita merasa nyaman dan bangga berada dalam (batas) identitas, dibandingkan sebagai persamaan hal yang ada di baliknya. Kita lebih merasa sebagai Si Jakarta, Si Madura atau Si daerah lainnya; sebagai Si Minang atau Si etnis lainnya; sebagai Si Kaya atau merasa sebagai Si Miskin; sebagai Si Islam, Si Kristen atau Si umat agama lainnya; sebagai bagian Partai A atau Partai lainnya. Menjadikan kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan agama terus terpelihara.
Karena itu, prosesi mudik Lebaran hendaknya kita jadikan momen untuk mencoba terbuka terhadap (batas) identitas lain. Keluar dari kurungan keidentitasan kita. Mencoba mengulurkan jabat tangan, mencurahkan rasa maaf dan kasih sayang, kepada orang-orang �lain�. Orang-orang yang mempunyai kurungan batas identitas yang berbeda.
Selama ini, curahan rasa maaf dan kasih sayang hanya diperuntukan kepada keluarga di kampung halaman, yang sifatnya primordial. Ke depan, hendaknya curahan rasa maaf dan kasih sayang bisa diperuntukan kepada semua manusia.
Melalui mudik Lebaran, keidentitasan yang menyertai diri, kita jadikan pembanding untuk memahami kesenjangan yang ada. Berusaha untuk merapatkan kesenjangan yang mengangga lebar. Dengan begitu, keidentitasan kita yang selama ini lebih bersifat membatasi dan menjauhkan satu sama lain, bisa kita lampaui, menuju nilai kemanusiaan kita yang universal. Memudikan kemanusiaan. []

MOHON MAAF LAHIR & BATIN

USEP HASAN SADIKIN
Depok, 26 Ramadan 1428 H
www.melintasbatas. blogspot. com

Sponsored Links
Space available
Post Reply

« Previous Thread | Next Thread »



Switch to Mobile Mode

no new posts