Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > News > Surat Pembaca

Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 11th March 2016
Gusnan's Avatar
Gusnan Gusnan is offline
Moderator
 
Join Date: Jun 2013
Posts: 27,623
Rep Power: 47
Gusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyak
Default Anomali Itu Bernama Ahok

PRIYOMBODO Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.






Ahok itu anomali. Ia mendekonstruksi kemapanan politik di negeri ini. Ia berjalan di luar segala kelaziman seorang politisi. Anehnya, popularitas dan elektabilitasnya begitu tinggi.
Sebagai seorang politisi, apa yang bisa diharapkan partai politik dari seorang Ahok?
Tutur katanya jauh dari manis. Ia sama sekali tidak mencerminkan kepiawaian komunikasi silat lidah ala politisi. Ia seolah tak mempunyai perbendaharaan kata yang memikat hati.
Kata-katanya to the point, pedas, tak enak didengar. Banyak orang yang marah dibuatnya. Ruang-ruang politik acap kali dibuatnya begitu gaduh.
Ia juga bukan seorang politisi yang baik dari caranya mengelola relasi-relasi politiknya. Akademisi politik Andrew Heywood mengasumsikan politik selalu terkait dengan kompromi dan konsensus.
Keduanya adalah cara dalam menyelesaikan berbagai persoalan secara politis. Kita pun mafhum, warna politik Indonesia selama ini sangat sarat dengan beragam bentuk kompromi.
Nah, di kepala Ahok sepertinya tidak ada diksi kompromi. Ia keluar dari partai pengusungnya, Gerindra, karena tidak mau berkompromi dengan sikap partai yang menginginkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tentang Ahok, Gerindra seperti membesarkan anak macan.
Ia juga mendekonstruksi relasi eksekutif dan legislatif yang sepanjang sejarah gubernur-gubernur sebelumnya selalu "adem tentrem kertaraharja". Ia tidak mau berkompromi soal pengelolaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang dinilainya tidak patut.
Seorang eksekutif yang tidak memiliki sokongan partai bertikai secara terbuka dengan hampir semua partai di legislatif. Lazimnya, eksekutif memiliki kepentingan untuk menjaga relasinya dengan legislatif. Kedua pihak saling membutuhkan dalam tugas mereka masing-masing.
Belakangan, Ahok kembali "berulah". Ia berniat maju dalam Pilgub DKI Jakarta melalui jalur independen dengan menggandeng Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Heru Budi Hartono.
Pendukungnya adalah tim relawan Teman Ahok. Keputusan ini adalah pertaruhan besar. Dengan segala sepak terjangnya, Ahok tidak mau mengambil risiko jika parpol membatalkan pencalonan dirinya. Keputusan ini kembali memanaskan diskursus ruang politik kita.



Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarrta, Senin (18/1) memeriksa Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Damayanti Wisnu Putranti (DWP). Damayanti menjalani pemeriksaan perdana setelah melalui operasi tangkap tangan (OTT). terkait kasus proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2016.

Deparpolisasi
Menanggapi langkah Ahok, Sekretaris DPD PDI-P DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menilai ada upaya deparpolisasi yang dibangun di Indonesia. Langkah Ahok di jalur independen dianggap meniadakan peran partai politik dalam pemilihan kepala daerah.
"Deparpolisasi ini bahaya dan PDI-P pasti akan melawan deparpolisasi," kata Prasetio di Gedung DPRD DKI, Selasa (8/3/2016).
Menyaksikan sepak terjang partai dan para politisi Tanah Air, kita akan mudah tergoda pada gagasan mendukung deparpolisasi. Dua partai politik besar saat ini tengah bertikai dalam soal kepengurusan. Sejumlah politisi Senayan kembali dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara, di sudut yang lain, kita juga capek hati melihat para politisi yang memanfaatkan media untuk memilin dan menafsirkan kebenaran versi mereka sendiri.
Seolah ada yang hilang dari sistem perpolitikan negeri ini: hati nurani.
Langkah Ahok di jalur independen seperti mencerminkan bahwa kita memang tidak memerlukan partai politik sebagai mekanisme pemilu. Terlebih lagi, popularitas dan elektabilitas Ahok tinggi.
Survei yang dilakukan Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI) mendapatkan, popularitas Ahok mencapai 98,5 persen, sedangkan tingkat elektabilitasnya 43,5 persen.


Elektabilitas yang tinggi juga didapati oleh Populi Center, yaitu 59 persen.
Kita harus sepaham dengan pernyataan Prasetio yang menyebut bahwa segala upaya deparpolisasi harus dilawan. Namun, menyebut ada upaya deparpolisasi di balik langkah Ahok adalah berlebihan, kebakaran jenggot yang keterlaluan.
Deparpolisasi justru terjadi di dalam partai politik sendiri oleh sepak terjang para politisinya yang menelikung hati nurani publik.
Partai politik
Eksistensi partai politik dalam sistem demokrasi kita sudah final. Tidak bisa ditawar. Partai politik merupakan salah satu tiang penyangga demokrasi. Penihilan partai politik sama saja dengan menghapus sistem tata kenegaraan kita. Kita tidak sedang membutuhkan revolusi atas sistem yang telah disepakati oleh para bapak bangsa pendiri republik ini.
Kader-kader pemimpin daerah yang lahir dari rahim partai politik tidak semuanya buruk. Kita mengenal Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dari PDI-P yang menorehkan prestasi sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia pada 2015 World Mayor.
Presiden Joko Widodo yang mengukir prestasi di Solo dan Jakarta adalah juga kader PDI-P. Di Kabupaten Banyuwangi, kader muda Partai Kebangkitan Bangsa Azwar Anas juga banyak menuai pujian. Azwar kini menduduki periode kedua sebagai bupati.
Di pihak lain, mekanisme jalur independen adalah sah, dimungkinkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang.

Kartono Ryadi JB Mangunwijaya.

Hati nurani
Jalur independen tidaklah harus dimaknai sebagai upaya deparpolisasi. Hal itu harus dipahami sebagai ruang alternatif untuk bernapas bagi kebuntuan hati nurani yang mungkin sedang tidak bersinar dalam sistem internal kepartaian di Indonesia.
Mereka yang menempuh jalur independen juga harus menjaga agar koridor partai tidak dinisbikan. Para politisi yang memilih jalur ini hendaknya juga menjaga kehormatan partai politik. Tidak melecehkannya.
Pilihan pada jalur partai atau independen sama sekali tidak mengatakan soal baik atau buruknya seorang calon. Publik memiliki wisdom-nya sendiri untuk memilih siapa pemimpin mereka. Publik memiliki hati nurani untuk memilah mana pemimpin yang berwatak jujur dan tidak jujur.
Almarhum JB Mangunwijaya atau Romo Mangun mengingatkan dalam bukunya Menjadi Generasi Pasca-Indonesia bahwa hati nurani manusia memiliki kemampuan untuk menemukan kebenaran secara intuitif. Bagi Mangun, batas kebenaran adalah segala sesuatu yang memperkaya kemanusiaan, bukan menghancurkannya.
Mungkin benar yang pernah dikatakan mantan pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev, "Politisi itu sama saja di mana-mana. Mereka berjanji membangun jembatan, bahkan di tempat yang tidak ada sungai."
Adakah di negeri ini politisi yang berada di luar kriteria Khrushchev?

Tentang Jakarta, penduduk kota ini memiliki kecerdasan yang cukup untuk melihat dengan nuraninya siapa politisi macam itu.

Reply With Quote
Reply

Thread Tools

Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 03:18 PM.