FAQ |
Calendar |
SEARCH |
Today's Posts |
|
Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk. |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
Haram & Hukum pun Rukun
Selasa, 4 Januari 2011 - 12:22 wib
KASUS mafia pajak yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan (Ditjen Pajak Depkeu) sangat mencengangkan sepanjang 2010 hingga awal 2011 ini. Sosok pegawai Ditjen Pajak golongan IIIA, Gayus Tambunan dinobatkan menjadi 'aktor' utama dalam perkara melanggar hukum yang merugikan negara ini. Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Gayus dituntut dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Gayus berseloroh dirinya sudah memperkirakan bakal dituntut hukuman seberat itu. Menariknya, Gayus juga menyebut Indonesia bersih dari korupsi hanya impian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja. Wajar Gayus melontarkan isu hatinya tersebut. Dia bukanlah otak di balik suap-menyuap di lingkungan Ditjen Pajak. Sungguh tidak masuk akal bila hanya Gayus yang dinyatakan sebagai terdakwa. Padahal ada indikasi enam modus penyelewengan di Ditjen Pajak yang berpotensi merugikan negara. Modus-modus tersebut sudah dibeberkan kepada penyidik Mabes Polri, namun tidak ditindaklanjuti. Lantas mengapa hanya Gayus yang paling disalahkan? Mengapa Brigjen Pol Edmond Ilyas dan Kombes Pambudi Pamungkas dinyatakan tidak terbukti? Kemudian tidak disidiknya jaksa Cirus Sinaga dan Fadil Regan dengan alasan keduanya tidak menerima uang. Timbul pertanyaan dalam pikiran orang awam seperti disampaikan Gayus, apa memang Dirjen Pajak bersih atau kepolisian tidak sanggup memproses? Entahlah mengapa mafia pajak ini hanya melibatkan Gayus, meski sudah terjadi sekian lama. Hanya saja, ada pepatah tidak ada maling yang bersedia dengan kesadaran hati mengakui perbuatannya. Bila maling atau pelanggar hukum mengakui perbuatannya, maka penjara di Indonesia tidak bisa menampung. Inilah yang sepertinya terjadi dalam kasus suap-menyuap yang berjudul 'Mafia Pajak'. Artinya tidak semua orang yang benar-benar terlibat bisa menghuni sel layaknya Gayus. Dengan demikian bisa disimpulkan haram dan hukum pun bisa rukun beriringan. Aturan manapun menyebutkan suap hukumnya haram. Maksud haram adalah bila suap yang diberikan seseorang untuk menghilangkan suatu hak atau mengukuhkan kebatilan. Situasi ini terjadi dalam kasus yang melibatkan Gayus. Rasa kemanusiaan dan sumpah jabatan pun terlindas. Tawar-menawar dan negosiasi ilegal sudah menjadi sesuatu yang dihalalkan dalam negara yang memiliki hukum ini. Semua pelaku tidak memiliki hati nurani dan iman untuk melakukan suap menyuap. Sebelum menjadi penegak hukum dan PNS, mereka sudah tahu suap untuk menghilangkan suatu hak atau mengukuhkan kebatilan hukumnya haram. Bila suap hukumnya haram, maka pemberi dan penerima harus diseret ke meja hijau. Kemudian adilkan juga semua orang yang mengetahui adanya suap-menyuap namun tidak melaporkannya ke aparat penegak hukum. Bukan hanya Gayus yang pantas dijadikan aktor. Dia hanya pegawai negeri sipil (PNS) biasa yang tidak bisa mengambil keputusan dalam "persoalan pajak". Diperlukan profesionalitas penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan dalam menuntaskan kasus ini. Bila ada skenario dalam menentukan tersangka, penegak hukum sama saja seperti pemberi dan penerima suap. Jangan sampai hukuman moral ini dianugerahkan kepada penegak hukum. Untuk menghindarinya, sudah sepatutnya para penegak hukum kembali melakukan investigasi terhadap orang yang diklaim Gayus terlibat. Hindari skenario menentukan tersangka hanya semata-mata demi pencitraan. Pola ini justru akan menjadikan bumerang bagi aparat penegak hukum. Pikiran awamnya, kepolisian dan kejaksaan bisa meminta bantuan kepada tim independen dari institusi hukum lainnya, sebut saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggotanya. Cara ini bisa menghindari hubungan kedekatan, profesi dan senasib selama pemeriksaan berlangsung. Terbukti atau tidak hasil pemeriksaannya akan membuat citra kepolisian dan kejaksaan semakin baik. Mari sama-sama satu suara untuk mencegah lebih, jauh keintiman haram dan suap di Bumi Pertiwi ini. Bila sudah berjalan, julukan Indonesia sebagai negara terkorup se-Asia Pasifik yang disematkan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) bisa dikikis secara per lahan. sumber : Spoiler for sini:
|
#2
|
||||
|
||||
sebagai orang hukum saya sangat prihatin. aparat penegak hukum kita mudah dibeli lantaran model pendidikan hukum yg hanya menciptakan "tukang hukum" yang pintar namun tidak bernurani....
|
#3
|
||||
|
||||
analoginya susah membersihkan kotoran dengan sapu yang berlumuran kotoran juga
|
#4
|
||||
|
||||
Saya yang juga belajar hukum juga prihatin, tapi memang Undang-Undang dasar kita belum begitu detil untuk melindungi atau menjerat subyek hukum, hebatnya itulah yang diajarkan Peasehat hukum Hitam justru akan memaksimalkan sela-sela sempit ketidak detilan UU untuk meloloskan kliennya..., udah tahu gitu malah Amandemen UU belum masuk pada subtansinya..
|
#5
|
||||
|
||||
inilah fakta yang terjadi sebenarnya,apa mau dikata uang bisa membeli segalanya
|
#6
|
|||
|
|||
susah utk bersih
|
|
|