FAQ |
Calendar |
SEARCH |
Today's Posts |
|
Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk. |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
Tak Ada Pengayaan Politik Dalam Iklan Capres
Sumber foto: http://statik.tempo.co/data/2014/03/...274548_620.jpg Di setiap ajang pilpres, peranan media—khusunyaTV—menjadi alat yang palinge fektif untuk membangun citra sang kandidat dan merebut simpati masyarakat.Visualisasi citra kandidat secara massif itu diharapkan mampu membangkitkan ingatan kolektif pemilih sehingga akan memberikan dukungan suaranya. Hubungan simbolik dengan konstituen yang sebelumnya tercipta karena ikatan ideologis dan loyalitas tradisional kinitergantikan oleh karismadan popularitas figur yang dibangun media. Kenyataanini menggambarkan betapa media memainkan peran penting dalam struktur politik. Keduanya memiliki “ikatan darah”, meski terkadang tak searah. Bahkan, dalam relasi itu sejumlah media tampak menjadi corong bagi kepentingan politik tertentu. Kerja media seolah menjelma menjadi kerja kampanye politik. Akibatnya,fungsi media bukan lagi menjadi alat kontrol yang independen dan netral terhadap proses politik. Sebaliknya,eksistensi media kini justru dikontrol oleh politik. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari kedekatan antara kandidat capres atau cawapres dengan pemilik media yang juga mempunyai kepentingan politik-ekonomi. Ada juga campur tangan juragan media yang berafiliasi dengan partai politik, bahkan malah menjadi kandidat politiknya. Poladan struktur kepemilikan media serta relasinya dengan politik ini menunjukkan kepada kita bahwa media tidaklah berdiri secara otonom dan netral. Keberlimpahan informasi yang disajikan iklan politik di media justru membuat diskursus politik jadi miskin pengetahuan. Sebab, hal tersebut menyempit ke bentuk pragmatisme kepentingan yang berorientasi jangka pendek dan hanya untuk mendapatkan dukungan. Situas iini jelas mendistorsi pertukaran gagasan, menampikan perdebatan ideologi, dan mengabaikan diskusi nilai tentang prioritas, yang pada gilirannya akan membunuh partisipasi publik. Inilah yang dinamakan gejala pemiskinan politik, perendahan derajat, dan pendangkalan proses politik dalam menjawab tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang lebih bermakna. Lihat saja rentetan iklan capres yang pada beberapa bulan lalu membanjiri layar TV kita. Menurut data hasil riset yang dilakukan oleh perusahaan konsultan Sigi Kaca Pariwara, terungkap bahwa total belanja iklan televisi untuk kampanye pilpres 2014 tercatat mencapai Rp 186,63 miliar. Masing-masing capres mengeluarkan dana yang hamper berimbang untuk keperluan tersebut. Jumlah biaya iklan tentang pasangan nomor urut 1 (Prabowo-HattaRajasa) mencapaiRp 93,72 miliar. Adapun belanja iklan televisi yang dikeluarkan kubu Jokowi-JKsebesarRp 92,9 miliar. “Jumlah ini memang lebih kecil dibandingkan kampanye pemilihan legislatif lalu yang belanja iklan TV-nya mencapai Rp 340 miliar. Tapi jumlah Rp 186 miliar itu masih bisa dikatakan wajar, mengingat tentu tidak semua parpol peserta koalisi di kedua belah pihak akanall out untuk ikut urun dana kampanye bagi capres yang didukungnya,” ujar Direktur Sigi Kaca Pariwara, Sapto Anggoro, Kamis (10/7/2014), seperti yang dikutip dari Kompas. com . Riset tersebut menunjukkan, dari kubu Prabowo-Hatta, spot Iklan TV bertajuk “Garuda Merah” menjadi tema iklan yang banyak ditayangkan, dengan frekuensi tayang mencapai 725 kali. Sementara dari kubu Jokowi – JK, tema yang paling banyak ditayangkan adalah “Siapkah Kita?”, yang mendapat porsi penayangan sebanyak 335 kali. |
|
|