”Krreekkkkk...,” terdengar bunyi derit batu-batu bergesekan setiap kali ombak di Pantai Tablanusu, Papua, menggapai bibir daratan dan kembali lagi ke laut. Seakan deburan ombak itu menarik hamparan batu-batu kerakal hitam di sepanjang pantai untuk menemaninya ke tengah laut.
Di tengah laut sana, anak- anak sekolah dasar dengan papan selancarnya asyik mengendarai puncak ombak yang bergulung di atas lautan yang memantulkan warna biru kehijauan diterpa terik matahari. Demy dan kawan-kawannya seakan sangat menikmati permainan sederhana itu dengan menggunakan papan kayu berukuran 80 x 25 sentimeter.
Layaknya peselancar profesional, mereka mendayung diri mereka ke tengah laut. Ketika gelombang besar datang menghampiri, bocah-bocah itu bersorak dan menempelkan papan kayu mereka ke atas gelombang, kemudian mengendarainya hingga bibir pantai.
Di mulut muara Sungai Tablanusu, seorang nelayan asyik melemparkan tali pancing untuk menjemput ikan bandeng ataupun ikan traveller (mubara) yang sedang berjalan. Di permukimannya, Rabu, 20 Januari, kampung yang dihuni sekitar 450 keluarga ini tampak sepi meski tidak kosong.
Suasana tenang, bahkan lengang, ini membuat bunyi langkah kaki sangat jelas terdengar. Bunyi gemeretak batu-batu hitam yang terhampar di sepanjang kampung terdengar tiap kali kaki menginjaknya.
Ya, Kampung Tablanusu di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, ini memang unik. Perkampungan nelayan yang biasanya berdiri di atas pasir pantai tidak berlaku di Tablanusu. Warganya bertempat tinggal di atas hamparan batu-batu hitam berdiameter 5 hingga 10 cm.
Uniknya, batu-batu ini hanya ada di Tablanusu, tidak di kampung lain yang terdekat sekalipun. Tak heran, keunikan ini dimanfaatkan pemerintah daerah setempat untuk menjualnya sebagai komoditas wisata.
Pantainya yang bergelombang dengan suasana kampung yang rindang menyempurnakannya sebagai surga bagi penikmat alam. Keunggulan yang dimiliki Tablanusu ini pun terasa nyaman dinikmati dengan warga kampung setempat yang ramah menyapa pengunjung.
Menurut warga setempat, kata ”tablanusu” berasal dari kata ”tepuaonusu”. Kata dari bahasa lokal ini tersusun atas ”tepera” (nama suku) dan ”onusu” (matahari tenggelam). Secara harfiah, kata ini menunjukkan pantai Tablanusu menghadap ke barat, arah tempat matahari tenggelam.
Thiolien Yakarimilena (25) dari Suwae Resort yang juga asli warga Tablanusu memercayai, pada awalnya nenek moyang orang Tablanusu bertempat tinggal di dua pulau kecil yang berada di teluk yang disebut Pulau Kewayo. Di situ mereka berladang umbi-umbian dan pisang.
Ketika di Bitiayo, mereka kedatangan seorang pendeta yang mulai mengabarkan injil. Di tempat ini, pada 26 November 1911, masyarakat yang masih menganut paham animisme kedatangan pendeta dari Maluku bernama Amos Pasal Besi.
Keseharian
Saat ini, tiap tahun masyarakat Tablanusu memperingati tanggal 26 November sebagai Hari Pekabaran Injil. Selain mengisi hari itu dengan ibadah di gereja, warga juga menggelar berbagai tari-tarian adat dan tarian pergaulan (Lemonipis). Keluarga yang merantau pun berdatangan ke Tablanusu untuk memperingatinya.
Dalam sejarahnya, pernah muncul seorang tokoh Tablanusu bernama Simson Soumilena, tokoh gereja yang berani melawan penindasan Jepang di pusat Distrik Depapre. Ia menjadi semacam tokoh ”Si Pitung”-nya orang Betawi yang memiliki kemampuan supranatural. Dikisahkan, saat diserahkan kepada tentara Jepang, Simson menyambar kayu kering dan mengubahnya menjadi senjata api.
Masyarakat Tablanusu sebagian besar bermata pencarian sebagai nelayan dan pembudidaya ikan air payau. Victor Jufuway (25), pemuda setempat yang diperbantukan pada Suwae Resort mengatakan, warga Tablanusu sejak lama terlatih membudidayakan ikan di Telaga Tablanusu yang berada di dekat kampung. Kini mereka memelihara bandeng, nila, dan mujair dalam keramba di tepi telaga.
Selain itu, mereka juga terbiasa mengonsumsi sagu yang pohonnya masih terlihat tumbuh subur di pinggir-pinggir telaga. Masyarakat setempat pun membuka perladangan di kaki perbukitan dengan bercocok tanam umbi-umbian dan pisang.
Meski berupa kampung kecil seluas 230,5 hektar, Tablanusu dihuni 10 marga asli setempat, yaitu suku Sumile, Danya, Suwae, Apaserai, Serantow, Wambena, Semisu, Selli, Yufuwai, dan Yakurimilena.
Masyarakat setempat memiliki tarian yang disebut mandep. Tarian ini semula dipergunakan untuk penobatan seorang ondoafi atau kepala suku. Namun, kini tarian itu juga digunakan untuk menyambut dan menghormati tamu-tamu penting.
Hingga kini, masyarakat setempat masih mengenal kearifan lokal berupa sasi atau pelarangan penangkapan ikan pada areal tertentu dan jangka waktu tertentu. Uniknya, sasi diberlakukan berdasarkan kesepakatan saat terdapat seorang anggota keluarga atau tokoh setempat yang dihormati meninggal dunia.
Menurut adat setempat, saat terjadi kedukaan, masyarakat menggelar tari-tarian dan prosesi kedukaan. Esok paginya, tokoh masyarakat memasang batang kayu di areal yang telah disepakati untuk memulai sasi.
Pelarangan ini biasanya diberlakukan di daerah terumbu karang di sekitar Pantai Tablanusu, Pantai Bikasu, dan Pantai Bitayo. ”Sasi dilakukan setahun penuh hingga berlalu satu tahun orang yang meninggal itu,” ujar Thiolien. Bagi pelanggar kesepakatan adat ini, warga setempat bisa didenda dengan besaran jutaan rupiah.
Bupati Jayapura Habel Suwae mengatakan Tablanusu sebagai daerah wisata andalan dengan mempertahankan nilai-nilai masyarakat lokal. Diharapkan aspek wisata ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat yang selama ini bergantung pada hasil tangkapan ikan dan hasil berkebun. (ICH)
|