6th August 2011
|
|
Prob. Moderator
|
|
Join Date: May 2011
Location: Jakarta,ID
Posts: 3,334
Rep Power: 34
|
|
Jejak Langkah Astronomi di Indonesia
"klik gambar di atas untuk Join SG"
Quote:
[Menerjemahkan]
Astronomi, ilmu yang satu ini hampir setua peradaban manusia itu sendiri. Bagaimana tidak, ia lahir bersama dengan kekaguman dan keingintahuan manusia akan langit dan apa yang ada di sana.
Kekaguman yang melahirkan pencarian. Tidak masalah apakah pencarian itu kemudian berbuah pada sebuah hasil yang saintifik ataukah ia hanya berhenti pada kaitan budaya dan kehidupan manusia. Kekaguman itulah yang membawa manusia pada kemajuan astronomi melintasi batas budaya dan kepercayaan, berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang membawa manusia menjelajah alam semesta yang mungkin di masa lampau tidaklah pernah terbayangkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Peradaban Awal Astronomi di Indonesia
Hala Na Godang kisah tentang Orion dari Batak. Kredit : Nggieng
Berabad-abad lampau ketika peradaban baru dimulai, catatan dan cerita turun temurun dalam budaya masyarakat sudah menunjukkan berbagai kisah rakyat yang terkait astronomi. Cerita-cerita dari langit ini memberi interpretasi tersendiri akan obyek langit yang mereka lihat. Sebagai contoh ada kisah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan’ Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Rilingé’na Sangiang Serri’ (Bugis), Batara Kala, Nini Anteh (Jawa Barat).
Penamaan rasi bintang berdasarkan nama lokal menunjukkan, masyarakat Indonesia di masa lampau juga melakukan pengamatan langit. Dalam budaya Jawa, dikenal Gubug Penceng (Salib Selatan), Lintang Wulanjar Ngirim (rasi Centaurus), Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Bintang Layang – Layang, Lintang Pari, Lintang Kartika (Pleiades), Wuluh (Pleaides), Kalapa Doyong (Scorpio), Sapi Gumarang (Taurus), adalah contoh penamaan rasi bintang secara lokal di Indonesia, yang sekaligus menandai kegiatan astronomi amatir di tengah masyarakat di masa lalu.
Setiap interpretasi tidak sekedar memberi akan benda-benda langit, baik itu bulan, bintang, matahari, rasi bintang, Bima Sakti, namun juga kisah tentang proses terjadinya alam semesta. Benda-benda langit ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penentu waktu bercocok tanam, sarana pemujaan, kalender, maupun navigasi.
Kehidupan agraris masyarakat Indonesia juga menjadikan benda-benda langit sebagai petunjuk musim menanam dan musim panen. Di Jawa, rasi Lintang Kartika diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50° di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah.
Saat belum ada kalender, masyarakat setempat telah menggunakan perbintangan untuk menentukan siang dan malam, pasang surut air laut, berbunga dan berbuahnya tanaman, maupun migrasi dan pembiakan hewan. Bagi mereka gejala alam adalah cerminan lintasan waktu. Masyarakat di masa itu juga menentukan saat menanam dengan menggunakan bambu yang diisi air untuk mengukur ketinggian bintang. Pada posisi tertentu mereka akan bisa mengetahui apakah sudah saatnya memulai bercocok tanam atau belum.
Sedangkan masyarakat Maritim Indonesia, menjadikan obyek langit sebagai panduan navigasi dalam pelayaran. Salah satu kisah yang diyakini merupakan bagian dari penggunaan langit sebagai navigasi adalah ditemukannya peninggalan berupa puisi dan gambar-gambar perjalanan masyarakat dari Indonesia menuju Afrika Selatan.
Di tahun 800 Masehi, pembangunan candi Borobudur menjadi penanda lainnya keberadaan astronomi di Indonesia. Borobudur yang dibangun oleh wangsa Syailendra diduga merupakan penanda waktu raksasa di abad ke -8, dimana stupa utama candi berfungsi sebagai penanda waktu. Pembangunan candi seperti Borobudur memberi penegasan dan petunjuk kemampuan nenek moyang dalam astronomi.
Astronomi di masa Penjajahan
Observatorium yang didirikan Mohr di Batavia. (Architectural drawing by J. Clement, 1768)
Kecintaan masyarakat Indonesia pada langit memang disampaikan kemudian secara turun temurun lewat berbagai kisah. Dan pencatatan pengamatan pada masa lampau memang “belum ditemukan”. Akan tetapi catatan yang menjadi penanda awal kebangkitan astronomi dan penggunaan instrumentasi dalam pengamatan dimulai di tahun 1761.
Pada abad ke-18, masalah terbesar dalam astronomi adalah penentuan jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. Parameter astronomi yang satu ini merupakan konstantan fundamental dalam sistem heliosentris yang diajukan oleh Copernicus. Pada tahun 1716, Edmund Halley (Inggris), muncul dengan metode penentuan paralaks matahari yang mengacu pada 2 kejadian astronomi yakni transit Venus di tahun 1761 dan 1769. Dalam pemetaan yang diajukan, kepulauan Malaya adalah tempat terbaik untuk melihat transit tersebut dalam durasi yang panjang dimulai dari ingress sampai egress.
Setelah melalui kisah panjang siapa yang akan mengamati transit tersebut, pada akhirnya Gerrit de Haan kepala departemen pemetaan di Batavia dan Pieter Jan Soele (Kapten Kapal VOC) sebagai asisten mendatangi Johan Maurits Mohr (18 August 1716, Eppingen – 25 October 1775 ) seorang pastor yang juga seorang penerjemah untuk menterjemahkan peta pengamatan okultasi Venus dari Delisle yang menggunakan Bahasa Prancis. Pada tanggal 6 Juni 1761, ketiganya pun melakukan pengamatan transit Venus dan menerbitkan hasil pengamatan tersebut di tahun 1763. Publikasi lainnya tentang pengamatan Gerrit de Han, Pieter Jan Soele yang dibantu Mohr diterbitkan pada tahun 2004 dalam prosiding IAU dengan judul Observations of the 1761 and 1769 transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies)
Setelah pengamatan transit Venus tersebut Mohr mulai dikenal sebagai seorang “astronom”, dan di tahun 1765, Pastor Mohr membangun sebuah observatorium pribadi di Batavia (Jakarta) dengan instrumen terbaik yang ada pada masanya, dan mulai melakukan pengamatan astronomi dan meteorologi. Diyakini observatorium pribadi Mohr itu berada di Gang Torong.
Tanggal 3 Juni 1769 Mohr melakukan pengamatan transit Venus dan transit Merkurius pada tanggal 10 November 1769. Dan di kisaran tahun 1770-an, kegiatan Mohr memberi inspirasi pada orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda untuk melakukan gerakan saintifik. Observatorium Mohr juga pernah dikunjungi Kapten James Cook dan Louis Antoine de Bougainville. Catatan pengamatan transit Venus dan Merkurius di tahun 1769 dipublikasikan dalam tulisan Transitus Veneris & Mercurii in Eorum Exitu e Disco Solis, 4to Mensis Junii & 10mo Novembris, 1769 di Philosphcal Transactions pada 1 Januari 1771.
Observatorium Mohr dalam lukisan Johannes Rach 1770
Sayangnya observatorium Mohr tidak bertahan lama, hancur oleh gempa bumi dan tinggal puing-puing. Observatorium tersebut dihancurkan dan hanya tinggal nama di awal abad 19. Nama Mohr sendiri diabadikan sebagai nama planet kecil 5494 johanmohr yang ditemukan tahun 1933.
Observatorium Bosscha dan Pendidikan Astronomi di Indonesia
Observatorium Bosscha masa kini. kredit : ivie
Para pecinta langit ini juga punya kiprah yang cukup signifikan, karena di awal tahun 1920-an, Nederlandsch-Indische Sterrekundige Vereeniging / NISV (Perhimpunan Astronom Hindia Belanda) yang merupakan gabungan intelektual astronom Belanda, ahli fisika mau pun para pecinta astronomi di Hindia Belanda, merasakan kebutuhan untuk mendirikan observatorium di Indonesia.
Observatorium ini bertujuan untuk menjadi garda depan pengamatan astronomi di langit selatan. Apalagi saat itu langit selatan memang belum dikenal karena hampir tidak ada pengamatan dilakukan di belahan selatan selain di Afrika Selatan.
Observatorium itulah yang kemudian dikenal sebagai Bosscha Sterrenwacht atau Observatorium Bosscha yang dibangun dari tahun 1923 – 1928. Pendana utama dari Observatorium Bosscha juga berasal dari kalangan pemerhati astronomi yakni seorang tuan tanah di Malabar bernama Karel Albert Rudolph Bosscha dan seorang pengusaha bernama Ursone. Keduanya kemudian menyerahkan hak kepemilikan tanah mereka kepada NISV.
Selain penyandang dana utama K A R Bosscha juga menyediakan teleskop refraktor ganda Zeiss dan teleskop refraktor Bamberg. Sebagai penghargaan nama Karel Bosscha diabadikan sebagai salah satu nama planetoid yakni (11431) Karelbosscha yang berada di antara Mars dan Jupiter dan ditemukan tahun 1971.
Setelah Bosscha didirikan, Dr. Joan Voûte kemudian menjadi direktur pertama di Observatorium tersebut. Voute dilahirkan di Madioen ini merupakan lulusan sipil di Delft yang kemudian karena kecintaannya pada astronomi justru mengabdikan hidupnya di astronomi dan melakukan berbagai pengamatan sebagai astronom profesional. Voute sebelumnya bekerja di Observatorium Cape berhasil menghitung jarak Proxima Centauri sama dengan Alpha Centauri di tahun 1913. Pada tahun 1919, Voute kemudian diminta ke Indonesia untuk menjadi kepala Observatorium Bosscha yang pertama.
Bosscha Sterrenwacht. Kredit : Tropenmuseum
Pada masa berkecamuknya Perang Dunia II kegiatan observasi di Bosscha sempat dihentikan dan tidak hanya itu, akibat dari perang menyebabkan hancurnya sebagian fasilitas Observatorium. Di tahun 1951, NISV menyerahkan Observatorium Bosscha kepada pemerintah RI, yang kemudian menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung di tahun 1959 setelah ITB didirikan.
Tahun 1951, juga menjadi tonggak berdirinya pendidikan astronomi secara resmi di Indonesia yang ditandai dengan dikukuhkannya G.B. van Albada sebagai Guru Besar Astronomi. Dan pendidikan Astronomi di Indonesia juga sampai saat ini masih bernaung di bawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung.
Selain Observatorium Bosscha dan Astronomi ITB, pada tanggal 31 Mei 1962 dibentuk juga Panitia Astronautika dan kemudian pada tanggal 27 november 1963, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 236 Tahun 1963. LAPAN dalam perkembangannya bergerak dalam hal teknologi kedirgantaraan juga untuk pemanfaatan sains atmosfer, iklim dan antariksa.
Akhir tahun 2008, Observatorium Hilal dan Astronomi di Aceh yang dikelola oleh Badan hisab Rukyat selesai dibangun dan berfungsi sebagai situs pengamatan hilal di kawasan ujung barat Indonesia. Selain hilal, observatorium ini bertujuan untuk pengamatan ilmiah astronomi untuk kalangan pelajar dan mahasiswa serta berfungsi dalam hal pendidikan astronomi masyarakat Aceh.
Komunitas Astronomi dan Indonesia Masa Kini
Planetarium & Observatorium Jakarta. Kredit : Pramesti
|
|