Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Business

Business Segala topik apapun tentang bisnis di bahas di dalam sini

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 14th August 2015
Gusnan's Avatar
Gusnan Gusnan is offline
Moderator
 
Join Date: Jun 2013
Posts: 27,623
Rep Power: 47
Gusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyak
Default Reshuffle Kabinet Versus 'Pisau Jatuh'





Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Bidang Kemaritiman Rizal Ramli, Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil, Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, bersiap untuk acara pengucapan sumpah jabatan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (12/8). (Suara Pembaruan)


Jakarta - Kejatuhan pasar saham dalam beberapa hari terakhir yang dipicu depresiasi yuan menyegarkan kembali ingatan para pelaku pasar tentang teori falling knife. Itukah yang membuat reshuffle kabinet nyaris tak bergaung di lantai bursa? Benarkah rebound di pasar saham domestik kemarin hanya dead cat bounce alias penguatan sesaat di tengah tren bearish?
Para investor saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang gundah-gulana. Maklum, dalam beberapa hari terakhir, pergerakan pasar saham seperti layang-layang putus talinya, bergerak tak tentu arah.
Adalah tindakan Bank Sentral Tiongkok (People's Bank of China/PBoC) yang membuat geger bursa saham sejagat. PBoC, Selasa (11/8), mendepresiasi yuan terhadap dolar AS sebesar 1,9% dari 6,20 yuan per dolar AS menjadi 6,32 yuan, dengan cara melebarkan rentang currency band-nya.
Buntutnya, panic selling mengguncang dunia. Seluruh mata uang langsung ambruk. Pasar saham global, termasuk Wall Street, rontok. IHSG bahkan terperosok paling dalam (2,66%) ke level 4.623. Rupiah di pasar spot antarbank Jakarta terjerembab 57 poin ke posisi Rp 13.585 per dolar AS.
Tindakan PBoC melemahkan yuan sejatinya merupakan upaya Tiongkok menggenjot kembali kinerja ekspornya untuk memacu perekonomian. Ekspor Tiongkok pada Juli lalu anjlok 8,9% secara tahunan (yoy), lebih rendah dari konsensus (minus 0,3%).
Tapi, rupanya, tindakan PBoC mencemaskan para investor dan pengelola hedge funds global. Mereka menganggap kebijakan mendepresiasi yuan adalah cermin buruknya perekonomian Tiongkok. Padahal, Tiongkok merupakan motor utama perekonomian global setelah Amerika Serikat (AS).
Para investor di lantai bursa juga khawatir tindakan PBoC malah memperuncing perang mata uang (currency war) yang bakal membuat perekonomian global kacau-balau.
Perang mata uang berkecamuk sejak 2013, setelah Jepang secara agresif melonggarkan kebijakan moneternya melalui pembelian obligasi pemerintah, mencetak uang baru, menerapkan rezim suku bunga rendah untuk memompa likuiditas di pasar, serta membiarkan tekanan inflasi naik.
Pelonggaran moneter untuk menstimulus perekonomian sudah lama dilakukan AS dan Uni Eropa. Langkah itu ditempuh melalui program quantitative easing (QE) lewat penambahan suplai uang beredar dengan mencetak uang baru dan membeli obligasi pemerintah. Jauh sebelum itu, yuan diposisikan 'melawan' dolar AS agar barang ekspor Tiongkok lebih kompetitif.
Reshuffle Kabinet
Pemerintah Indonesia terbilang sigap dalam merespons dampak kebijakan PBoC mendepresiasi yuan. Demi menenteramkan pasar, perombakan (reshuffle) kabinet yang konon sedianya dilakukan dengan mengambil momentum peringatan HUT ke-70 kemerdekaan RI pada 17 Agustus, akhirnya dipercepat.
Rabu (12/8), Presiden Jokowi mengumumkan sekaligus melantik menteri-menteri baru di Kabinet Kerja. Mereka adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution (menggantikan Sofyan Djalil), Menko Kemaritiman Rizal Ramli (menggantikan Indroyono Soesilo), dan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (menggantikan Rachmat Gobel).
Itu belum termasuk Sekretaris Kabinet Pramono Anung (menggantikan Andi Widjajanto), Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan (menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno), dan Sofyan Djalil (pindah pos dari Menko Perekonomian ke Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menggantikan Andrinof Chaniago).
Toh, pasar telanjur kalang kabut. Reshuffle kabinet yang dilakukan Jokowi pada hari kedua setelah tindakan PBoC mendepresiasi yuan seperti tak mempan menangkis sentimen negatif yang merebak di pasar global. IHSG malah terpuruk 143,10 poin (3%) ke level 4.479,49. Rupiah terdepresiasi 1,4% ke posisi Rp 13.758 per dolar AS.
Syukurlah, pada perdagangan Kamis (14/8), pasar saham regional mengalami rebound. IHSG ikut melonjak 104,75 poin (2,34%) ke level 4.584,25. Yang melegakan, penguatan IHSG dimotori investor domestik. Saat investor asing ramai-ramai melego saham, investor domestik justru memborongnya. Karena asing mengambil posisi jual, foreign net buy menipis, tinggal Rp 337,3 miliar secara year to date (ytd).
Kemarin, pasar regional memang menghijau. Pemicunya, PBoC disebut-sebut kembali melakukan intervensi dengan mengguyurkan dolar AS ke pasar lantaran pelemahan yuan sudah kelewat rendah, mencapai 4,5%.
Sulit Dilawan
IHSG yang 'mati angin' pasca-reshuffle kabinet merupakan bukti bahwa badai sentimen negatif yang dipicu PBoC memang terlampau dahsyat sehingga sulit dilawan. Apalagi pasar memang sedang dalam tren bearish, bahkan sebelum PBoC mengeluarkan kebijakan yang menggemparkan itu.
Buktinya, saat Presiden Jokowi menyambangi BEI untuk menghadiri acara Peringatan 38 Tahun Beroperasinya Kembali Pasar Modal Indonesia, Senin (10/8), IHSG turun 21,35 poin (0,45%) ke posisi 4.748,95. Dari lantai bursa pula Jokowi mengimbau masyarakat dan pelaku pasar tetap optimistis terhadap perekonomian nasional.
Tapi, apakah rebound kemarin menandakan sang pisau sudah menancap di tanah? Belum tentu. Kalangan analis di pasar saham global meyakini ketidakpastian masih menyelimuti pasar. Itu artinya, penguatan indeks saham kemarin hanya bersifat sementara, hanya dead cat bounce atau penguatan sesaat di tengah tren bearish.
Kecuali masih mempersoalkan ketidakpastian masa depan ekonomi Tiongkok, pasar masih mencermati rencana Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga. Semula, Fed funds rate (FFR) digadang-gadang bakal naik pada September tahun ini. Tapi gara-gara yuan didepresiasi, bisa jadi FFR batal naik. Demi menjaga neraca perdagangannya, AS tak nyaman jika dolar AS terlalu perkasa. Bila kenaikan FFR yang saat ini dipatok 0-0,25% ditunda, masa depan ekonomi global kian tak pasti.
Intinya, FFR naik atau tidak naik, keputusan The Fed tetap saja bisa menjadi buah simalakama bagi negara-negara emerging markets seperti Indonesia. Kenaikan FFR yang merefleksikan pemulihan ekonomi AS, bisa mendorong pembalikan modal (sudden reversal) dari emerging markets.
Itu dapat membuat IHSG yang secara year to date sudah minus 12,30% dan merupakan pelemahan paling parah di antara bursa saham lainnya di dunia, kembali tertekan. Rupiah yang sudah terkoreksi 10% lebih dan kian jauh dari asumsi APBN-P 2015 sebesar Rp 12.500 per dolar AS, bisa semakin terguncang, meski banyak yang meyakini guncangannya tak akan terlalu besar karena dana-dana QE yang menyebar ke emerging markets sebagian sudah 'pulang kampung' setelah AS menghentikan stimulus moneter itu pada akhir 2014.
Singkat kata, pasar global masih labil. Apalagi harga komoditas belum pulih. Kecuali itu, sejak yuan didepresiasi, para investor saham semakin gencar melakukan shifting ke dolar AS dan emas.
Tapi, salah besar jika ada yang mengatakan tak ada yang bisa diperbuat saat sang pisau meluncur kencang ditarik gaya gravitasi bumi. Di dalam negeri, pemerintah bisa melakukan berbagai gebrakan pasca-reshuffle.
Jika selama ini pertumbuhan ekonomi nasional terhambat belanja modal pemerintah, maka penyerapan belanja modal harus digenjot. Jika investasi langsung dianggap belum maksimal, reshuffle kabinet harus dijadikan momentum untuk meningkatkannya. Begitu pula jika pemerintah menganggap kinerja ekspor bisa diperbaiki dan konsumsi rumah tangga masih bisa dipacu.
Yang perlu diingat, pasar butuh aksi nyata yang benar-benar dapat memperbaiki perekonomian nasional. Tindakan yang semata berorientasi janji dan pencitraan cuma bisa menghasilkan sentimen positif semu. Reshuffle kabinet hingga seribu kali pun tak akan ada artinya jika para menteri di Kabinet Kerja tidak juga bekerja. Jika pemerintah banyak berbuat, paling tidak kita bisa menerka kapan pisau itu akan menyentuh tanah.
Oleh Abdul Aziz, wartawan Investor Daily.

Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 05:44 PM.