FAQ |
Calendar |
SEARCH |
Today's Posts |
|
Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk. |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
Akhir Sasa dan Germonya
Sepi pengunjung, pekerja seks di Kalijodo menawarkan harga diskon. Germonya bersiap jadi distributor elpiji. Foto: Hasan Alhabshy/detikX Senin, 22 Februari 2016 Dalam dandanan yang mengundang berahi, enam perempuan muda itu lebih banyak duduk di kursi-kursi display sebuah kafe di Gang Kambing, Kalijodo, Jakarta Utara. Di antara entakan musik dangdut Pantura yang memekakkan telinga, mereka menyapa ramah pengunjung, seraya mengerlingkan mata genit menggoda. Satu di antaranya mengaku bernama Sasa, asal Jepara, Jawa Tengah. Sorot matanya seperti tak henti menatap ke arah detikX yang datang bersama seorang teman dari media elektronik pada Kamis, 11 Februari lalu. “Ayo, Mas, mumpung diskon, lo,†kata Sasa merayu saat detikX mendekat. Tarif sekali kencan selama 30 menit di situ biasanya Rp 150 ribu. Tapi malam itu, dengan harga diskon, Sasa mengajukan harga Rp 130 ribu. Alasan pemberian diskon adalah sepinya pengunjung. Hal itu tak lepas dari rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menggusur kawasan prostitusi tersebut menjadi ruang terbuka hijau. Sidik, Ketua RT 03 RW 05, Kelurahan Pejagalan, menjamin para wanita penghibur yang beroperasi di Kalijodo cukup bersih. Sebab, mereka secara rutin memeriksakan kesehatan. “Hasil tes HIV mereka negatif. Di sini juga sudah kondom mandiri, enggak disubsidi pemerintah,†ujarnya seperti berpromosi. Pekerja seks menunggu pengunjung di sebuah kafe di Kalijodo. Foto: Hasan Alhabshy/detikX Prostitusi di Kalijodo sebetulnya sudah berlangsung sejak abad ke-18. Hanya, menurut novelis Remy Sylado, penyedia jasa dan penikmatnya kala itu adalah para imigran Tionghoa yang tengah berusaha di Batavia. Sebab, Cina daratan kala itu tengah dikuasai Dinasti Manchuria. Dulu kali itu masih rimbun karena banyak bakau dan semak belukar. Airnya juga masih jernih. Orang mencari nafkah di situ. Ada musiknya. Biasanya transaksi seksual dilakukan di atas rakit bambu yang dipasangi atap. “Para perempuan yang diperisteri kemudian disebut ca-bau-kan. Ini jadi tradisi waktu itu. Berbarengan dengan tradisi membuat rumah toko, rumah membina keluarga sekaligus tempat berdagang,†ujar Remy kepada detikX melalui telepon. Aktivitas di Kalijodo sempat surut pada masa pendudukan Jepang, 1942-1945. Setelah itu, aktivitas kembali menggeliat dengan pendatang yang sudah campur aduk. Tapi lebih banyak pelaut-pelaut antardaerah. Berbeda dengan di kafe atau bar di kawasan prostitusi daerah lain, para pekerja seks di kafe-kafe Kalijodo yang didatangi detikX pada Kamis, Jumat, dan Sabtu dua pekan lalu tak diizinkan berlama-lama berbincang dengan pengunjung. Mereka juga dilarang menemani minum pengunjung, apalagi sampai kencan di luar area kafe. Bila aturan itu dilanggar, beberapa petugas keamanan akan langsung mendekat. Para pekerja seks itu pun biasanya langsung ciut nyali, dan kembali ke tempat duduk. Hal seperti itu yang diperlihatkan Sasa dan dua temannya. Remy Sylado Foto: Safir Makki/CNN Indonesia “Kita langsung ngamar di atas saja, deh. Kalau keluar, nanti dimarahi orang-orang itu,†ujar Sasa setengah berbisik. Matanya mengerling ke arah dua lelaki berbadan tegap di sudut-sudut kafe. Ia mengaku baru lima bulan bekerja di kafe itu. Jika pengunjung ramai, dalam sebulan Sasa mengaku bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 30 juta. Tapi jumlah itu masih harus dipotong untuk biaya sewa kamar, makan, perawatan kesehatan, dan bagi hasil dengan pemilik kafe alias germo. Bukan cuma kalangan pekerja seks yang galau atas rencana penggusuran oleh pemerintah DKI. Iwan Bintang, 35 tahun, juru parkir, dan Ridwan, pekerja di kafe Suryana, pun mengalami perasaan serupa. Keduanya tak tahu harus mencari pekerjaan di mana pascapenggusuran nanti. Menurut Iwan, keberadaan lahan parkir di kafe-kafe menjadi sumber penghidupan dan mengurangi tindak kriminal di Kalijodo. “Ya, lumayanlah, bisa dapat Rp 2 juta sebulan. Daripada (berbuat tindak) kriminal, kan mendingan begini, Bang,†ujarnya. Suasana kawasan Kalijodo di siang hari dari udara. Foto: Tri Aljumanto/detikTV Sementara itu, sebagai pengusaha kafe, Suryana mengaku tekor dalam sepekan terakhir. Ia harus merogoh kocek pribadi untuk membayar upah, menyediakan makan-minum, dan berbagai keperluan rutin lainnya bagi segenap pegawainya, yang berjumlah sekitar 60 orang. Itu belum termasuk untuk membayar jasa tukang parkir dan petugas keamanan. Padahal jumlah pengunjung di ketiga kafe miliknya menurun drastis, sedangkan pemasukan nyaris nihil. Saya tidak pernah paksa mereka. Kalau mau kerja, ya silakan, saya sediakan tempat. Kalau enggak, ya silakan keluar. Saya enggak ribet."“Biasanya sih bisa dapat tiga jutaan rupiah per malam,†kata lelaki asal Serang, Banten, itu saat berbincang dengan detikX, Senin malam, 15 Februari lalu. Pemasukan sebanyak itu terbesar berasal dari penjualan bir. Ia mematok harga bir Rp 70 ribu per botol. Padahal, di swalayan, rata-rata harganya cuma Rp 30 ribu. Setiap pengunjung yang baru duduk akan langsung disodori minimal lima botol bir. Tiga botol di antaranya langsung dibuka dan harus dibayar. Lelaki berusia 43 tahun tersebut memiliki tiga kafe di kawasan RT 01 RW 05, Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, itu. Ketiganya diberi nama Kafe Surya Enjoy 1, Kafe Surya Enjoy 2, serta Kafe 5758. Kafe Surya Enjoy 1 berdekatan dengan Kafe Intan milik Abdul Azis Emba alias Daeng Azis, penguasa Kalijodo. Suasana Kalijodo pada malam hari. Foto: Hasan Alhabshy/detikX Sebelum membuka kafe, sejak 2003 Suryana adalah petugas keamanan di beberapa kafe di Kalijodo dengan upah Rp 15 ribu per hari. Karena penghasilan yang jauh dari mencukupi, sekitar lima tahun lalu ia nekat mengagunkan sertifikat tanah milik saudaranya di kampung. Dari bank, Suryana mendapat pinjaman Rp 300 juta untuk modal membangun kafe. “Bangunnya bertahap, enggak langsung empat lantai kayak begini,†ujarnya. Pengalamannya sebagai petugas keamanan membuat kafenya jarang mendapat gangguan. Usahanya terus berkembang. Tahun lalu ia membangun Kafe 5758 dengan modal Rp 1,8 miliar. “Belum sempat balik modal, eh situasinya udah kayak gini,†ujar Suryana masygul. Selain menjual minuman, ia juga menyediakan 47 wanita penghibur. Mereka berasal dari berbagai daerah di Banten, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Usia mereka rata-rata 18-30 tahun. “Yang pindahan dari Dolly (Surabaya) juga ada,†ujarnya. Sebagian wanita penghibur yang bekerja di kafenya sudah ia izinkan pergi dari Kalijodo. Ada yang mengaku pulang ke kampung halaman, ada yang sekadar hijrah ke tempat keluarga di seputaran Jakarta, ada juga yang mencari daerah operasi lainnya. “Saya tidak pernah paksa mereka. Kalau mau kerja, ya silakan, saya sediakan tempat. Kalau enggak, ya silakan keluar. Saya enggak ribet,†ujar Suryana. Dalam hitungan beberapa hari ke depan, bila penggusuran benar-benar terjadi, ia siap menjual semua asetnya, yang ditaksir bernilai hingga Rp 5 miliar. Selanjutnya, kata Suryana, ia akan beralih menjadi distributor elpiji di Serang, Banten. “Surat izin usaha udah lama saya urus,†ujarnya. |
|
|