FAQ |
Calendar |
SEARCH |
Today's Posts |
#1
|
|||
|
|||
sabana murah
Mengenang 100 tahun proklamator kemerdekaan kita, Mohammad Hatta, 12 Agustus 1902-12 Agustus 2002, agaknya layak dilakukan seperti meninjau kembali hampir seluruh proses terbentuknya bangsa kita. Meninjau kembali berarti menilai ulang masa 100 tahun itu dengan pikiran warga negara merdeka. Tidak akan mengherankan bila tinjauan seperti itu menimbulkan kesadaran tentang betapa selama ini anggapan kita mengenai proses tersebut sarat dengan mentalitas rakyat jajahan.
Berbeda dari kebanyakan rakyat jajahan, Hatta tidak terperangkap dalam hanya menolak atau menerima cita-cita itu. Sebaliknya, ia dengan sangat bebas memilih dari kehidupan sekitarnya apa yang dianggap perlu bagi diri sendiri dan masyarakatnya. Sikap bebas ini, khususnya rasa girangnya menjelajahi hidup, selama ini dikaburkan, seolah-olah itu merupakan cacat, diganti dengan gambaran kesalehan Hatta yang hampir menjadi karikatur. Sesungguhnya masa kecil Hatta merupakan masa kemerdekaan bagi dirinya, kegirangan menjelajah kehidupan. Hal yang serupa berlaku juga bagi masa tinggal Hatta di Belanda selama 11 tahun, 20 September 1921- 20 Juli 1932, kurun yang khusus akan dibicarakan di dalam tulisan ini. Sampai sekarang, masa tinggal Hatta di Belanda masih umum dianggap sebagai masa belajar, masa "menuntut ilmu" di negeri maju yang peradabannya jadi idaman. "Belajar" di sini dipahami bukan sekadar upaya individual, tetapi lebih sebagai usaha kolektif, yaitu hasrat suatu masyarakat keseluruhan untuk menyamai perkembangan masyarakat lain yang dianggap lebih maju. Bagi masyarakat yang belajar itu hubungan tersebut mengandung perasaan rendah diri, hubungan tidak sederajat dengan pihak lain. Terkait:
|
#2
|
||||
|
||||
Quote:
apa maksudnya sih trit ini |
#3
|
||||
|
||||
tritnya aneh...
|
|
|