FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Cerita Horor Kumpulan cerita-cerita mistis yang dibagikan sesama ceriwiser. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Sekarang aku mencemaskan keadaan Sarah, adik bungsuku. Tiga hari setelah kepergian Ibu, dia selalu sakit-sakitan. Badannya sering mendadak panas. Bukan itu saja, hampir setiap malam Sarah mengigau. Pada tengah malam sering sekali dia terbangun dalam keadaan ketakutan. �Mbak, Sarah takut,� gumamnya lirih sekali. Hatiku tergetar iba mendengarnya. �Sarah melihat Ibu,� ujarnya lagi, berbisik pelan. Aku terperanjat. �Kamu bermimpi melihat Ibu?� tanyaku. Sarah menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Mukanya pucat. �:Sarah melihat Ibu di sana dekat lemari. Tapi bukan bermimpi. Aku melihat Ibu memandangku, wajahnya sedih, Mbak.� Seketika aku jadi merinding mendengarnya. Aku lirik tempat yang ditunjuk Sarah. Kosong. Tidak ada siapa-siapa. �Tidak ada siapa-siapa kok. Mendingan kita baca ayat Kursyi,� kataku berusaha menenangkan adikku. Esok harinya, saat sarapan pagi, wajah Sarah terlihat pucat. �Kenapa sih Ibu mati, Mbak?� Sarah menatapku lekat-lekat. Terus terang, aku terkejut mendengar pertanyaan itu. Sama seperti Sarah, jauh di lubuk hati, aku kurang bisa menerima kepergian Ibu yang mendadak itu. Bila kuingat kepergian ibu mungkin karena kesalahanku. Seandainya saja aku waktu itu bersedia disuruh ibu mengantar kue ke rumah Ibu Hajjah Maryam tentu saja Ibu masih ada di samping kami sekarang. Ibu meninggal karena kecelakaan. Tertabrak oleh mobil yang pengemudinya sedang mabuk. Masih jelas dalam ingatanku wajah ibu yang penuh darah. Bajunya, rambutnya, semuanya basah oleh darah segar. �Mbak belum menjawab pertanyaanku?� Sarah mengusik lamunanku. Aku berusaha tersenyum. �Semua orang pasti akan menghadap Allah dan kebetulan Ibu sudah tiba waktunya,� jawabku diplomatis. Sarah tak bertanya lagi. Tapi rasa ketakutan masih terus menghantuinya. Hari-hari selanjutnya Sarah masih sering melihat wajah Ibu. Menurutnya, wajah ibu seperti terdapat di bak mandi, di kursi makan atau sofa biru yang merupakan tempat duduk favorit kami. Bahkan tak jarang dia juga seperti mendengar langkah-langkah kaki atau suara ibu. Sebenarnya, aku ingin membicarakan keadaan Sarah tersebut kepada Bapak, tapi aku tak punya keberanian. Sebab kulihat Bapak pun merasa sangat terpukul atas kepergian Ibu. Beliau semakin menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Khusus malam hari Bapak lebih banyak berdiam diri di dalam kamar. Tidak ada lagi malam-malam penuh kebahagiaan seperti saat Ibu masih hidup. Memang Sarah masih kecil untuk bisa menerima kenyataan hidup tanpa adanya seorang ibu. Berbeda dengan Hendra, adikku yang nomor dua ini bisa menerima kepergian Ibu dengan ikhlas. Sarah sepuluh tahun dan Hendra dua puluh tahun. Sore itu sesuatu terjadi. Tiba-tiba kudengar suara jeritan dari dalam rumah. Hendra berlari keluar. Mukanya pucat dan napasnya memburu. �Sarah, Mbak, Sarah!� teriaknya dengan nafas memburu. Aliran darahku mengalir deras, aku berlari masuk. Di kamar kujumpai adikku dalam keadaan mengerikan. Matanya melotot buas dan mencerca tak karuan. Suara yang terdengar bukan miliknya. Entah suara siapa. �Ini suara Ibu, Mbak!� Mak Leha berkata dengan tubuh menggigil ketakutan. Beberapa tetangga yang kebetulan mendengar teriakan Sarah serempak berdatangan dan segera memberikan bantuan. Kata Pak Soni, tetangga sebelah rumah, Sarah kesurupan. Dia kemasukan roh Ibu. Aku yang biasanya tak percaya pada hal-hal semacam itu, sekarang jadi berpikir lain. Setelah kepulangan bapak dari luar kota, aku nekad membicarakan masalah Sarah dengan beliau. Bagaimana pun Bapak adalah orang tua kami. Beliau harus tahu apa yang terjadi terhadap anak-anaknya. �Mungkin semua ini ada hubungannya dengan kalung ini,� Bapak membuka lemari pakaian Ibu. Dikeluarkannya sebuah kotak kayu berukir. Aku mendekat, ingin tahu benda apa yang akan diperlihatkan bapak. Sebuah kalung lengkap dengan liontinnya. Kalung itu sepertinya terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan, sedang liontinnya dari tulang yang diukir kepala manusia setengah srigala. �Inilah benda penjaga nyawa Ibu,� kata bapak menjelaskan. �Apa maksud Bapak?� Aku mengernyitkan kening. Akhirnya Bapak bercerita tentang sebuah rahasia yang sekian tahun terpendam. Setelah melahirkan Hendra, dokter tidak memperbolehkan Ibu punya anak lagi. Tapi entah kenapa walau telah ber-KB, Ibu kebobolan juga. Ibu bersikeras ingin mempertahankan janin yang ada di perutnya, meski dengan resiko yang bakal terjadi. Menjelang hari-hari kelahiran Sarah, Ibu cemas memikirkan maut yang dirasa semakin dekat. Walau akhirnya Ibu dan Sarah selamat. �Itu karena kita pakai orang pintar untuk menolong. Ibu mendapat firasat kalau Sarah tetap dilahirkan, Ibu akan meninggal. Dan jalan keluarnya mencari orang pintar. Orang yang dapat menjaga dan menjamin nyawa Ibu dan adikmu,� Bapak menatapku sendu. Sambil mendengar cerita bapak aku mengamati kalung yang ada di tanganku. Aku jadi merinding. �Biasanya ada hari-hari khusus di mana Ibu memandikannya,� kata Bapak lagi. Kalung itu disimpan kembali ke dalam kotaknya. �Hanya saja semenjak ibu meninggal tidak ada yang melanjutkannya. Mungkin itu yang membuat Sarah tidak tenang.� Aku menatap Bapak. Aku mengemukakan pendapat sebaiknya kalung itu dimusnahkan saja. Bapak menyetujuinya. Dengan suatu upacara keagamaan, kalung beserta liontin bentuk manusia serigala itu dibakar habis. Sarah yang saat itu sedang belajar meronta, menjerit. Matanya penuh amarah dan dendam menatapku, seolah-olah ingin menelanku bulat-bulat. Seiring dengan terbakar habisnya kalung itu, Sarah menjadi lunglai. Pak Syafii, Kyai yang kami undang ke rumah, semalaman mengaji ditemani Bapak dan Hendra. Sementara aku dan Mak Leha mendapat tugas menjaga Sarah. Dan setelah prosesi ini Sarah memang tenang. Tak pernah terjadi apa-apa lagi atas dirinya. Terkait:
__________________
![]() |
#2
|
||||
|
||||
![]() wew.. serem juga nih cerita. tapi cuma cerita ya not real
![]() |
#3
|
||||
|
||||
![]()
ini semacam cerpen gitu apa real sih ndan
![]() |
![]() |
|
|