Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Religion > Buddha

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 18th November 2010
Buddha Buddha is offline
Ceriwis Lover
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 1,075
Rep Power: 16
Buddha mempunyai hidup yang Normal
Default Memahami Dhamma Tanpa Meditasi, Mungkinkah?

Memahami Dhamma Tanpa Meditasi, Mungkinkah?



Pengertian Dasar

Topik ulasan ini adalah "Memahami Dhamma tanpa meditasi, mungkinkah?" Seperti biasa sebelum kita mengulas kita sebaiknya mengetahui terlebih dahulu arti dari setiap kata supaya tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan maksudnya.

Arti kata "memahami" di sini adalah paham atau mengerti dengan jelas, tidak samar-samar, tidak keliru. Tetapi tentu saja batasan "jelas" di sini juga sangat relatif karena tergantung dari sejauh mana tingkat penembusan Dhamma yang telah dicapai sesuai dengan praktik yang dilaksanakan oleh masing-masing orang.

Arti kata "Dhamma" di sini adalah ajaran Buddha. Dari sekian banyak kelompok Dhamma yang pernah diajarkan oleh Sang Buddha seperti yang tercantum dalam kitab suci Tipitaka, kita dapat mengambil intisarinya, yaitu "tidak berbuat jahat, memperbanyak perbuatan baik, mensucikan pikiran."

Manfaat dari pelaksanaan ajaran Buddha adalah pengikisan dari tiga akar kekotoran batin penyebab dukkha yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kegelapan/kebodohan batin) demi mencapai tujuan akhir yaitu Nibbana terbebas dari dukkha. Inilah tujuan tertinggi dari semua makhluk, bukan hanya umat Buddha saja.

Sedangkan arti kata "meditasi" di sini mengacu pada meditasi sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha yaitu Samatha Bhavana (pengembangan batin dalam hal penguasaan pikiran dan ketenangan) dan Vipassana Bhavana (pengembangan batin untuk mencapai pandangan tenang).

Sulitnya bertemu Dhamma

Sang Buddha pernah mengatakan bahwa untuk dapat terlahir sebagai manusia adalah sulit. Dapat bertemu dengan Dhamma adalah sulit. Dapat mencapai Nibbana adalah sulit. Memang betul, ini semua sama sekali bukan hal yang mudah. Bahkan di jaman Sang Buddha masih hidup, banyak sekali makhluk yang masih terlahir di alam sengsara sehingga tidak mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma. Dan bagi yang sudah sempat terlahir sebagai manusia juga masih banyak yang tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan Dhamma karena situasi dan kondisinya kurang sesuai. Misalnya tinggal di negara atau tempat yang belum terjangkau para pembabar Dhamma, ataupun terlahir karena kamma buruk sebagai manusia yang tidak mempunyai kemampuan untuk mencerna ajaran. Terlahir sebagai manusia yang tidak peduli dengan ajaran walaupun orang yang bersangkutan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Dhamma. Kemudian bagi yang sudah mempunyai kesempatan mendapatkan Dhamma dan mampu mempraktekkannya juga masih banyak yang belum berhasil mancapi tingkat- tingkat kesucian yang menjadi tujuannya. Semua fakta inilah yang dimaksud dengan sulit.

Bahkan seandainya kita mau mencoba merenungkan sejenak betapa sulitnya untuk bisa "hanya" sekadar terlahir sebagai manusia saja, kita akan mengerti betapa beruntungnya kita telah lahir sebagai manusia, bahwa dari semua makhluk yang ada di 31 alam kehidupan di seluruh alam kehidupan semesta raya ini, yang mempunyai kesempatan terlahir di alam manusia, alam dewa, dan alam brahma hanyalah seumpama sejumlah debu yang berada di ujung kuku ibu jari Sang Buddha dibandingkan dengan seluruh debu yang berada di alam semesta yang menggambarkan banyaknya makhluk yang berada di alam sengsara yaitu alam setan, alam asura, alam binatang, dan alam neraka. Ini bisa dibaca dalam satu khotbah Sang Buddha yang berjudul Sutta Ujung Kuku.

Jadi sangatlah beruntung bagi kita yang sekarang telah terlahir sebagai manusia dan punya kesempatan bertemu Dhamma, dapat mengerti Dhamma, dan dapat mempraktikkannya sehingga memperoleh manfaat yang sesuai. Cobalah kita membayangkan kondisi yang jauh lebih sulit dan sangat tidak menguntungkan seperti seandainya kita tidak terlahir sebagai manusia atau dewa; seandainya kita tidak mempunyai kesempatan bertemu Dhamma karena situasi dan kondisi yang tidak memungkin-kan walaupun ajaran Buddha masih eksis; seandainya kita masih terlahir lagi di zaman ketika ajaran Buddha telah lenyap terlupakan. Dalam kondisi demikian bagaimanakah kita dapat memahami arti sesungguhnya dari kehidupan ini? Bagaimanakah kita dapat mulai berusaha memutuskan rantai lingkaran kelahiran dan kematian (samsara)? Kita bahkan tidak akan mengerti bahwa kita berada dalam samsara. Kita seperti orang yang berada dalam kegelapan tanpa adanya panduan cahaya pelita dari orang-orang yang sudah tercerahkan. Atau seperti pengembara yang tersesat berjalan berputar-putar tidak tahu arah tujuan karena tidak ada petunjuk jalan. Sungguh mengerikan! Tetapi apakah kita sekarang menghargai semua keberuntungan kita tersebut di atas?

Kondisi di masyarakat umum sekarang

Setelah lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu sejak Sang Buddha Parinibbana tentu saja dunia ini telah mengalami begitu banyak perubahan. Kemerosotan manusia terus meningkat secara kualitas maupun kuantitas seiring dengan semakin terlupakan dan terabaikannya ajaran Buddha. Bahkan ajaran Buddha sendiripun semakin banyak diselewengkan demi kepentingan pihak-pihak tertentu yang berdasarkan keserakahan atau kebencian ataupun semata-mata karena kebodohan.

Dalam kondisi ini, walaupun agama Buddha tersebar hampir di seluruh dunia, tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa banyak aliran-aliran yang memakai label agama Buddha tetapi tidak mengajarkan apa yang sesuai dengan Dhamma alias ajaran keliru. Memang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa mengetahui mana praktik Dhamma yang benar dan mana yang hanya sekadar praktik ritual dan bentuk kepercayaan yang tidak membawa manfaat perkembangan batin.

Bahkan ada juga orang-orang yang telah mempunyai kesempatan untuk mempelajari dan memahami teori-teori Dhamma secara intelektual tetapi masih juga enggan untuk mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada saja alasan untuk menunda praktik sehingga semua pengetahuan teori Dhamma menjadi tidak bermanfaat, seumpama orang yang membaca resep obat dan memahami cara kerja obat itu untuk menyembuhkan penyakit tetapi ia tidak meminum obat tersebut. Tentu saja sakitnya tidak akan sembuh.


Kemudian ada juga orang yang membatasi diri untuk hanya mempraktikkan Sila (moralitas) dan Caga (kemurahan hati). Ia sengaja tidak melatih meditasi karena ia menganggap meditasi hanya untuk petapa, atau hanya untuk orang yang berbakat, atau hanya untuk pelengkap, atau bahkan dianggap tidak penting dan tidak perlu. Ada juga yang berpikir baru akan meditasi setelah tua. Semua ini tentunya karena ada kekeliruan panafsiran. Dan ironisnya, tanpa pernah melatih meditasi, banyak juga orang yang menganggap dirinya sudah memahami Dhamma dengan baik dan benar karena yang bersangkutan telah banyak belajar dan menalar, juga telah banyak mempraktikkan berbagai bentuk kebajikan dalam kehidupannya dan telah merasakan menfaatnya. Kemudian ada beberapa dari mereka mulai menjadi penceramah dan mengajarkan "pemahaman" Dhamma kepada orang lain. Walaupun niatnya sangat baik dan mulia tetapi karena memang belum penah melatih meditasi maka apa yang mereka ajarkan itu tentu saja sangat besar sekali kemungkinan kelirunya terutama mengenai hal motivator agar orang lain bersemangat melakukan lebih banyak kebajikan.

Kebijaksanaan intelektual yang biasanya diperoleh dari membaca dan mendengar Dhamma serta bernalar memang tidaklah cukup untuk memahami Dhamma secara lebih mendalam. Pengertian samar-samar dan labil seperti ini bahkan cenderung mengarah kepada praktik yang keliru karena didasarkan pada pengertian dangkal bukan didasarkan pada pengalaman dari hasil pengamatan diri atau hasil dari berlatih meditasi yang benar sampai batas tertentu dari masing-masing individu.

Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa semakin dalam seseorang memahami Dhamma maka akan semakin intensif ia mempraktikkan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai efek pemahamannya akan tumbuh semakin dalam lagi dan seterusnya ia kan berlatih intensif lagi sesuai dengan kapasitasnya. Sebaliknya semakin dangkal pemahaman Dhamma seseorang maka akan semakin minim praktik Dhamma, dan sebagai efek minimnya praktek Dhamma maka pemahaman Dhamma akan semakin dangkal sampai suatu saat ia melupakan Dhamma kemudian ia menjadi manusia yang menuju ke tempat yang lebih gelap. Praktek Dhamma yang dmaksud disini adalah Caga, Sila, Samadhi, dan Panna.

Pentingnya memahami Dhamma

Memahami Dhamma bukan hanya penting, melainkan amat sangat penting. Bahkan begitu vitalnya sampai hidup seseorang nyaris tidak mempunyai arti bila ia tidak memahami Dhamma. Mengapa demikian?

Memahami Dhamma berarti memahami diri sendiri yaitu batin dan jasmani yang berproses terus menerus. Memahami diri sendiri berarti memahami kehidupan. Tanpa memahami diri sendiri bagaimana mungkin kita bisa memahami semua hal lain yang berada di luar diri sendiri? Tanpa memahami kehidupan bagaimana mungkin kita bisa mengetahui apa tujuan yang seharusnya dituju? Tanpa mengetahui tujuan bagaimana mungkin kita bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai langkah menuju tujuan? Akirnya bila rentang waktu kehidupan ini berlalu sia-sia tanpa adanya upaya yang dapat lebih mendekatkan kita ke tujuan akhir karena memang kita tidak memiliki dasar pemahaman Dhamma yang memadai maka inilah yang disebut hidup tanpa arti.

Pemahaman Dhamma secara utuh dan sempurna hanya di miliki oleh para Arahat atau orang yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi. Mereka telah "lulus" dari melatih diri dalam praktik Dhamma. Tentu saja mereka tidak begitu saja secara instan menjadi Arahat mereka telah melalui proses yang sangat panjang dan perjuangan yang sangat berat demi mencapai tujuan akhir Nibbana. Artinya sebelum mencapai Arahat, mereka juga sama saja seperti kita semua mesti memulai dari pemahaman yang relativ dangkal. Kemudian didorong tekad dan semangat yang kuat serta didukung oleh timbunan Parami (syarat kesempurnaan spiritual) yang memadai mereka terus-menerus melatih diri dalam praktik Dhamma sehingga pemahaman Dhamma-nya menjadi semakin dalam dari waktu ke waktu. Dari suatu rentang waktu kehidupan diteruskan ke rentang waktu kehidupan selanjutnya, demikianlah dalam setiap kelahiran mereka semakin menyempurnakan pemahaman Dhamma seiring dengan semakin meningkatnya kualitas praktik Dhamma.

Memahami Dhamma tanpa Meditasi, mungkinkah?

Bagi kita semua, umat Buddha atau bukan umat Buddha, sudah seharusnya memiliki pemahaman Dhamma dan sudah seharusnya berupaya meningkatkan pemahaman tersebut dari waktu ke waktu dengan praktek yang benar bila tidak maka kita akan kehilangan arah dan pijakan karena kita hidup sepenuhnya dalam khayalan. Mengapa? Karena kita hanya bisa relatif terbebas dari khayalan pada saat kita mampu melihat dengan jelas momen-momen realitas yang sesungguhnya berlangsung atau berproses dalam batin dan jasmani kita sendiri. Pengalaman langsung seperti itulah yang sangat penting. Tanpa pernah mengalami ini tidak akan pernah ada pemahaman Dhamma yang sesungguhnya walaupun orang yang bersangkutan mampu menghapal seluruh isi kitab suci Tipitaka, walaupun ia merupakan tokoh agama paling pandai berceramah dan berdebat.

Bagaimana mungkin seseorang dapat memahami Dhamma dengan benar pada saat ia bahkan tidak bisa menyadari realitas saat ini yang berlangsung di dalam dirinya sendiri? Apapun yang dipahaminya pada saat tidak ada kesadaran murni (sati) seperti itu hanyalah sebatas pemahaman intelektual. Artinya tidak berdasarkan realitas yang sesungguhnya berlangsung pada saat itu, tetapi hanya sekadar berdasarkan ingatan dan nalar (kebijaksanaan intelektual = Sutamaya Panna dan Cintamaya Panna).

Hanya pada saat seseorang dapat melihat dengan jelas momen dimana batin dan jasmani berproses, pada momen itu ia bebas sementara dari lobha, dosa dan moha. Dan pada momen itu jugalah ia dapat memahami Dhamma sebagai mana adanya, yang tentunya sesuai dengan tingkat perkembangan batin yang bersangkutan. Ia akan mampu melihat sampai batas tertentu sifat dari proses batin dan jasmani yaitu anicca (tidak kekal), dukkha (tidak memuaskan) dan anatta ( tanpa inti yang kekal). Pemahaman jenis ini di sebut bhavanamaya panna yang hanya dapat di peroleh dalam meditasi vipassana. Bila pada momen selanjutnya ia kehilangan konsentrasi dan sati pada saat itu ia juga kehilangan pemahaman Dhamma kembali diambil alih oleh kebijaksanaan intelektual. Itulah mengapa kunci pemahaman Dhamma sebenarnya ada di meditasi. Dalam hal ini vipassana.

Selanjutnya dengan semakin kuatnya konsentrasi dan sati, meditasi akan semakin maju. Kemudian pada tahap perkembangan tertentu orang yang bersangkutan akan menembus satu persatu tingkat pengetahuan spiritual yang dikenal dengan sebutan vipassana nana. Setiap penebusan nana akan membuat pemahaman dan keyakinan terhadap Dhamma semakin dalam dan kuat. Tahap tahap ini merupakan tahap tahap menuju tercapainya tingkat kesucian yang merupakan pemahaman Dhamma yang sempurna. Ini hanya dapat dicapai dengan melaksana-kan vipassana.

Tapi hendaknya vipassana di sini tidak diartikan secara sempit yaitu hanya sebagai mengikuti retrit sepuluh hari, tiga puluh hari atau sepuluh tahun. Ataupun terbatas pada vipassana dengan metode tertentu, dengan guru tertentu, diorganisasi tertentu dan sebagainya. Segala cara meditasi yang mengacu dan berdasarkan pada kotbah Sang Buddha "Satipatthana Sutta" digolongkan sebagai meditasi vipassana. Sebaliknya segala cara meditasi yang tidak sesuai dengan "Satipathana Sutta "tidak dapat digolongkan sebagai vipassana walaupun diberi label vipassana.

Melatih meditasi vipassana juga hendaknya tidak diartikan bahwa harus dilakukan dengan postur tubuh tertentu ataupun waktu tertentu karena vipassana adalah latihan untuk memperkuat kesadaran murni (sati) dengan cara mengamati proses batin dan jasmani maka tentu saja dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan dengan postur tubuh apa saja. Diam atau bergerak, duduk atau berdiri atau berjalan. Artinya setiapkali kita sedang berupaya menyadari proses batin dan jasmani kita sedang melatih vipassana.

Mungkin kemudian di antara kita ada yang berpikir bahwa apabila kunci pemahaman Dhamma ada di vipassana demi memperoleh kebijaksanaan (panna) lalu untuk apa repot repot mempraktekkan caga, sila dan samadhi? Sang Buddha tentu saja tidak akan mengajarkan praktek yang tidak bermanfaat. Pada prinsipnya tanpa ada dasar konsentrasi dan penguasaan pikiran (samadhi) tidak akan ada vipassana (panna), seumpama ahli bedah tidak dapat mulai membedah tanpa adanya alat bedah. Tanpa di dasari sila yang baik tidak akan ada samadhi karena gelombang pikiran terlalu keruh dan bergejolak. Jadi sila mendukung samadhi. Samadhi mendukung panna. Panna mendukung sila. Inilah tiga serangkai praktik Dhamma kita mesti berupaya melaksanakan ketiganya sesuai kapasitas kita masing masing bila ingin betul betul memahami Dhamma secara lebih utuh.

Kesimpulan

Jalan Mulia Beruas Delapan seperti yang diajarkan Sang Buddha merupakan jalan tunggal dan satu satunya jalan untuk memahami Dhamma demi mencapai tujuan akhir. Jalan ini dapat diringkas menjadi pelaksanaan Sila, Samadhi dan Pann1 seperti telah dijelaskan terdahulu.Jalan Mulia Beruas Delapan dimulai dengan kelompok Panna (Kebijaksanaan) yaitu pengertian Benar (Samma Ditthi) dan Pikiran Benar (Samma Samkappa). Pengertian benar berarti pengertian yang telah menembus empat kebenaran mulia. Pikiran benar berarti pikiran yang terbebas dari lobha, dosa, dan moha. Panna inilah yang dimaksud dengan pemahaman Dhamma yang sempurna. Inilah bhavanamaya panna atau kebijaksanaan sebagai hasil dari vipassana yang dimiliki orang yang telah mencapai tingkat kesucian. Tetapi tentu saja Bhavanamaya panna bukan hanya milik orang suci. Orang yang belum mencapai tingkat kesucian juga bisa saja memiliki bhavanamaya panna pada momen-momen di mana konsentrasi, perhatian, dan kesadaran diarahkan secara benar pada objek proses batin dan jasmani. Hanya saja walaupun sama-sama disebut sebagai bhavanamaya panna tetapi berbeda tingkat dan kualitasnya.

Memahami Dhamma memang biasanya dimulai dengan pengertian benar secara intelektual yaitu mendengarkan Dhamma dari pengajar, mempelajari Dhamma dari buku-buku. Ini disebut sebagai Sutamaya panna (pemahaman dengan ingatan). Kemudian dengan bahan-bahan yang tersimpan dalam memori, kita mulai melakukan penalaran dengan pikiran. Ini disebut sebagai Cintamaya panna merupakan proses Pariyati yaitu belajar Dhamma. Setelah itu barulah kita mempraktikkan Dhamma (Patipatti) sehingga bisa memperoleh Bhavanamaya panna sampai tahap tertentu.

Bhavanamaya panna inilah yang dimaksud dengan pemahaman Dhamma yang benar, mulai dari tingkat awal sampai tingkat terakhir. Puncak dari Bhavanamaya panna adalah penembusan Dhamma (Pativedha) yaitu tercapainya Magga (jalan) dan Phala (buah). Nibbana.

Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa tidak mungkin ada pemahaman Dhamma tanpa meditasi karena pemahaman Dhamma yang sesungguhnya tidak lain adalah hasil dari pelaksanaan meditasi vipassana. Tanpa meditasi, tidak ada pemahaman Dhamma. Sederhana bukan?





Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 09:28 PM.


no new posts