for
Candi Cangkuang:
Berdasarkan informasi pemandu dan buku keterangan, Candi Cangkuang ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti sejarah Leles Harsoyo dan Drs. Uka Candrasmita. Hal tersebut bermula ketika Uka menemukan sebuah buku tua berjudul
�Notule Bataviaasch Genootschap� yang ditulis seorang Belanda Vorderman pada tahun 1893. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa di daerah Garut, ditengah Situ Cangkuang, ditemukan kuburan kuno dengan nama nisan Dalem Arif Muhammad. Rupanya Vorderman merasa penasaran karena ia juga menemukan patung Shiwa yang berada di samping kuburan Islam ini. Hal tersebut menimbulkan teka teki bagi tim peneliti tentang ada apa sebenarnya di tempat tersebut.
Atas dasar itu Uka dan timnya melakukan peninjauan ke Kampung Pulo. Ia memang menemukan arca Shiwa yang sudah dalam keadaan rusak dan makam Islam seperti yang disebutkan Vorderman. Kemudian, pada tahun 1967-1968, penelitian dilanjutkan dan tim berhasil menemukan batu-batu yang merupakan bagian dari sebuah candi di sekitar area makam hingga radius 500 meter. Batu-batu tersebut banyak dimanfaatkan sebagai batu nisan pemakaman warga termasuk juga sebagai nisan makam Arif Muhammad sendiri. Uka dan timnya pun berusaha mengumpulkan bebatuan tersebut.
Setelah itu, dilakukanlah rekonstruksi Candi Cangkuang pada tahun 1974. Usaha ini kabarnya bukan tanpa kendala. Konon, banyak warga Kampung Pulo yang menentang karena menganggap pemugaran candi tersebut ingin menghidupkan kembali ajaran Hindu di daerah itu. Namun, dengan usaha yang gigih dari pihak berwenang, masyarakat pun akhirnya sadar kalau pemugaran candi tersebut untuk tujuan melestarikan kebudayaan nasional yang suatu hari kelak dapat bermanfaat bagi generasi selanjutnya.
Di samping puing-puing candi, pada saat itu tim peneliti juga menemukan benda-benda lain seperti serpihan pisau dan batu-batu besar yang diperkirakan berasal dari zaman batu megalitikum. Candi Cangkuang diperkirakan berasal dari abad ke-8 M. Akan tetapi, secara pasti siapa yang membangun candi tersebut serta untuk apa didirikan, apakah hanya untuk ibadah atau untuk mengenang orang kerajaan yang wafat, masih merupakan misteri.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Candi Cangkuang didirikan pada masa para Kerajaan Sunda yang merupakan salah satu pecahan dari kerajaan Tarumanegara (pecahan lainnya bernama Kerajaan Galuh). Berdasarkan cerita yang berkembang, pada waktu itu, putra mahkota kerajaan yang bernama Niskala Wastu Kancana, sebelum dinobatkan menjadi raja diminta mengembara ke daerah yang kala itu disebut Bianaya Jampang. Dalam perjalanannya, ia menemukan daerah Cangkuang dan mendapati penduduk sedang membangun Candi Syiwa. Kepada kepala kampung ia menyatakan rasa kurang setuju atas pendirian candi tersebut, padahal candi sudah setengah jadi. Setelah menerawang dengan kekuatan batinnya, Niskala Wastu Kancana berkata kepada si kepala kampung bahwa suatu hari akan muncul agama baru. Agama yang akan menguasai wilayah kampung tersebut dan sekitarnya. Menurutnya membangun candi di tempat itu adalah kurang tepat. Seharusnya dilakukan di tempat lain yang agak jauh.
Ramalan batin Niskala Wastu Kencana tampaknya tidak meleset. Beberapa abad kemudian Islam sudah menyebar dan menjadi agama penduduk di Kampung Pulo. Hal tersebut tidak terlepas dari cerita Arif Muhammad yang datang ke kampung tersebut diperkirakan pada abad ke-17 M. Masih menurut cerita yang berkembang, Arif Muhammad adalah utusan kerajaan Mataram yang ditugasi menyerang VOC di Batavia. Namun, penyerangan tersebut gagal. Arif Muhammad dan beberapa prajuritnya berhasil meloloskan diri hingga tiba di Kampung Pulo. Karena takut akan dihukum penguasa Mataram, mereka memilih untuk tinggal di sana dan mengajarkan Agama Islam.
Selain Hindu, pada saat itu masyarakat Kampung Pulo menjalankan kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Lambat laun mereka mulai mempelajari dan menganut Islam. Meskipun begitu, Arif Muhammad tetap menghargai adat, atau kebiasaan penduduk setempat. Misalnya, larangan untuk tidak boleh bekerja pada Hari Rabu, tidak boleh memukul gong dan tidak boleh memelihara ternak berkaki empat. Kebiasaan-kebiasaan tersebut tampaknya masih dijalankan sampai sekarang. Arif Muhammad juga tetap membiarkan reruntuhan Candi Hindu yang ada untuk menghargai keberadaan Agama Hindu di Kampung Pulo di masa lampau.
Hal lain yang menarik dari Situs Candi Cangkuang ini adalah terdapatnya komplek rumah adat yang terdiri dari 7 buah rumah di sekitar candi. Komplek tersebut telah dijadikan Cagar Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Garut. Konon, rumah-rumah itu diperuntukkan bagi anak Arif Muhammad yang berjumlah 7 orang (6 wanita dan 1 laki-laki). Enam rumah yang berjajar berhadapan 3 sebelah kiri dan 3 sebelah kanan melambangkan anak wanita serta 1 mesjid yang terletak di tengah adalah lambang anak laki-laki (rumah anak laki-laki). Jumlah rumah anak Arif Muhammad ini tidak boleh ditambah atau dikurangi dan 6 rumah yang ada harus terdiri dari 6 kepala keluarga, juga tidak boleh lebih atau kurang. Jika ada anak yang menikah, maka anak tersebut harus keluar rumah paling lambat 2 minggu setelah menikah. Sesuai aturan juga, rumah-rumah tersebut dimiliki oleh pihak wanita dan bukan pria.