|
|
| Post Reply |
| Tweet | Thread Tools |
|
#1
8th February 2011
|
||||
|
||||
Cinta Pawang Naga
 ANTARA/UJANG ZAELANI
Quote:
HIDUP menjadi rangerkomodo (semacam pawang) tidaklah mudah. Mereka harus menyatu dengan denyut kota kecil, dan bekerja di tengah hutan dengan ancaman bahaya dari serangan komodo yang keliarannya terus dipelihara.
Februari 2009, seorang ranger lupa menutup pintu saat mengerjakan tugas administrasi di kantornya di Pulau Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur. Kakinya pun disambar komodo. Sadar karakter gigi komodo yang bergerigi, dia nekad membuka mulut komodo dengan dua tangannya. Begitu terlepas, dia loncat ke atas meja berlanjut ke atas lemari, sambil berteriak minta tolong. Teman-temannya sesama ranger berdatangan, tapi tak bisa langsung menolong. Maklum, amis darah telah mengundang kawanan komodo lain. Alhasil beberapa menit para ranger sibuk mengusir serbuan komodo. Setelah berhasil, mereka langsung memberi pertolongan pertama, membawa korban ke Labuan bajo yang jaraknya beberapa jam dari Pulau Komodo, dan segera mengupayakan penerbangan ke Bali. Sekitar enam bulan pengobatan dilakukan, dan kini sang ranger sudah kembali bekerja seperti semula. Pertarungan Kecintaan pada tugas, kecintaan pada komodo dan alam Flores membuat mereka terus bertahan. Sekitar 67 ranger yang juga polisi hutan dari berbagai daerah di Indonesia ditempatkan ditiga pos utama di Pulau Komodo, Rinca, dan Padar. Jumlah petugas jelas tidak memadai. Apalagi jika dibandingkan dengan luas Taman Nasional Komodo yang mencapai 1917 km2. Namun tugas adalah tugas, harus tetap dilaksanakan. Setelah bertahun-tahun berjuang, dua tahun terakhir kasus perburuan liar dan pemboman ikan sudah jauh berkurang. Ande Kevi, salah satu ranger dari Timor Timur yang bergabung sejak 2002, mngatakan satu tahun belakangan bahkan tidak ditemukan kasus perburuan liar. Yang masih ada ialah pemboman ikan. Empat tahun lalu, tutur Kevi, pertarungan dengan para pemburu liar bak kisah dalam film. Hutan sering dibakar dengan sengaja, para petugas sering terlibat baku tembak dengan para pemburu liar. Namun toh seberapa sering dan seberapa ketat patroli dilakukan belum mampu meredam perburuan liar (kijang). "Baru setelah tokoh yang mengepalai perburuan liar meninggal sekitar empat tahun lalu, kasus perburuan liar jauh berkurang. Bahkan tahun lalu kami tidak menemukan kasus," ujar Kevi. Meski demikian, bukan berarti tugas patroli menjadi kendor. Para polisi hutan tetap melakukan patroli rutin. Jika dibutuhkan, mereka juga merangkap menjadi ranger. Jika wisatawan dari kapal pesiar yang jumlahnya bisa mencapai seribu orang datang, hampir seluruh petugas berperan menjadi ranger. Berbekal tongkat bercabang dua unttuk menghalau komodo dengan cara mengarahkan ke wajah atau mencolokkan ke hidung jika sudah sangat terpaksa. Tugas utama mereka ialah menjaga keamanan wisatawan sekaligus berperan sebagai pemandu wisata. Pelatihan dan pelajaran yang didapat dari alam membuat mereka fasih memberi penjelasan. Mulai dari jenis pepohonan, binatang dan kebiasaannya, serta dimana saja habitat hewan liar bisa ditemukan. "Sejauh ini kami bisa mengatasi. Tapi kami berharap jumlah ranger bisa ditambah," tutur Kevi yang kini sudah memiliki putra, menikah dengan penuduk setempat. Teman-teman Kevi sesama ranger mengiyakan. Mereka memunyai harapan, penambahan ranger jangan diisi pendatang seperti mereka, tetapi lewat perekrutan penduduk lokal. Cara ini, ujar mereka, bisa menumbuhkan rasa cinta dan memiliki penduduk lokal. Berbekal harapan itulah Kevi dan teman-temannya terus berupaya menarik perhatian penduduk setempat. Mereka sendiri kian menyatu dengan denyut kehidupan Flores. Mencintai hutan dan penghuninya. (Lin/X-13) Terkait:
|
| Sponsored Links | |
| Space available | |
| Post Reply |
|
|
