Login to Website

Login dengan Facebook


 

Buku Tempat jual beli berbagai macam buku

Post Reply
Thread Tools
  #1  
Old 18th July 2012
einsteinn's Avatar
einsteinn
Ceriwis Pro
 
Join Date: Jul 2012
Posts: 2,559
Rep Power: 17
einsteinn mempunyai hidup yang Normal
Default Dialog Senja

Kondisi Barang : Baru

Harga :



Lokasi Seller : Jawa Timur


Description :



Sudah terbit buku antologi cerita DIALOG SENJA



Karya Nina Candra Dewi dan Wishnu Mahendra Wiswayana.

Tebal: 130 halaman.

Harga Rp. 40.000,- (luar kota tambah ongkir ya....)

Beli partai bisa nego. Minimal 5









Pemesanan bisa sms ke:

085646732603 (NUGIE)



Sinopsisnya



Sore Ini Aku Pulang Membawa 1000 Bendera



Semua orang berlomba-lomba untuk berkata aku cinta. Aku kagum. Aku bangga akan negeriku. Negeri yang mana? Negeri yang setiap harinya berisi kabar pemerkosaan, negeri yang setiap harinya berisi berita kehilangan atau negeri yang katanya mempunyai gunung emas namun hak milik menjadi milik tetangga?



Boleh tau, negeri mana yang kalian maksud untuk di banggakan keberadaannya?



Hendonesah, Heindonesah, atau Hendonesia. Ah..sudahlah..



Aku tidak pernah dapat mengeja tulisan ini dengan benar. Tidak terlalu penting juga bagiku untuk benar dalam mengejanya. Toh benar tidaknya ejaanku sama sekali tidak berpengaruh dengan hari-hariku yang hanya sebagai penjual arbanat keliling.



Namaku Fatimah. Usiaku genap 18 tahun pada Agustus bulan ini. Sudah setahun ini aku putus sekolah. Pekerjaan sehari-hariku sebagai penjual arbanat keliling. Dengan sebuah rebab di tangan dan sebuah kaleng berisi arbanat di tangan lainnya aku berjualan dari kampung ke kampung. Ayahku minggat dengan pacarnya tiga bulan yang lalu, sedangkan ibuku sekarang sedang asik dengan pekerjaan barunya di tempat karaoke sehingga ia sama sekali tidak pernah pulang ke rumah. Banyak gosip beredar bahwa ibu sekarang menjadi simpanan seorang pejabat. Sepertinya ia lupa masih ada aku dan Hatta, adikku berusia tujuh tahun, yang butuh kasih sayangnya. Jadi sekarang tinggallah hanya aku dan Hatta di rumah petak ini.



Esok hari ialah hari kemerdekaan. Semua orang sepertinya sudah menyiapkan diri untuk menyambut hari yang katanya simbol kemenangan bangsa ini. Rumah-rumah dicat agar tampat baru. Bendera-bendera di cuci agar terlihat sama seperti pertama kali mereka membeli. Lampu-lampu hias dipasang untuk menghias rumah mereka.



Sedangkan aku? Untuk membeli sehelai kain bendera saja tidak pernah mampu. Penghasilanku sebagai tukang arbanat keliling hanya cukup untuk membeli makan bagi aku dan adikku, Hatta. Sedangkan untuk biaya sekolah Hatta, biasanya aku setiap sebulan sekali mendatangi tempat kerja ibu kemudian mengemis belas kasihannya agar memberiku uang demi biaya sekolah Hatta. Ia memberiku uang lengkap dengan bonus beberapa memar di wajah.



Sore ini tidak seperti biasanya. Ketika aku selesai keliling seharian menjajakan arbanatku, aku melihat Hatta menangis sesenggukkan di pojok kamar. Tidak biasanya Hatta seperti itu. Ia termasuk bocah yang sangat periang. Jarang sekali ia menangis kecuali jika hal tersebut benar-benar menyakiti hatinya.



�Kamu kenapa, dik?� tanyaku perlahan sembari mengelus rambutnya.



�Aku ingin bendera kak. Kata ibu guru, cara menunjukkan rasa cinta negeri ialah dengan memasang bendera esok hari. Aku ingin cinta negeri kak. Aku ingin bendera.� Semakin keraslah tangis Hatta sore itu.



Deg. Seketika jantungku terhenti. Orang bodoh mana yang berani berkata seperti ini pada adikku. Orang bodoh mana yang hanya mengukur kadar cinta negeri melalui sehelai kain.



�Bukannya tahun-tahun kemarin, tidak masalah jika kita tidak memasang bendera?� perlahan ku coba menjelaskan.



�Aku ingin benderaa�. Aku ingin cinta kepada negeri seperti anak-anak lainnyaa..�



Sejenak aku berfikir. Harga sebuah bendera ialah 34ribu. Sedangkan uang yang kumiliki sekarang hanya sepuluh ribu. Aku malu untuk meminjam kepada tetangga lagi. Sudah banyak sekali hutang-hutangku pada seluruh penduduk kampung ini yang belum sempat kulunasi.



Akhirnya kuputuskan sore ini untuk datang ke tempat karaoke tempat ibu bekerja. Kulihat ibu sedang duduk dekat sekali dengan seorang bapak-bapak berusia separuhbaya, berjas dan bedasi. Wajah lelaki itu tidak asing bagiku. Aku sering melihatnya berkoar-koar tentang nasionalisme di televisi akhir-akhir ini. Nasionalisme yang akhirnya harus membuat adikku menangis sore ini dan membuatku datang lagi ke tempat ini.



Sepertinya ibu melihat kedatanganku, bergegas ia meninggalkan lelaki itu kemudian menuju ke arahku.



�Mau apa lagi kamu anak sial?!� hardik ibu kepadaku.



�Aku kesini ingin meminta uang, Bu. Hatta ingin sekali dibelikan bendera untuk menghias rumah di hari kemerdekaan esok hari.� Ujarku perlahan



�Kamu ini kerjanya menyusahkan saj�..� belum sempat ibu mengulurkan tangannya ke pipiku seperti biasanya, bapak-bapak yang tadi ia temani sepertinya memanggilnya. Segera ia kembali menemui lelaki itu. sepertinya mereka terlibat sebuah pembicaraan serius, hingga kemudian ibu berbalik arah lagi kembali menemuiku. Kali ini dengan wajah yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dengan senyum merekah di bibirnya.



�Baiklah jika kamu ingin uang. Ibu mengerti. Ayo mari ikut ibu dulu menemui salah satu teman ibu..�



Aneh. Tidak pernah ibu seramah ini kepadaku. Satu-satunya kasih sayang ibu yang ku tahu dari dulu hanyalah tamparan. Bukan senyuman seperti ini. Ku ikuti langkah ibu untuk membawaku ke arah lelaki separuh baya tadi.



�Bram..� lelaki itu memperkenalkan dirinya kepadaku.



�Fatimah, pak..� kuperkenalkan juga diriku kepadanya.



�Katanya kamu butuh uang untuk membeli bendera ya? Wah kamu anak muda yang sangat membanggakan sekali ya. Masih muda namun sudah sangat cinta kepada negerinya. Jarang sekali ada anak muda seperti kamu ini pada jaman seperti ini. Saya ini juga sangat cinta negara ini. Saya tahu betul apa itu semangat nasionalisme. Saya ini�.�



Bla.bla.bla.bla..



Lelaki ini tak henti-hentinya berbicara tentang nasionalisme persis seperti yang biasa ia katakana di televisi dan Koran-koran akhir-akhir ini.



�Jika kamu ingin membeli bendera , saya bisa membantumu untuk membeli berapapun bendera yang kamu suka. Mari ikut saya..�



Setengah memaksa lelaki ini menarik pergelangan tanganku dan menyeretku ke sebuah ruang kecil di area karaoke ini. Aku sama sekali tidak berkutik. Ku lirik ke arah ibu bermaksud meminta bantuan, ternyata ia sama sekali tidak memperdulikanku. Ia malah beralih menuju tamunya yang lain.



Di ruangan kecil ini masa depanku direnggut secara paksa oleh orang yang mengaku memiliki rasa nasionalis paling tinggi di negeri ini. Sekeras apapaun aku berteriak hingga menangis memohon belas kasihan, lelaki ini sama sekali tidak memperdulikanku.



Lima belas menit kemudian. Sesaat setelah lelaki biadab ini memuaskan hasratnya kepadaku, ia memberiku segenggam uang kertas berwarna merah. Kemudian pergi begitu saja meninggalkanku di sudut ruangan ini.



Perlahan aku bangkit. Dengan kedaan tubuh masih berantakan dan sembari menahan sakit aku pergi meninggalkan tempat ini. Sama sekali tidak kuperdulikan ibu yang sedang asik berjoget dengan lelaki-lelaki yang entah siapa tak ku kenal. Yang aku tau saat ini, aku pulang membawa segenggam penuh uang di tangan dan segenggam rasa cinta tanah air yang masih tersisa ini.



Hendonesah, Heindonesah, atau Hendonesia. Ah.. aku tetap saja gagal untuk mengejanya dengan benar.



Yang jelas sore ini kakak pulang membawa 1000 bendera, dik. Ujarku dalam hati.



_selesai_

Sponsored Links
Space available
Post Reply

« Previous Thread | Next Thread »



Switch to Mobile Mode

no new posts