|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Quote:
WASHINGTON--MICOM: Amerika Serikat (AS) Selasa waktu setempat atau Rabu (5/1) WIB, mengatakan mereka menentang setiap rencana bagi pembagian kekuasaan setelah pemilihan yang disengketakan di Pantai Gading, mengulangi seruannya pada pemimpin bertahan
Laurent Gbagbo untuk turun dari kekuasaan. "Tidak ada pemecahan yang akan mencakup pengaturan pembagian kekuasaan," tegas jurubicara Deplu AS Philip Crowley. "Hasil pemilihan itu jelas." "Demi masa depan demokrasi di Pantai Gading dan Afrika Barat, (Gbagbo) harus mengundurkan diri," katanya. Crowley menambahkan bahwa AS telah "memberikan isyarat padanya bahwa jika ia ingin datang ke AS kami telah siap untuk membicarakan kemungkinan ini". Tapi, ia menambahkan, setiap pertimbangan untuk Gbagbo akan memperhitungkan tuduhan kekerasan di Pantai Gading. Seorang pejabat senior Deplu AS menyatakan ia mengerti "bahwa Prancis telah menawarinya kesempatan untuk datang ke negara itu juga. Begitu pula sejumlah negara lainnya," ia menambahkan tanpa menyebut negara lain itu. Tawaran itu masih berlaku bagi Gbagbo untuk datang ke AS, tempat ia memiliki keluarga, tapi ia menunjukkan seperlunya ketertarikan untuk menerima tawaran itu, kata pejabat tersebut. Di Abuja, seorang juru bicara Alassane Ouattara, orang yang dunia katakan menang dalam pemilihan presiden November di Pantai Gading, juga bersikeras bahwa Gbaggbo harus mundur untuk mengakhiri konflik lima pekan itu ketika sedikitnya 179 orang telah tewas. "Kami semua menunggu ia pergi," kata pembantu Ouattara Ali Coulibaly. "Sisanya tidak menarik kami." Komisi Pemilihan Independen Pantai Gading dan juga PBB telah menyatakan Ouattara adalah pemenang pemilihan presiden putaran kedua 28 November, sementara itu dewan konstitusi negara itu mengatakan bahwa Gbagbo yang menang. Kedua orang itu telah mengangkat sumpah sebagai presiden, dan Gbagbo menyatakan ada rencana intenasional untuk memecatnya setelah lebih dari satu dasawarsa berkuasa. PBB menyatakan bahwa sedikitnya 179 orang telah tewas dalam kekerasan pasca-pemilihan, tapi organisasi dunia itu tidak dapat menyelidiki sepenuhnya karena serangan terhadap personelnya. Terkait:
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|