View Single Post
  #1  
Old 2nd September 2016
Gusnan's Avatar
Gusnan Gusnan is offline
Moderator
 
Join Date: Jun 2013
Posts: 27,623
Rep Power: 47
Gusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyak
Default Sisi gelap penuh lendir bioskop legendaris Senen




Bioskop legendaris di Senen tampak dari depan.

"Mau ke mana? Ayo bisa nih," kata wanita berkaos merah muda yang langsung menyambut para pengunjung bioskop. Usianya bila ditaksir mendekati 40 tahun. Dandanan wanita itu mencolok, tak ada senyum tersungging di bibirnya. Suaranya datar saja. Bajunya sangat kontras dengan warna krem suram di tembok.
Kata "bisa" yang diucapkan wanita itu merujuk pada ajakan berhubungan intim, tentu dengan ongkos tertentu yang harus disepakati sejak awal. Permainan cinta tidak dilakukan di tempat yang sama, melainkan di sebuah indekos belakang Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Wanita yang menjajakan seks itu mangkal di lantai satu. Semua orang yang lalu lalang mengabaikannya, seakan wajar belaka perempuan mengajak bermain cinta di sebuah bioskop tua.
Tawaran itu diperoleh merdeka.com, Senin (29/8), saat bertandang ke Bioskop Mulia Agung dan Grand Theatre. Komplek gedung bioskop ini sangat mudah ditemukan, sebab letaknya persis berhadap-hadapan dengan Pasar Senen. Bioskop ini merupakan salah satu komplek hiburan tertua di Jakarta, rujukan muda-mudi gaul pada masanya.
Warga Kramat, Senen, menyatakan bangunan ini telah berdiri sejak 1920-an. Lebih penting lagi, Mulia Agung dan Grand Theatre adalah satu-satunya kelompok bioskop independen tersisa di Ibu Kota. Bioskop-bioskop seangkatan Grand Theatre misalnya Rivoli (Kramat Pulo), Orion (Glodok), Benhil, atau Djaja (Jatinegara) yang dulunya terhitung pusat kebudayaan ibu kota. Semua bioskop legendaris itu kini tinggal nama. Ada yang bangunannya terbengkalai, sebagian bioskop bahkan sudah rata dengan tanah.

Loket Bioskop Senen (c)


Pengelola Mulia Agung dan Grand Theatre sanggup bertahan di tengah dominasi jaringan pengelola bioskop 21 Cineplex, serta kemunculan pemain baru bermodal besar seperti jaringan Blitzmegaplex dan Cinemaxx yang semuanya membuka cabang di pusat perbelanjaan. Dalam bahasa bisnis perfilman, Bioskop Senen adalah pemain 'non-jaringan'.
Gedung bioskop Senen berada di lantai dua. Saat menaiki anak tangga menuju ruang loket, poster-poster film tua kusam masih terpasang di sepanjang lorong.
Merdeka.com tiba di lobi bioskop pukul 15.30 WIB, sudah lewat dari jadwal. Walau namanya mengesankan ada dua bioskop, nyatanya layar yang beroperasi sore itu hanya satu saja. Ternyata Mulia Agung letaknya di lantai satu, tapi sudah setahun terakhir tutup tanpaalasan jelas. Pada masa jayanya, Grand Theatre di lantai dua memiliki tiga studio, masing-masing kapasitasnya bisa menampung 120 orang.
Petugas bioskop bilang kami masih bisa membeli tiket, kendati film sudah tayang separuh jalan. Perkara membeli tiket di bioskop Grand Theatre tak perlu menunggu lama. Dua wanita usia 40-an berpakaian merah yang menjaga loket sigap melayani penonton.
Harga tiket Rp 8 ribu per orang, untuk menonton film yang tidak ada keterangan judulnya, serta tanpa nomor tempat duduk. Dari pantauan merdeka.com, pembeli tiket semuanya laki-laki, rata-rata berusia di atas 25 tahun. Bersama dengan kami, ada delapan orang lainnya yang menonton film sore itu.
Setelah tiket dipegang, tanpa buang waktu kami pun masuk ke ruang pemutaran. Ruang studio bioskop gelap gulita saat masuk. Kami nyaris tak bisa melihat apapun kecuali cahaya film yang diputar. Penonton bebas duduk di mana saja. Kebanyakan para penonton memilih duduk di kursi barisan belakang.
Penonton yang datang belakangan setelah kami, berjalan santai masuk ruang pemutaran. Sebagian besar penonton agaknya sudah mengenal satu sama lain. Masing-masing pasangan berbincang akrab, sesekali memainkan ponsel. Ada satu pasangan mengobrol cukup keras, saling bertanya soal rutinitas dan menanyakan kabar. Pandangan mereka sama sekali tak mengarah ke layar.
Kondisi kursi penonton rapuh, berbunyi reot, tanpa penyangga tangan. Lalu pelan-pelan mulai muncul sensasi tidak menyenangkan sekian menit setelah kami duduk. Baru pesing menguar luar biasa. Ruangan pemutaran juga berdebu dan gerah.
Jika diperhatikan lagi ubin ruangan rusak, tanpa ada karpet, dan banyak puntung rokok bertebaran. Setelah mata kita mampu menyesuaikan diri dengan kegelapan, nampaklah langit-langit bioskop berlubang.
Film yang diputar adalah semi-pornografi berbahasa tagalog, sepertinya produksi Filipina. Padahal poster promosi yang terpasang di luar gedung memamerkan film Hollywood lama berjudul "Hotel Rwanda" dan "V for Vendetta". Belakangan kami baru tahu dari penonton langganan, bahwa film yang diputar pengelola Mulia Agung tak pernah sama dengan poster. Selain itu, film yang diputar selalu produksi lama dengan adegan-adegan menjurus pornografi.
Entah di menit ke berapa, ketika kami mulai bisa duduk tenang, terdengar suara orang meludah. Sesekali terdengar desahan yang jelas bukan dari layar ataupun pengeras suara.
Jalan cerita film Filipina itu sulit diikuti, mengingat layar bioskop kusam. Agaknya proyektor masih memakai rol dan mutunya sudah sangat buruk, nampak dari gambar yang kurang jelas. Suara filmnya pun terlalu kecil. Di pertengahan durasi, film berhenti karena harus petugas harus mengganti rol.
Saat film sedang diputar, penonton kerapkali mondar-mandir sembari menelepon dan merokok, keluar masuk ruangan sesuka hati. Walau begitu ketika film nyaris tuntas penonton tetap berjumlah 10 orang seperti semula.


Suasana lobi bioskop Grand Theatre di Senen

Pemutaran akhirnya tuntas setelah satu jam. Selesai menonton, para penonton tidak langsung pulang, melainkan duduk-duduk di kursi panjang di depan ruang studio bioskop. Mereka berbincang. Sebagian mengaku menunggu pemutaran film terakhir pada pukul 17.00 WIB. Mereka ingin menonton lagi di ruang pengap itu. Lagu "Antara Benci dan Rindu" dipopulerkan Ratih Purwasih menemani penonton yang menunggu film selanjutnya di lobi.
Salah satu penonton, menolak disebut namanya, mengaku cukup sering menyaksikan film di Bioskop Senen. Harga tiketnya sangat terjangkau, cocok sebagai hiburan murah meriah. Dia pun tak menampik bila tujuan sebagian penonton - termasuk dirinya - bertandang untuk mencari teman kencan.
Latar belakang pengunjung sangat beragam. Mulai dari pedagang pasar, karyawan swasta, juga pensiunan. Itu belum memperhitungkan para penjaja seks, baik wanita maupun pria, yang berkeliaran di bangunan bioskop.
Merdeka.com mencoba mewawancarai pengelola bioskop Mulia Agung dan Grand Theatre tentang pelbagai kabar miring yang menerpa. Penyobek karcis mengaku sang pemilik sedang tak berada di kantor. Penjaga loket pun menolak saat ditanya tentang kondisi bioskop, isu prostitusi terselubung, serta banyaknya pasangan lelaki menjadi penonton di sana.
"Saya enggak tahu, baru kerja di sini," kata wanita yang menjaga loket. Nada suaranya ketus.
Komplek Bioskop Senen berhasil bertahan di tengah kepungan pesaing bermodal besar. Namun ada harga yang harus dibayar. Bioskop legendaris itu sekarang menjadi salah satu sudut tergelap Jakarta, baik secara kiasan maupun harfiah. Penggemarnya bukan lagi penikmat film, melainkan manusia-manusia urban yang tak mampu membendung hasrat lucah.
Pamor bioskop Senen sekarang berada di pinggiran terjauh, mendekati paria, walaupun letaknya persis di jantung Ibu Kota. Namun pengunjung setianya datang karena punya dunia sendiri. Mereka khidmat berada di dalamnya.

Reply With Quote