Aneh betul, Majelis Ulama Indonesia tiba-tiba berbicara tentang bahan bakar minyak. Tak jelas dasar argumennya, lembaga yang mewadahi para ulama ini memberi label "berdosa" kepada orang-orang kaya yang menggunakan BBM bersubsidi. Vonis ini benar-benar absurd dan tak masuk akal.
Pernyataan itu disampaikan pengurus MUI setelah menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Senin lalu. Mereka menilai orang kaya yang menggunakan BBM bersubsidi sama dengan orang yang merampas hak orang miskin. Perbuatan ini termasuk kategori berdosa dalam Islam. Majelis Ulama akan merumuskan masalah ini dalam bentuk fatwa.
Mengeluarkan fatwa memang menjadi bagian dari MUI. Banyak persoalan agama yang mungkin membutuhkan bimbingan ulama. Tapi sangat berlebihan jika hal yang amat jauh hubungannya dengan agama dibawa-bawa ke meja fatwa. Apalagi sampai menyebut membeli BBM bersubsidi sebagai "dosa"--sebuah penilaian yang sesungguhnya menjadi domain Tuhan.
Ketika MUI memfatwakan bahwa berbuat korupsi itu haram, jelas masalah korupsi sangat berkaitan dengan runtuhnya sendi-sendi moral. Agama mana pun melarang perbuatan tercela ini. MUI sudah selayaknya mengutuk praktek yang kian merajalela tersebut. Namun, dalam soal BBM bersubsidi, kalangan ulama seharusnya tak repot mengeluarkan fatwa.
Sebagian orang akan mempertanyakan penilaian ulama bahwa BBM bersubsidi merupakan hak orang miskin. Apa ukuran orang miskin yang dipakai ulama? Jika merujuk pada kriteria Badan Pusat Statistik bahwa ukuran miskin di Indonesia adalah semua individu dengan pengeluaran di bawah US$ 1,5, dari logika ini jelas orang miskin tak akan sanggup membeli Premium. Untuk makan sehari-hari saja susah, tentu sangat mustahil mereka sanggup membeli kendaraan bermotor.
Fatwa seperti itu akan mencapai tujuan yang sebenarnya. Andai kata sebagian besar orang kaya mematuhinya, tetap saja tak ada jaminan BBM bersubsidi benar-benar jatuh kepada orang yang kurang mampu. Akan lebih efektif bila subsidi itu dicabut alias harga Premium dinaikkan sesuai dengan harga pasar, lalu subsidi itu diberikan secara langsung kepada kalangan miskin. Dengan kata lain, masalah bahan bakar minyak bukan soal agama atau moralitas, melainkan masalah kebijakan perekonomian.
Problemnya sebetulnya terletak pada ketidaktegasan pemerintah. Jika ingin mengurangi beban subsidi BBM terhadap anggaran, pemerintah mesti segera menaikkan harga Premium ke tingkat yang wajar. Toh, pemerintah telah beberapa kali menaikkan harga BBM, dan masyarakat tetap menerimanya.
Seruan pemerintah agar orang kaya tak membeli bensin bersubsidi yang selama ini dipasang di pompa bensin jelas tak manjur. Kampanye ini diperkirakan tetap akan kontraproduktif sekalipun melibatkan MUI. Jauh dari pikiran berdosa atau berpahala, masyarakat datang ke pompa bensin tetap menganggap kegiatan ini sebagai transaksi bisnis biasa. Mereka akan berpikir secara ekonomis: membeli barang semurah-murahnya untuk manfaat sebesar-besarnya.
Melibatkan ulama dalam urusan Premium hanya menggambarkan keputusasaan pemerintah memecahkan beban subsidi BBM yang membengkak. Apakah sudah gak ada jalan laen yg bisa di jalankan??