ps3black
27th May 2012, 05:45 PM
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/ukm2phmo.png
[/quote]
[/spoiler] for Read:
Ane bikin thread ini cuma berbagi Kisah aja gan :) Semoga diterima.. Thanks http://static.kaskus.co.id/images/smilies/malus.gif
for Hadiah untuk Ibuku:
�Aku melihat kain salung ibuku yang sudah ditambal dimana-mana dikenakan saat tahun baru dan merasa sedih ketika ia memakainya karena itulah satu-satunya pakaian terbaik yang ia miliki sejak menikah dengan ayah. Aku pun bertekad memberikanya kain salung, ketika aku berhasil memberikannya salung kain baru, ia menitihkan air mata dan itu membuatku terharu.�
Tahun 1916. Desaku kaliandra, lampung penuh dengan sawah yang subur. Setiap hari ketika matahari belum terbit ayahku sudah pagi-pagi pergi bertani, aku selalu menyertainya hingga dapat melihat matahari terbit nan indah setiap pagi bersama kakakku. Aku selalu ingat kalimat yang diucapkan oleh ayahku,
� untuk menjadi orang besar kelak aku harus sekolah dan mengenyam pendidikan tinggi �.
Tapi kami hanya dari keluarga petani miskin dan untuk mencapai impian itu orang tuaku harus mengencangkan perutnya setiap harinya dari rasa lapar. Orang tuaku tidak pernah mengeluh walau hanya makan nasi dengan sedikit garam atau sedang mujur bersama ikan asin. Mereka rela berkorban hanya untuk memiliki satu tujuan kelak agar aku dan kakakku menjadi orang besar dan merubah nasib kami yang seorang petani miskin.
Tidak akan pernah kulupakan masa-masa kecilku yang begitu terasa indah saat aku bangun pagi. biasanya aku bangun pukul 5 subuh untuk ikut ayahku ke sawah setelah sampai aku langsung membajak sawah dengan kerbau yang besar dan kuat. Setelah matahari mulai terlihat, aku berpamitan kepada ayahku untuk menempuh jarak sekiranya 5 km untuk mencapai sekolahku di Holandsch Inlandsche school dengan hanya beralaskan kaki penuh lumpur. Teman-temanku banyak yang hidupnya lebih baik dariku, walau demikian aku bersyukur setidaknya aku masih bisa sekolah walau hanya dengan pakaian kusam dan bau keringat yang setiap datang selalu membasahi tubuhku yang hitam mungil sehingga banyak yang melihatku dengan sekilas mata.
Hal yang kusukai ketika bersekolah adalah belajar menulis, menghitung dan membaca sejarah. Pada masa itu, Sumatra masih dipimpin oleh ratu Belanda, kami mengalami masa-masa sulit ketika sistem tanam paksa berlaku di setiap tanah jajahan. Setiap pulang sekolah sambil mengingat-ingat apa yang kupelajari, aku langsung kembali ke sawah untuk membantu ayahku, terkadang aku tertidur diatas kerbau dan kalau sudah begitu ayahku akan membangunkanku untuk tidur di rumah sawah yang hangat sambil menunggu ibuku membawa makan.
Walau kami hidup dalam kesulitan, kami sangat bahagia atas apa yang kami miliki dan bersyukur diberikan kesehatan yang maha baik oleh Tuhan. Itulah ajaran ibuku yang selalu kutanam dalam-dalam tentang bagaimana mensyukuri kehidupan dalam kondisi apapun. Keluargaku bukanlah keluarga pedagang, dan tidak memiliki darah mahir berdagang, tapi aku pernah mempelajari bagaimana berhitung mencari keuntungan di sekolahku dan bermimpi kelak bisa mewujubkan impianku memiliki sedikit uang agar bisa memberi baju baru serta sepatu untuk sekolah.
Semua itu mulai terwujub ketika usiaku 7 tahun dan pulang dari sekolah, tiba-tiba hujan datang dan aku melihat seorang ibu sedang menjajahkan kue di depan warungnya yang kecil. Aku berteduh di warungnya dengan meminta izin, lalu melihat kue yang ia jajahkan rasanya perutku langsung berbunyi. Tidak mungkin bagiku untuk membeli kue itu karena sepeser sen pun aku tidak punya. Ibu yang baik itu melihat aku begitu kelaparan lalu menawarkan aku rotinya;
� Kamu lapar nak?� tanyanya dan aku menganggukan kepala.
� Siapa namamu?�
� Namaku Achmad.. Achmad Bakrie..�
� Pilihlah satu kue yang kamu suka dan habiskanlah�
� Tapi aku tidak punya uang untuk membayar kue ibu..�
� Kamu tidak perlu membayarnya, itu ibu berikan Cuma- Cuma. Ayo ambil.. jangan malu-malu� paksanya dan aku tidak akan lagi malu-malu.
Ketika hujan telah usai, aku bermaksud untuk berpamitan dari ibu yang baik itu dan beliau juga sedang membereskan dagangannya karena hendak pulang, dengan wajah penuh kesedihan ia berkata padaku.
� Hari ini dagangan ibu tidak begitu laku, semoga besok cuaca cukup bersahabat dan banyak orang yang akan membeli kue ibu.�
Karena ibu itu begitu baik, aku langsung menawarkan kepada ibu itu.
� Ibu, di desaku pasti akan banyak yang suka kue ibu, bagaimana kalau aku menjualnya di sana?�
Ibu itu tersenyum.
� Baiklah aku akan sangat senang bila kamu bisa menjualnya, kuberikan 10 kue ini, jualah dengan harga 3 sen, aku akan membagimu 1 sen setiap kue itu terjual �
Aku tidak pernah berdagang sebelumnya tapi aku percaya, bahwa bila aku mau mencobanya tidak akan ada salahnya, toh ibu itu tidak akan marah bila dagangannya tidak habis. Kami sepakat untuk bertemu besok dan aku akan membayarkan hasil jualanku. Aku terharu karena ibu itu percaya padaku yang masih berusia 7 tahun. Dengan semangat aku menjajahkan kue-kue itu di setiap rumah-rumah di desaku, aku begitu bahagia ketika satu kue ku terjual hingga terpeleset ke lumpur, beruntung hanya satu kue yang tercebur. aku melanjutkan daganganku dan sungguh sulit dipercaya hari itu aku bisa menjual 9 dari 10 kue itu.
Aku pulang dengan penuh senyum yang disambut ibuku dengan berpikir aku sakit demam panas karena kehujangan. Lalu kuceritakan semua kejadian hari ini pada orang tuaku, mereka hanya bisa tersenyum manyut melihat sekiranya aku memiliki 9 sen dari hasil penjualanku hari ini. Saat itu aku jadi berpikirdan merenung sepanjang malam untuk meminta izin kepada ayahku agar tidak bertani dan membiarkanku berjualan saja. Ayah setuju dan tugasku akan digantikan oleh kakakku. Keesokan harinya, aku mendatangi ibu yang baik hati itu sambil menyerahkan kue yang sudah kujual dan tersisa satu.
Ia terkejut dan merasa kaget, awalnya ia hanya berpikir kue itu hendak ia berikan kepadaku sebagai oleh-oleh tangan karena toh akan basi bila ia simpang di rumah, ternyata aku malah menjualnya. Aku ceritakan kepadanya tentang sisa 1 yang tak bisa kujual karena terjatuh di tanah berlumpur. Ia tersenyum dan menghargaiku kejujuran yang kumiliki. ketika aku menawarkan diri untuk membantunya berdagang dengan sistem bagi hasil, Ia sepakat. Tanpa tending aling-aling ia langsung memberikan aku sebuah tampah dan kue miliknya sebagai modal pertamaku. sejak saat itu jadilah aku seorang pedagang kue cilik di sekitar desaku dengan panggilan bocah penjual kue.
Aku berdagang setiap pulang sekolah dengan berjalan kaki sambil membaca buku dibawah terik matahari panas. lalu aku mengetuk satu persatu rumah di desa terdekat sambil menjual kue. Ada yang membeli dan ada pula yang hanya melihat-lihat. Penjualanku tidak pasti, kalau sedang baik aku bisa menjual habis dalam waktu beberapa jam. Tapi kadang ketika sedang buruk, hingga sorepun aku hanya menjual setengahnya. Aku tidak menyerah, kulangkahkan kakiku ke desa-desa pelosok untuk menjual kue ini hingga terkadang pulang larut malam.
Ibuku cukup cemas bila melihatku pulang malam, tapi ia bersyukur bila aku pulang dengan keadaan baik-baik saja, biasanya sebelum tidur malam, aku membaca-baca kembali pelajaran yang kudapat hari ini sebagai tanggung jawab pengorbanan orangtuaku agar aku bisa sekolah. Dari hasil menjual kue itu, akhirnya aku mampu menabung dan membantu keluargaku. Pernah suatu ketika, ketika setiap tahun baru tiba, ibu akan memakai salung batik terbaiknya, ia tidak mampu membeli yang baru sehingga usia kain batik yang ia pakai saat menikah dengan ayahku itu, terus ia simpan hingga menua dan robek dimana-mana, ia harus menambalkan benang agar tertutupi. aku tau, ibu bukan tidak ingin membeli pakain terbaik untuknya, tapi ia menahan dirinya untuk kehidupan anak-anaknya agar dapat makan dan bersekolah, sehingga ia rela menerima keadaan pakaian yang selalu ia syukuri sebagai hadiah pernikahan terindahnya. Aku merasa sedih karenanya, dan bertekad untuk memberikan kain salung baru untuk ibu bila aku memiliki uang.
Aku menabung sedikit demi sedikit jeripayahku berdagang kue untuk memberikan salung batik untuk ibuku di hari ulangtahunnya yang akan datang beberapa saat lagi, saat uangku terkumpul, aku memberi kain salung itu dari nona china di kota berjalan tanpa lelah hingga pulang kemudian membangunkan ibuku yang sedang tertidur dengan sebuah hadiah kecilku. Ibu menitihkan air mata menerima kado kecilku dan aku terharu bisa memberikan hadiah itu sambil mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Kami berpelukan dan mengucap syukur atas apa yang diberikan Tuhan walau masa sulit kemiskinan masih bergelut bersama kami.
ibu mengatakan padaku sambil berbisik sebelum kami tidur.
� Setiap apa yang kamu dapatkan dan kamu tabung, jadikanlah itu berarti bagi orang lain setidaknya bagi orang-orang yang mencintai kamu �
aku mengingat kalimat itu dalam-dalam di hatiku dan berharap kelak bisa melakukan apa yang ibu inginkan.
***
[quote]
[spoiler=open this] for Lanjut di Bawah GAN:
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/isohfejm.jpeg
</div>
[/quote]
[/spoiler] for Read:
Ane bikin thread ini cuma berbagi Kisah aja gan :) Semoga diterima.. Thanks http://static.kaskus.co.id/images/smilies/malus.gif
for Hadiah untuk Ibuku:
�Aku melihat kain salung ibuku yang sudah ditambal dimana-mana dikenakan saat tahun baru dan merasa sedih ketika ia memakainya karena itulah satu-satunya pakaian terbaik yang ia miliki sejak menikah dengan ayah. Aku pun bertekad memberikanya kain salung, ketika aku berhasil memberikannya salung kain baru, ia menitihkan air mata dan itu membuatku terharu.�
Tahun 1916. Desaku kaliandra, lampung penuh dengan sawah yang subur. Setiap hari ketika matahari belum terbit ayahku sudah pagi-pagi pergi bertani, aku selalu menyertainya hingga dapat melihat matahari terbit nan indah setiap pagi bersama kakakku. Aku selalu ingat kalimat yang diucapkan oleh ayahku,
� untuk menjadi orang besar kelak aku harus sekolah dan mengenyam pendidikan tinggi �.
Tapi kami hanya dari keluarga petani miskin dan untuk mencapai impian itu orang tuaku harus mengencangkan perutnya setiap harinya dari rasa lapar. Orang tuaku tidak pernah mengeluh walau hanya makan nasi dengan sedikit garam atau sedang mujur bersama ikan asin. Mereka rela berkorban hanya untuk memiliki satu tujuan kelak agar aku dan kakakku menjadi orang besar dan merubah nasib kami yang seorang petani miskin.
Tidak akan pernah kulupakan masa-masa kecilku yang begitu terasa indah saat aku bangun pagi. biasanya aku bangun pukul 5 subuh untuk ikut ayahku ke sawah setelah sampai aku langsung membajak sawah dengan kerbau yang besar dan kuat. Setelah matahari mulai terlihat, aku berpamitan kepada ayahku untuk menempuh jarak sekiranya 5 km untuk mencapai sekolahku di Holandsch Inlandsche school dengan hanya beralaskan kaki penuh lumpur. Teman-temanku banyak yang hidupnya lebih baik dariku, walau demikian aku bersyukur setidaknya aku masih bisa sekolah walau hanya dengan pakaian kusam dan bau keringat yang setiap datang selalu membasahi tubuhku yang hitam mungil sehingga banyak yang melihatku dengan sekilas mata.
Hal yang kusukai ketika bersekolah adalah belajar menulis, menghitung dan membaca sejarah. Pada masa itu, Sumatra masih dipimpin oleh ratu Belanda, kami mengalami masa-masa sulit ketika sistem tanam paksa berlaku di setiap tanah jajahan. Setiap pulang sekolah sambil mengingat-ingat apa yang kupelajari, aku langsung kembali ke sawah untuk membantu ayahku, terkadang aku tertidur diatas kerbau dan kalau sudah begitu ayahku akan membangunkanku untuk tidur di rumah sawah yang hangat sambil menunggu ibuku membawa makan.
Walau kami hidup dalam kesulitan, kami sangat bahagia atas apa yang kami miliki dan bersyukur diberikan kesehatan yang maha baik oleh Tuhan. Itulah ajaran ibuku yang selalu kutanam dalam-dalam tentang bagaimana mensyukuri kehidupan dalam kondisi apapun. Keluargaku bukanlah keluarga pedagang, dan tidak memiliki darah mahir berdagang, tapi aku pernah mempelajari bagaimana berhitung mencari keuntungan di sekolahku dan bermimpi kelak bisa mewujubkan impianku memiliki sedikit uang agar bisa memberi baju baru serta sepatu untuk sekolah.
Semua itu mulai terwujub ketika usiaku 7 tahun dan pulang dari sekolah, tiba-tiba hujan datang dan aku melihat seorang ibu sedang menjajahkan kue di depan warungnya yang kecil. Aku berteduh di warungnya dengan meminta izin, lalu melihat kue yang ia jajahkan rasanya perutku langsung berbunyi. Tidak mungkin bagiku untuk membeli kue itu karena sepeser sen pun aku tidak punya. Ibu yang baik itu melihat aku begitu kelaparan lalu menawarkan aku rotinya;
� Kamu lapar nak?� tanyanya dan aku menganggukan kepala.
� Siapa namamu?�
� Namaku Achmad.. Achmad Bakrie..�
� Pilihlah satu kue yang kamu suka dan habiskanlah�
� Tapi aku tidak punya uang untuk membayar kue ibu..�
� Kamu tidak perlu membayarnya, itu ibu berikan Cuma- Cuma. Ayo ambil.. jangan malu-malu� paksanya dan aku tidak akan lagi malu-malu.
Ketika hujan telah usai, aku bermaksud untuk berpamitan dari ibu yang baik itu dan beliau juga sedang membereskan dagangannya karena hendak pulang, dengan wajah penuh kesedihan ia berkata padaku.
� Hari ini dagangan ibu tidak begitu laku, semoga besok cuaca cukup bersahabat dan banyak orang yang akan membeli kue ibu.�
Karena ibu itu begitu baik, aku langsung menawarkan kepada ibu itu.
� Ibu, di desaku pasti akan banyak yang suka kue ibu, bagaimana kalau aku menjualnya di sana?�
Ibu itu tersenyum.
� Baiklah aku akan sangat senang bila kamu bisa menjualnya, kuberikan 10 kue ini, jualah dengan harga 3 sen, aku akan membagimu 1 sen setiap kue itu terjual �
Aku tidak pernah berdagang sebelumnya tapi aku percaya, bahwa bila aku mau mencobanya tidak akan ada salahnya, toh ibu itu tidak akan marah bila dagangannya tidak habis. Kami sepakat untuk bertemu besok dan aku akan membayarkan hasil jualanku. Aku terharu karena ibu itu percaya padaku yang masih berusia 7 tahun. Dengan semangat aku menjajahkan kue-kue itu di setiap rumah-rumah di desaku, aku begitu bahagia ketika satu kue ku terjual hingga terpeleset ke lumpur, beruntung hanya satu kue yang tercebur. aku melanjutkan daganganku dan sungguh sulit dipercaya hari itu aku bisa menjual 9 dari 10 kue itu.
Aku pulang dengan penuh senyum yang disambut ibuku dengan berpikir aku sakit demam panas karena kehujangan. Lalu kuceritakan semua kejadian hari ini pada orang tuaku, mereka hanya bisa tersenyum manyut melihat sekiranya aku memiliki 9 sen dari hasil penjualanku hari ini. Saat itu aku jadi berpikirdan merenung sepanjang malam untuk meminta izin kepada ayahku agar tidak bertani dan membiarkanku berjualan saja. Ayah setuju dan tugasku akan digantikan oleh kakakku. Keesokan harinya, aku mendatangi ibu yang baik hati itu sambil menyerahkan kue yang sudah kujual dan tersisa satu.
Ia terkejut dan merasa kaget, awalnya ia hanya berpikir kue itu hendak ia berikan kepadaku sebagai oleh-oleh tangan karena toh akan basi bila ia simpang di rumah, ternyata aku malah menjualnya. Aku ceritakan kepadanya tentang sisa 1 yang tak bisa kujual karena terjatuh di tanah berlumpur. Ia tersenyum dan menghargaiku kejujuran yang kumiliki. ketika aku menawarkan diri untuk membantunya berdagang dengan sistem bagi hasil, Ia sepakat. Tanpa tending aling-aling ia langsung memberikan aku sebuah tampah dan kue miliknya sebagai modal pertamaku. sejak saat itu jadilah aku seorang pedagang kue cilik di sekitar desaku dengan panggilan bocah penjual kue.
Aku berdagang setiap pulang sekolah dengan berjalan kaki sambil membaca buku dibawah terik matahari panas. lalu aku mengetuk satu persatu rumah di desa terdekat sambil menjual kue. Ada yang membeli dan ada pula yang hanya melihat-lihat. Penjualanku tidak pasti, kalau sedang baik aku bisa menjual habis dalam waktu beberapa jam. Tapi kadang ketika sedang buruk, hingga sorepun aku hanya menjual setengahnya. Aku tidak menyerah, kulangkahkan kakiku ke desa-desa pelosok untuk menjual kue ini hingga terkadang pulang larut malam.
Ibuku cukup cemas bila melihatku pulang malam, tapi ia bersyukur bila aku pulang dengan keadaan baik-baik saja, biasanya sebelum tidur malam, aku membaca-baca kembali pelajaran yang kudapat hari ini sebagai tanggung jawab pengorbanan orangtuaku agar aku bisa sekolah. Dari hasil menjual kue itu, akhirnya aku mampu menabung dan membantu keluargaku. Pernah suatu ketika, ketika setiap tahun baru tiba, ibu akan memakai salung batik terbaiknya, ia tidak mampu membeli yang baru sehingga usia kain batik yang ia pakai saat menikah dengan ayahku itu, terus ia simpan hingga menua dan robek dimana-mana, ia harus menambalkan benang agar tertutupi. aku tau, ibu bukan tidak ingin membeli pakain terbaik untuknya, tapi ia menahan dirinya untuk kehidupan anak-anaknya agar dapat makan dan bersekolah, sehingga ia rela menerima keadaan pakaian yang selalu ia syukuri sebagai hadiah pernikahan terindahnya. Aku merasa sedih karenanya, dan bertekad untuk memberikan kain salung baru untuk ibu bila aku memiliki uang.
Aku menabung sedikit demi sedikit jeripayahku berdagang kue untuk memberikan salung batik untuk ibuku di hari ulangtahunnya yang akan datang beberapa saat lagi, saat uangku terkumpul, aku memberi kain salung itu dari nona china di kota berjalan tanpa lelah hingga pulang kemudian membangunkan ibuku yang sedang tertidur dengan sebuah hadiah kecilku. Ibu menitihkan air mata menerima kado kecilku dan aku terharu bisa memberikan hadiah itu sambil mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Kami berpelukan dan mengucap syukur atas apa yang diberikan Tuhan walau masa sulit kemiskinan masih bergelut bersama kami.
ibu mengatakan padaku sambil berbisik sebelum kami tidur.
� Setiap apa yang kamu dapatkan dan kamu tabung, jadikanlah itu berarti bagi orang lain setidaknya bagi orang-orang yang mencintai kamu �
aku mengingat kalimat itu dalam-dalam di hatiku dan berharap kelak bisa melakukan apa yang ibu inginkan.
***
[quote]
[spoiler=open this] for Lanjut di Bawah GAN:
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/isohfejm.jpeg
</div>