lumpiabasah
27th May 2012, 05:25 PM
[CENTER]
Assalamualaikum Wr Wb ceriwiser sekalian :)
Ane mau share pengalaman temen pecinta alam Jogja setahun kemarin, ditulis oleh aktifis PA Jogja Mas Pey..
moga aja kaga repost, dah diberi ijin sama yang punya ..hehee
langsung disimak aja yaa Gan..
[/quote][quote]
http://a4.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s320x320/302233_302413909773680_100000152210646_1439808_185 8288899_n.jpg
Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta
Ponselku tiba-tiba berdering, teman saya Bobby seorang video journalist dari Al Jazeera memberi kabar. �Saya sudah di Jogja, sekarang sudah diatas, dekat rumah mbah Maridjan�, katanya agak terburu-buru. Sore itu, hari selasa, tanggal 26 Oktober 2010, pukul 16.00 wib saya berada di Ringroad utara depan monument Jogja Kembali, hujan sangat lebat. Saya terdampar disebuah rumah makan bersama Kinanti, anaku yang masih berumur 5 tahun kala itu. Saya mencoba melihat ke utara, semua gelap, hujan lebat membatasi pandangan saya. Kembali saya hanya bisa menunggu hujan mereda.
Kembali Bobby menelpon saya, �Mas, awan panas besar sekali, hujan batu dan pasir, saya meluncur turun mas�, katanya sangat panik. Saya terhenyak, perasaan saya campur aduk. Segera saya bergegas pulang, meski hujan sangat lebat. Saya harus naik ke Kinahrejo segera, perintah hati itu terus terucap di batin saya sepanjang perjalanan pulang menuju rumah.
Segera saya klik on pesawat radio yang terpasang di rumah, saya putar beberapa frekuensi yang berhubungan dengan Merapi, semua krodit, beritanya simpang siur. Segera saya memacu sepeda motor, 15 menit kemudian saya sudah berada di pertigaan Balai Desa Umbulharjo. Kepanikan luar biasa terlihat ratusan orang yang ada disana.
Saya bertemu dengan Tonden, seorang pecinta alam senior Yogyakarta yang punya kedekatan khusus dengan Mbah Maridjan. Saya juga bertemu dengan Capung, bos dari Komunitas Lereng Merapi (KLM). Saya melihat kedua orang ini cukup panik. �Pey, Kinahredjo chaos, tidak ada orang diatas. Kita harus naik keatas�, ujar Capung kepada saya.
Mobil double cabin, milik Cahyo Alkantana menjemput kami. Selain saya, Capung dan Tonden ada beberapa teman yang ikut bersama kami, termasuk Iqbal anggota Kapakata yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Juga ada Arbow, wartawan foto Tempo yang kebetulan bertemu di pertigaan Balai Desa Umbulharjo.
Perjalanan 10 menit itu cukup menegangkan, debu ada dimana-mana, pohon bertumbangan, rumah-rumah penduduk kosong ditingggalkan pemiliknya. Perjalanan kami terhambat pohon besar yang tumbang diatas pertigaan Ngrangkah. Team chainsaw mencoba memotong untuk membuka jalur ambulance masuk Kinahredjo.
Saya terus berjalan, dibalik pohon saya menemukan jenazah di dekat sebuah motor, pikirku orang ini mencoba melarikan diri namun keburu awan panas menyergapnya. Saya tercekat, Kinahredjo porak poranda, api terlihat dimana-mana. Teriakan minta tolong sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru Kinahredjo.
Kami terus bergerak, debu tebal dan kondisi panas tidak menghalangi langkah saya. �Evakuasi yang hidup� Evakuasi yang hidup�, teriak saya berulang-ulang. Dengan inisiatif masing-masing kami menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, mencari orang-orang yang harus diselamatkan.
Teriakan-teriakan penduduk terus terdengar, saya sudah berada di perempatan kecil menuju rumah Mbah Maridjan. Ditempat inilah kami bersepakat untuk mengumpulkan orang-orang yang berhasil kita evakuasi. Saya berlari menuju jalur arah kiri, terdengar suara teriakan lemah sekali. Saya menemukan seorang ibu mendekap anaknya, umurnya kira-kira 2 tahun.
Saya mencoba melepasnya, anak itu sudah meninggal dunia. Segera saya mengambil tindakan untuk melakukan evakuasi terhadap si ibu, pakaianya terbakar, tak ada benang sedikitpun yang melekat ditubuhnya. Dengan segala upaya saya angkat tubuh si Ibu, dia menjerit kesakitan, dia terus menangis. �Anakku yo kudu ditulung (Anak saya juga harus ditolong)�, ucapnya berulang-ulang.
Ketika sampai di perempatan, Si Ibu terus menangis, mencari-cari anaknya. �Aku ra gelem pisah, anakku endi (Saya tidak mau pisah, anakku mana)�, suaranya terbata-bata ditengah tangisannya. Saya kemudian kembali berlari kearah si anak, saya gendong anak itu. Saya sempat jatuh tersungkur tersandung kabel listrik. Sesampai di perempatan, saya tidak menemukan si ibu itu lagi karena sudah dievakuasi kebawah. Saya memandang wajah si anak, saya meneteskan air mata. Saya menyadari bahwa seorang ibu mestinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya, dengan alasan apapun.
***
Proses evakuasi terus berlangsung, dengan peralatan seadanya. Kami menemukan sebuah almari penuh dengan tumpukan jarik, saat kantong mayat dan tandu tidak tersedia kami menggunakan jarik ini sebagai tandu darurat. Saya hitung, 12 orang berhasil kita bawa turun menuju pertigaan Ngrangkah, tempat paling atas yang bisa diakses ambulance waktu itu.
Tidak sengaja saya bertemu dengan Lik Udi, kondisinya tubuhnya terbakar hebat. �Tulungi simbah (Mbah Maridjan), mau mlebu neng omahe�, ucapnya lirih. (Tolong bantu simbah, tadi beliau masuk ke rumahnya). Saya menghela nafas panjang, saya mencoba melihat kearah rumahnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Kembali saya bertemu dengan Tonden, dia membisikan, �Kita harus masuk ke rumah simbah, sekarang�, ucapnya emosional. Kemudian datang Capung, Prist dan Irfan, kita melakukan koordinasi singkat. Saya sampaikan kalau memang kita akan masuk ke kompleks rumah mbah Maridjan, yang harus kita lakukan adalah membuat exit way sambil saya menunjuk ke utara. Semua mendongak melihat Gunung Merapi, waktu itu bagian puncak merah membara.
Akhirnya kita berlima sepakat untuk menuju kompleks rumah mbah Maridjan, saya melihat Tonden orang yang paling emosional, dia teriak memanggil simbah, dia mengucapkan salam secara terus menerus. Saya menyadari betul kondisi ini. Ketika letusan Gunung Merapi tahun 2006, Tonden adalah orang yang menemani simbah hingga 6 bulan di Kinahredjo.
Kami semua berhenti di sebuah mobil APV di depan rumah simbah, saya perhatikan mobil ini dalam kondisi terbuka pintu-pintunya. Radio dalam mobil masih menyala, saiaranya tidak begitu jelas. Dibelakang mobil ini saya menemukan satu jenazah tergeletak. Saya periksa tas yang dia bawa, ada tiket pesawat Sriwijaya Air, dari Jakarta tujuan Yogyakarta atas nama Juniawan Wahyu Nugroho, tertera tanggal keberangkatan 26 Oktober 2010 pukul 13.26 wib. Belakangan saya tahu orang ini adalah jurnalis Vivanews.com yang sedang melakukan peliputan erupsi Gunung Merapi.
Berturut-turut kita menemukan 3 jenazah di rumah mbah Maridjan, di sekitar dapur, di dekat ruang gamelan dan di warung Yu Panut. Salah satu dari ketiga orang ini adalah Tutur, relawan dari PMI Bantul. Saya kemudian menelpon Komandan SAR DIY, Brotoseno. Saya melaporkan jika sudah berada di depan rumah Mbah Maridjan. Dalam komunikasi ini, saya melaporkan jika Mbah Maridjan belum ditemukan dan rumah dalam kondisi rusak parah.
Asih kemudian mendatangi kami, asih adalah putera mbah Maridjan, saat ini beliau menggantikan orangtuanya menjadi juru kunci Gunung Merapi. Asih datang dengan membawa ubo rampe sesaji termasuk dua ekor kambing warna hitam, titipan Kraton Yogyakarta. Ketika itu kita berangkulan, asih menangis melihat kondisi ini. Sedetik kemudian kita semua bersolawatan.
Kita terus melakukan pencarian, rumah Mbah Maridjan, Masjid al Amin Kinahredjo, kompleks makam, benar-benar nihil. Pada saat inilah Komandan SAR DIY, Nande dan Punpun bergabung dengan kami, kita berdiskusi tentang kemungkinan keberadaan Mbah Maridjan. Ditengah diskusi ini kami sempat diusir polisi berpangkat Kombes, kami tetap bergeming. 1 jam kemudian, akhirnya kita sepakat untuk turun dan berkoordinasi di rumah Yudha di daerah Pangukrejo, sekitar 1 km arah bawah Dusun Kinahredjo.
Di rumah Yudha inilah kemudian disepakti untuk membentuk sebuah operasi penyelamatan. Dipimpin Komandan SAR DIY, sepakat ditunjuk Capung sebagai komandan operasi dengan target Mbah Maridjan. Dibagi menjadi dua SRU (Search and Rescur Unit), unit terkecil dari sebuah operasi SAR. Satu SRU menyisir bagian atas dengan target 9 orang dan satu SRU menyisir kompleks rumah mbah Maridjan. Team penyelemat akan diberangkatkan pukul 04.00 wib keesokan harinya. Pemilihan jam ini dipercaya lebih efektif karena kita bisa melihat Gunung Merapi dengan lebih jelas diwaktu pagi hari.
Ditengah-tengah koordinasi ini kami memperoleh kabar jika Mbah Maridjan telah ditemukan dalam kondisi lemas di sebuah lereng bukit oleh anggota TNI AL. Namun jika melihat kronologisnya kami tetap percaya simbah belum diketemukan, dasarnya adalah kami adalah team yang berada di paling atas dan tidak menjumpai anggota TNI AL ikut operasi penyelamatan.
Malam itu saya sempat menghubungi istri saya, saya infokan jika saya sudah turun dari Kinahredjo dan akan melanjutkan operasi keesokan harinya. Dari istri saya inilah saya mendapat kabar jika dicari dua orang journalist TV nasional. Kemudian saya berkomunikasi dengan keduanya, diujung telepon, Angga contributor TVOne Wilayah Yogyakarta mengatakan, �Mas, saya minta gambar evakuasinya�, ujarnya.
</div>
Assalamualaikum Wr Wb ceriwiser sekalian :)
Ane mau share pengalaman temen pecinta alam Jogja setahun kemarin, ditulis oleh aktifis PA Jogja Mas Pey..
moga aja kaga repost, dah diberi ijin sama yang punya ..hehee
langsung disimak aja yaa Gan..
[/quote][quote]
http://a4.sphotos.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash4/s320x320/302233_302413909773680_100000152210646_1439808_185 8288899_n.jpg
Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta
Ponselku tiba-tiba berdering, teman saya Bobby seorang video journalist dari Al Jazeera memberi kabar. �Saya sudah di Jogja, sekarang sudah diatas, dekat rumah mbah Maridjan�, katanya agak terburu-buru. Sore itu, hari selasa, tanggal 26 Oktober 2010, pukul 16.00 wib saya berada di Ringroad utara depan monument Jogja Kembali, hujan sangat lebat. Saya terdampar disebuah rumah makan bersama Kinanti, anaku yang masih berumur 5 tahun kala itu. Saya mencoba melihat ke utara, semua gelap, hujan lebat membatasi pandangan saya. Kembali saya hanya bisa menunggu hujan mereda.
Kembali Bobby menelpon saya, �Mas, awan panas besar sekali, hujan batu dan pasir, saya meluncur turun mas�, katanya sangat panik. Saya terhenyak, perasaan saya campur aduk. Segera saya bergegas pulang, meski hujan sangat lebat. Saya harus naik ke Kinahrejo segera, perintah hati itu terus terucap di batin saya sepanjang perjalanan pulang menuju rumah.
Segera saya klik on pesawat radio yang terpasang di rumah, saya putar beberapa frekuensi yang berhubungan dengan Merapi, semua krodit, beritanya simpang siur. Segera saya memacu sepeda motor, 15 menit kemudian saya sudah berada di pertigaan Balai Desa Umbulharjo. Kepanikan luar biasa terlihat ratusan orang yang ada disana.
Saya bertemu dengan Tonden, seorang pecinta alam senior Yogyakarta yang punya kedekatan khusus dengan Mbah Maridjan. Saya juga bertemu dengan Capung, bos dari Komunitas Lereng Merapi (KLM). Saya melihat kedua orang ini cukup panik. �Pey, Kinahredjo chaos, tidak ada orang diatas. Kita harus naik keatas�, ujar Capung kepada saya.
Mobil double cabin, milik Cahyo Alkantana menjemput kami. Selain saya, Capung dan Tonden ada beberapa teman yang ikut bersama kami, termasuk Iqbal anggota Kapakata yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Juga ada Arbow, wartawan foto Tempo yang kebetulan bertemu di pertigaan Balai Desa Umbulharjo.
Perjalanan 10 menit itu cukup menegangkan, debu ada dimana-mana, pohon bertumbangan, rumah-rumah penduduk kosong ditingggalkan pemiliknya. Perjalanan kami terhambat pohon besar yang tumbang diatas pertigaan Ngrangkah. Team chainsaw mencoba memotong untuk membuka jalur ambulance masuk Kinahredjo.
Saya terus berjalan, dibalik pohon saya menemukan jenazah di dekat sebuah motor, pikirku orang ini mencoba melarikan diri namun keburu awan panas menyergapnya. Saya tercekat, Kinahredjo porak poranda, api terlihat dimana-mana. Teriakan minta tolong sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru Kinahredjo.
Kami terus bergerak, debu tebal dan kondisi panas tidak menghalangi langkah saya. �Evakuasi yang hidup� Evakuasi yang hidup�, teriak saya berulang-ulang. Dengan inisiatif masing-masing kami menyelinap di antara rumah-rumah penduduk, mencari orang-orang yang harus diselamatkan.
Teriakan-teriakan penduduk terus terdengar, saya sudah berada di perempatan kecil menuju rumah Mbah Maridjan. Ditempat inilah kami bersepakat untuk mengumpulkan orang-orang yang berhasil kita evakuasi. Saya berlari menuju jalur arah kiri, terdengar suara teriakan lemah sekali. Saya menemukan seorang ibu mendekap anaknya, umurnya kira-kira 2 tahun.
Saya mencoba melepasnya, anak itu sudah meninggal dunia. Segera saya mengambil tindakan untuk melakukan evakuasi terhadap si ibu, pakaianya terbakar, tak ada benang sedikitpun yang melekat ditubuhnya. Dengan segala upaya saya angkat tubuh si Ibu, dia menjerit kesakitan, dia terus menangis. �Anakku yo kudu ditulung (Anak saya juga harus ditolong)�, ucapnya berulang-ulang.
Ketika sampai di perempatan, Si Ibu terus menangis, mencari-cari anaknya. �Aku ra gelem pisah, anakku endi (Saya tidak mau pisah, anakku mana)�, suaranya terbata-bata ditengah tangisannya. Saya kemudian kembali berlari kearah si anak, saya gendong anak itu. Saya sempat jatuh tersungkur tersandung kabel listrik. Sesampai di perempatan, saya tidak menemukan si ibu itu lagi karena sudah dievakuasi kebawah. Saya memandang wajah si anak, saya meneteskan air mata. Saya menyadari bahwa seorang ibu mestinya tidak bisa dipisahkan dari anaknya, dengan alasan apapun.
***
Proses evakuasi terus berlangsung, dengan peralatan seadanya. Kami menemukan sebuah almari penuh dengan tumpukan jarik, saat kantong mayat dan tandu tidak tersedia kami menggunakan jarik ini sebagai tandu darurat. Saya hitung, 12 orang berhasil kita bawa turun menuju pertigaan Ngrangkah, tempat paling atas yang bisa diakses ambulance waktu itu.
Tidak sengaja saya bertemu dengan Lik Udi, kondisinya tubuhnya terbakar hebat. �Tulungi simbah (Mbah Maridjan), mau mlebu neng omahe�, ucapnya lirih. (Tolong bantu simbah, tadi beliau masuk ke rumahnya). Saya menghela nafas panjang, saya mencoba melihat kearah rumahnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Kembali saya bertemu dengan Tonden, dia membisikan, �Kita harus masuk ke rumah simbah, sekarang�, ucapnya emosional. Kemudian datang Capung, Prist dan Irfan, kita melakukan koordinasi singkat. Saya sampaikan kalau memang kita akan masuk ke kompleks rumah mbah Maridjan, yang harus kita lakukan adalah membuat exit way sambil saya menunjuk ke utara. Semua mendongak melihat Gunung Merapi, waktu itu bagian puncak merah membara.
Akhirnya kita berlima sepakat untuk menuju kompleks rumah mbah Maridjan, saya melihat Tonden orang yang paling emosional, dia teriak memanggil simbah, dia mengucapkan salam secara terus menerus. Saya menyadari betul kondisi ini. Ketika letusan Gunung Merapi tahun 2006, Tonden adalah orang yang menemani simbah hingga 6 bulan di Kinahredjo.
Kami semua berhenti di sebuah mobil APV di depan rumah simbah, saya perhatikan mobil ini dalam kondisi terbuka pintu-pintunya. Radio dalam mobil masih menyala, saiaranya tidak begitu jelas. Dibelakang mobil ini saya menemukan satu jenazah tergeletak. Saya periksa tas yang dia bawa, ada tiket pesawat Sriwijaya Air, dari Jakarta tujuan Yogyakarta atas nama Juniawan Wahyu Nugroho, tertera tanggal keberangkatan 26 Oktober 2010 pukul 13.26 wib. Belakangan saya tahu orang ini adalah jurnalis Vivanews.com yang sedang melakukan peliputan erupsi Gunung Merapi.
Berturut-turut kita menemukan 3 jenazah di rumah mbah Maridjan, di sekitar dapur, di dekat ruang gamelan dan di warung Yu Panut. Salah satu dari ketiga orang ini adalah Tutur, relawan dari PMI Bantul. Saya kemudian menelpon Komandan SAR DIY, Brotoseno. Saya melaporkan jika sudah berada di depan rumah Mbah Maridjan. Dalam komunikasi ini, saya melaporkan jika Mbah Maridjan belum ditemukan dan rumah dalam kondisi rusak parah.
Asih kemudian mendatangi kami, asih adalah putera mbah Maridjan, saat ini beliau menggantikan orangtuanya menjadi juru kunci Gunung Merapi. Asih datang dengan membawa ubo rampe sesaji termasuk dua ekor kambing warna hitam, titipan Kraton Yogyakarta. Ketika itu kita berangkulan, asih menangis melihat kondisi ini. Sedetik kemudian kita semua bersolawatan.
Kita terus melakukan pencarian, rumah Mbah Maridjan, Masjid al Amin Kinahredjo, kompleks makam, benar-benar nihil. Pada saat inilah Komandan SAR DIY, Nande dan Punpun bergabung dengan kami, kita berdiskusi tentang kemungkinan keberadaan Mbah Maridjan. Ditengah diskusi ini kami sempat diusir polisi berpangkat Kombes, kami tetap bergeming. 1 jam kemudian, akhirnya kita sepakat untuk turun dan berkoordinasi di rumah Yudha di daerah Pangukrejo, sekitar 1 km arah bawah Dusun Kinahredjo.
Di rumah Yudha inilah kemudian disepakti untuk membentuk sebuah operasi penyelamatan. Dipimpin Komandan SAR DIY, sepakat ditunjuk Capung sebagai komandan operasi dengan target Mbah Maridjan. Dibagi menjadi dua SRU (Search and Rescur Unit), unit terkecil dari sebuah operasi SAR. Satu SRU menyisir bagian atas dengan target 9 orang dan satu SRU menyisir kompleks rumah mbah Maridjan. Team penyelemat akan diberangkatkan pukul 04.00 wib keesokan harinya. Pemilihan jam ini dipercaya lebih efektif karena kita bisa melihat Gunung Merapi dengan lebih jelas diwaktu pagi hari.
Ditengah-tengah koordinasi ini kami memperoleh kabar jika Mbah Maridjan telah ditemukan dalam kondisi lemas di sebuah lereng bukit oleh anggota TNI AL. Namun jika melihat kronologisnya kami tetap percaya simbah belum diketemukan, dasarnya adalah kami adalah team yang berada di paling atas dan tidak menjumpai anggota TNI AL ikut operasi penyelamatan.
Malam itu saya sempat menghubungi istri saya, saya infokan jika saya sudah turun dari Kinahredjo dan akan melanjutkan operasi keesokan harinya. Dari istri saya inilah saya mendapat kabar jika dicari dua orang journalist TV nasional. Kemudian saya berkomunikasi dengan keduanya, diujung telepon, Angga contributor TVOne Wilayah Yogyakarta mengatakan, �Mas, saya minta gambar evakuasinya�, ujarnya.
</div>