Log in

View Full Version : Shalom [from "Remember Seattle"]


dkijakarta
27th May 2012, 04:50 PM
http://ceri.ws/smilies/nosara.gifhttp://ceri.ws/smilies/nosara.gifhttp://ceri.ws/smilies/nosara.gif



[/quote][quote]





Shalom


Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu saja dihiasi oleh rintik hujan. Waktu yang tepat untuk berjemur tentunya. Menikmati sinar matahari yang begitu jarang terjadi.



Aku baru saja keluar dari Paccar Hall, sebuah gedung perkuliahan di University of Washington. Di luar sana, di atas rumput-rumput hijau itu, puluhan bahkan ratusan mahasiswa sepertinya betul-betul menikmati sinar mentari hari ini. Sebagian mendengar musik dari Ipod ataupun laptop mereka, ada yang membaca buku, mengerjakan tugas, bercakap dengan temannya, bermain American football atau frisbee, ataupun hanya sekedar tidur-tiduran di atas rumput. Sepertinya sinar matahari hari adalah berkah dan memang harus dinikmati sebelum keesokan harinya hujan kembali mengguyur kota ini seperti biasanya.



Dan sama seperti yang orang Amerika itu lakukan, kulangkahkan pula kaki ku menuju rerumputan. Kuletakkan tas terlebih dahulu, lalu ku rebahkan diriku di atas rerumputan tanpa beralaskan apapun. Sepertinya, aku pun mulai merasa bahwa kehadiran sinar mentari haruslah dinikmati. Setahun di sini mulai membuatku sadar betapa sinar mentari sangatlah mahal untuk didapatkan. Seattle memang kota hujan.



Sekitar 15 menit aku melakukan ritual ini sampai kemudian aku teringat sebuah buku yang baru aku beli sekitar sejam yang lalu di University bookstore. Sebuah buku berjudul A Lake Beyond the Wind, karangan Yahya Yakhil. Aku tertarik membeli buku ini setelah melihat review nya di internet sekitar seminggu yang lalu. Isinya tentang bagaimana situasi Palestina di tahun 1948 saat perang Arab dan Israel pecah. Bukunya menceritakan tentang bagaimana keadaan perang saat itu dilihat dari sudut pandang berbagai tokoh yang muncul di dalamnya dan pengaruh perang terhadap jalan hidup mereka.



"Membaca buku di bawah sinar mentari memang sangat mengasyikkan, dude," tiba-tiba sebuah sapaan membuatku mengalihkan pandangan dari buku yang mulai aku baca itu.



Tak jauh dari tempatku duduk, seorang pria Amerika yang baru saja menyapaku itu pun mengambil tempat di atas rumput. Sepertinya dia adalah keturunan Irlandia, itu terlihat dari sebuah gelang yang dipakainya. Sebuah gelang berwarna hijau berlambang clover leaf di sana dan sebuah kalimat yang bertuliskan "Irish Pride."



"Sure," jawabku. "Sinar matahari seperti ini sangat jarang kita temukan di Washington," sambungku kemudian.



"Hehehe, it's Rainy State, dude," balasnya dengan tertawa.



Tak berselang lama dia pun mengambil sebuah buku dari tasnya. Sepertinya dia pun akan membaca buku yang dimilikinya. Namun ternyata tidak, sejenak diperhatikannya sampul buku yang aku baca, lalu kemudian dia berujar: "Hey, I like that book," serunya seraya menunjuk buku yang sedang aku baca.



Kucoba melihat kembali sampul buku yang aku baca, lalu balik menatapnya. "Aku baru membelinya beberapa jam yang lalu kok."



"It was a touched story," ujarnya kemudian.

"For sure, buku ini memceritakan tentang bagaimana bangsa Israel mendatangi bangsa Palestina. Mengambil tanah mereka. Membunuh para pemudanya dan menghancurkan mimpi-mimpi anak Palestina. Entah apa maunya orang-orang Yahudi ini," ujarku sedikit berapi-api. Wajar, aku selalu sensitif saat membahas soal Palestina dan Israel.



Dia hanya melempar senyum mendengarnya. Kemudian dia bangkit dan menghampiriku. Lalu kemudian mengulurkan tangannya. "Anyway, my name is Sam," ujarnya.



Senyumku mengambang mendengarnya. Sambil menjabat tangannya aku menjawab: "My name is Sam."



Kini giliran dia yang tersenyum, "Sam for Samuel Chesneau."

"Sam for Syamsul."

Sejenak kulihat ada gurat garis ragu di dahinya. "Sam for Syamsul? Nyambung di mana Jek?" Mungkin begitu pikirnya.



"Anyway, are you a muslim sam?"

"Yes I am," jawabku sedikit heran. Soalnya, sangat jarang orang menanyakan tentang agama di negeri ini.

"aku Yahudi," balasnya tanpa aku tanya. "Ibuku asli Irlandia, sedangkan ayahku orang Israel."

"Ohh...." hanya itu yang terlontar dari mulutku. Tak tahu harus berucap apa.



Aku jadi teringat dengan ucapan yang aku sebutkan kepadanya tadi terkait soal Israel dan Yahudi.



"Dude, sorry about the thing happened in Palestine, I know how you feel," dia berujar.



Aku yang mendengarnya hanya terdiam. Ada perasaan sedikit bersalah kepadanya mengingat apa yang aku katakan sebelumnya. Aku jadi teringat sesuatu saat seorang temanku asal Indonesia yang sehabis membaca koran online lalu kemudian dia berkata padaku, "Kok mahasiswa di Makassar itu kerjanya demo melulu ya, bro?" Aku tentu saja tersinggung, lalu kemudian kujawab. "Aku mahasiswa asal Makassar, bro." Dan setelah itu temanku terdiam lalu minta maaf. "Maksud aku itu sebenarnya bla, bla, bla...." Apa yang aku rasakan saat itu, mungkin sama dengan yang orang ini rasakan sekarang. Tersinggung.



"But Sam, you need to know, tidak semua orang Yahudi setuju dengan apa yang terjadi di Palestina sana. Tidak semua orang Israel juga setuju dengan perang yang terjadi di sana. Aku contohnya," Sam kembali berbicara.



"I'm sorry, I didn't mean to say that," balasku.

"No, you're good man. Aku paham kok. Apa yang terjadi di sana sama saja jika diandaikan bahwa seseorang datang ke rumahmu untuk bertamu, namun kemudian sang tamu itu lama-kelamaan mulai menguasai semua jengkal demi jengkal rumahmu, mengambil kamarmu, lalu kemudian berusaha mengusirmu keluar dari rumahmu."



Aku tersenyum mendengarnya. Aku pernah mendengar perumpamaan ini. Entah di mana.



"Oh Sam, I've got to go," ujarnya seraya melihat jam tangannya. "Nice meeting you. O ya, kalau suatu Sabtu kamu datang dan berjalan di Downtown Seattle, tepat di seberang jalan dekat Starbucks kecil di depan Westlake Mall, kamu akan memukan orang-orang yang melakukan protes terhadap agresi Israel di Palestina. Dan jangan heran, sebagian di antara mereka adalah orang Yahudi ataupun orang Israel. We like peace too dude," ujarnya seraya berdiri.



Di sentuhnya pundakku kemudian. "I'll catch you later Sam, shalom," ucapnya

lalu berbalik pergi.



"Waalaikum salam," balasku kemudian, entah dia mendengarnya atau tidak



***


Suatu Sabtu di Seattle, saat menanti seorang temanku di depan Westlake

Center, kulihat Sam dan beberapa orang lainnya melakukan protes menentang

agresi Israel ke Palestina. Mereka membawa spanduk besar dan juga membagikan selebaran serta meminta memboikot produk-produk Amerika yang keuntungannya sebagian besar disumbangkan kepada Israel.



"You were right, Sam, tidak semua orang Israel dan Yahudi menyetujui apa yang terjadi di Palestina san," ucapku dalam hati, embenarkan apa yang dikatakannya beberapa waktu yang lalu.



------------------------------------------------------

June 2011, University Street - UW

Faktanya, setiap hari Sabtu pagi di downtown Seattle, masyarakat akan menemukan orang-orang yang melakukan protes ataupun aksi damai menentang apa yang telah dilakukan Israel terhadap Palestina.








</div>