sijampang
27th May 2012, 04:50 PM
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/xn1rodyj.jpg
Keinginan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup penyandang epilepsi membuat dokter spesialis bedah saraf ini terus bekerja keras. Kini lelaki berusia 48 tahun yang berdomisili di Semarang ini menjadi satu-satunya dokter yang bisa melakukan bedah epilepsi di Indonesia. Lebih dari seratus pasien pun sudah berhasil ia tangani.
Bagaimana muasalnya Anda mendalami spesialisasi bedah saraf?
Begini, sejak SMP saya memang bercita-cita menjadi dokter. Orang tua saya yang hanya berjualan di Pasar Johar, Semarang, sangat mendukung. Meski tergolong tidak mampu, mereka tetap menginginkan saya, sulung dari tujuh bersaudara, mendapat pendidikan yang layak.
Saat SMA, saya mendapat kesempatan ikut pertukaran pelajar ke Amerika Serikat selama satu tahun. Saat tinggal di sana, saya sering diajak adik orang tua angkat saya yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit besar, ke tempat kerjanya. Saya pun tambah tertarik dengan dengan dunia kedokteran.
Lulus SMA tahun 1977, saya berhasil masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). Selama kuliah itu, saya merasa sangat tertarik mempelajari organ otak. Lulus dokter, saya sempat nyambi kerja sebagai dokter jaga di beberapa rumah sakit swasta dan mengajar di beberapa sekolah. Tetapi, sebetulnya saya masih ingin melanjutkan sekolah spesialisasi bedah saraf. Kendalanya, orang tua saya sudah angkat tangan membiayai.
Lalu?
Saya nekat pergi ke Jakarta dan mendatangi beberapa kedutaan untuk mencari beasiswa. Saya ikut tes persamaan lulusan dokter yang diadakan setiap tahun untuk bisa sekolah spesialisasi di Amerika. Dua kali ikut, saya gagal. Tetapi, saya tidak putus asa. Tahun 1996 Undip mendapat tawaran program spesialisasi dari pemerintah Jepang. Syukurlah saya lolos tes. Setahun kemudian saya masuk Universitas Hiroshima, Jepang untuk mengambil program S3 dan spesialisasi bedah saraf. Selama di Jepang, saya memboyong istri dan anak-anak saya.
Kapan Anda mulai menekuni bidang bedah epilepsi?
Tahun 1993 saya kembali ke Tanah Air. Sebelum pulang, guru-guru saya di sana berpesan, "Kamu adalah investasi kami di Indonesia, janganlah mati muda. Kami akan support kebutuhanmu untuk mengembangkan diri di bidang pekerjaan. Syaratnya, dalam sepuluh tahun jika kami tak mendengar namamu di Indonesia, kamu lebih baik pergi ke neraka saja. Dari situ saya berpikir, apa yang bisa saya kembangkan di Indonesia.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/c8msnekz.jpg
Beberapa tahun riset dan sebagainya, akhirnya muncul ide mengembangkan bedah epilepsi. Di Amerika, Eropa dan Jepang, bedah epilepsi memang sudah banyak dikembangkan, tetapi di Indonesia belum ada. Padahal, penyandang epilepsi di Indonesia cukup banyak, sekitar 0,5 persen dari keseluruhan populasi, yaitu sekitar 2 juta orang. Saya juga ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa epilepsi penyakit keturunan. Memang ada yang berkaitan dengan faktor genetik, tetapi hanya sekitar 8 persen.
Bagaimana Anda menyosialisasikan bedah epilepsi?
Saya sempat mengikuti program adaptasi di RS Hasan Sadikin Bandung selama enam bulan, lalu mulai bekerja di RS dr Kariadi, Semarang. Nah, setiap ada pertemuan dokter spesialis saraf di Semarang, saya minta waktu untuk bicara tentang bedah epilepsi. Di sebuah simposium epilepsi nasional di Palembang, saya pun mendatangkan guru saya, Profesor Hori, dari Jepang untuk menjadi pembicara.
Wah, periode saya memperkenalkan bedah epilepsi memakan waktu cukup lama. Saya muter-muter memberikan penerangan ke berbagai daerah. Saat itu, saya belum pikirkan soal ada atau tidak pasien yang mau dibedah.
Kalau dari masyarakat, bagaimana tanggapannya?
Awalnya mungkin masyarakat awam ngeri mendengar kata bedah atau operasi. Apalagi sebagian masyarakat menganggap penyakit epilepsi ini sebagai aib yang harus ditutup-tutupi. Saya pun menyosialisasikan bedah epilepsi ini ke masyarakat awam lewat tulisan-tulisan media maupun seminar-seminar. Lama-kelamaan, kepercayaan masyarakat pun terbentuk. Banyak pasien yang berdatangan. Tak hanya dari pulau Jawa, tetapi hampir seluruh Nusantara.
Kapan Anda mulai mengoperasi penyandang epilepsi?
Pertama kali saya menangani bedah epilepsi pada 19 Juli 1999. Waktu itu saya masih mendampingi, sementara yang mengoperasi adalah guru saya dari Jepang, Profesor Arita.
Bagaimana hasilnya?
Syukur, si pasien berhasil sembuh. Bahkan si pasien yang dulunya sangat minder, setelah operasi kondisinya membaik dan bisa mengelola usaha sendiri. Sejak itu, pasien mulai menaruh percaya dan banyak yang datang untuk konsultasi. Setelah beberapa kali mendampingi, saya mulai berani mengoperasi sendiri.
Banyak hal yang mengesankan Anda?
Tentu saja. Salah satunya ada pasien dari Semarang yang sampai ditinggalkan suaminya karena ia menderita epilepsi. Setelah operasi, ia bisa menata hidupnya kembali. Banyak juga pasien anak-anak yang setelah dioperasi, mengalami kemajuan dan mau sekolah lagi. Beberapa pasien saya berprofesi sebagai polisi, lawyer atau guru. Nah, hal-hal semacam itu yang memberikan kepuasan tak terkira bagi saya. Saya merasa sangat bersyukur bisa membantu meningkatkan harapan dan kualitas hidup mereka.
Semua penyandang epilepsi bisa dioperasi?
Tidak. Berdasarkan statistik, 60 persen pasien epilepsi itu sembuh dengan obat. Tetapi ada sekitar 40 persen yang bisa kebal obat. Nah, hanya separuh pasien yang kebal obat ini bisa lebih baik kondisinya dengan jalan operasi.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/9thkwk3h.jpg
Apa syaratnya seorang pasien epilepsi bisa dioperasi?
Ada beberapa bagian otak manusia yang jika diangkat akan berdampak buruk bagi kerja motorik lainnya, misalnya kehilangan memori, lumpuh, ataupun buta. Oleh karena itu, sebelum dioperasi pasien harus melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menentukan di mana letak sumber epilepsi. Caranya adalah dilakukan MRI (Magnetic Resonance Imaging), yaitu pencitraan otak, dan juga pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG). Jika sudah tahu letak sumber epilepsinya dan dipastikan tidak akan mengganggu kinerja motorik lainnya, pasien bisa Dioperasi.
Berdasar penelitian, epilepsi yang bersumber dari otak samping (lobus temporalis) adalah yang paling sering kebal terhadap obat, tetapi hasil operasinya paling baik. Jika sudah diperiksa dan diketahui pasti epilepsi yang diderita pasien adalah jenis lobus temporalis, dianjurkan sedini mungkin pasien dioperasi.
Lalu bagaimana kemungkinan kesembuhannya?
Tentu hasilnya beragam. Ilmu kedokteran kan ilmu ikhtiar, ya. Tidak semua kesembuhan yang didapat adalah kesembuhan total. Itu saya tanamkan kepada tiap pasien. Hingga kini, sudah lebih dari 100 pasien yang berhasil saya operasi, mulai usia 3 tahun hingga dewasa. 85 % sembuh total, artinya tidak mengalami serangan kejang lagi. Pasien lain, meski tak sembuh total, tetap mengalami kemajuan. Misalnya dari yang biasanya tiap bulan kambuh lima kali, jadi hanya tiga-empat kali dalam setahun.
Anda adalah pelopor bedah epilepsi di Indonesia dan hingga kini menjadi satu-satunya dokter yang bisa melakukan bedah epilepsi di Indonesia. Apakah langkah Anda sempat menuai kontroversi?
Awalnya memang pro kontra. Waktu operasi epilepsi pertama muncul di koran, saya malah dimusuhi dan dimarahi senior-senior saya. Mereka mendatangi saya di Semarang. Kata mereka, operasi epilepsi yang saya lakukan bukan yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia. Tapi buktinya kan memang begitu. Yang jelas, apa yang saya lakukan bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Masalah lain adalah, karena hanya saya yang bisa mengoperasi, banyak rekan seprofesi ketakutan bahwa semua pasien akan memilih jalan operasi.
Lantas, bagaimana akhirnya Anda bisa diterima dan diakui ?
Saya tetap pantang mundur dan malah banyak mengikuti kongres-kongres internasional untuk memperdalam ilmu. Tahun 2002 saya mengikuti pertemuan epilepsi Asia Oceania di Jepang. Saya kirimkan tulisan tentang laporan kondisi 18 pasien yang telah saya dioperasi. Ternyata saya mendapat penghargaan sebagai orang yang merintis bedah epilepsi di Indonesia. Nah, sejak itulah orang-orang di Indonesia mulai membuka mata.
Apa rencana Anda selanjutnya?
Tentu saja saya ingin mengembangkan bedah epilepsi. Sayang, hingga saat ini center yang bisa menangani operasi epilepsi hanya ada di Semarang, di daerah lain belum ada. Saya pikir, kalau saya berjuang sendirian, sampai mati pun saya mungkin tak bisa mengoperasi sebanyak itu. Karena itu, saya membutuhkan bantuan dari rekan-rekan dokter lainnya untuk concern ke bedah epilepsi ini.
Salah satu caranya, tiap ada operasi, saya mengundang teman-teman dokter spesialis saraf untuk datang ke Semarang mengikuti jalannya operasi. Saya juga sering diundang ke berbagai daerah dan tetap menulis di berbagai jurnal nasional maupun internasional. Saya juga aktif sebagai pembina di Yayasan Epilepsi Semarang dan tetap mengajar.
Semua kegiatan Anda tentu didukung keluarga, ya.
Tentu saja. Saya bersyukur, istri dan tiga anak saya paham benar pekerjaan saya. Mereka pun tak henti memberi dukungan. Tak hanya keluarga, semua pasien yang saya tangani pun terus memberi semangat. Tali silaturahmi tak putus, bahkan saya membekali semua pasien nomor handphone saya kalau sewaktu-waktu mereka ingin konsultasi. Begitulah, ketika kita berlaku baik dan memanusiakan pasien, mereka juga pasti akan menghargai kita. Itu sangat luar biasa.
sumber:http://nostalgia.tabloidnova.com/art...?id=12161&no=2 (http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=12161&no=2)
</div>
Keinginan untuk membantu meningkatkan kualitas hidup penyandang epilepsi membuat dokter spesialis bedah saraf ini terus bekerja keras. Kini lelaki berusia 48 tahun yang berdomisili di Semarang ini menjadi satu-satunya dokter yang bisa melakukan bedah epilepsi di Indonesia. Lebih dari seratus pasien pun sudah berhasil ia tangani.
Bagaimana muasalnya Anda mendalami spesialisasi bedah saraf?
Begini, sejak SMP saya memang bercita-cita menjadi dokter. Orang tua saya yang hanya berjualan di Pasar Johar, Semarang, sangat mendukung. Meski tergolong tidak mampu, mereka tetap menginginkan saya, sulung dari tujuh bersaudara, mendapat pendidikan yang layak.
Saat SMA, saya mendapat kesempatan ikut pertukaran pelajar ke Amerika Serikat selama satu tahun. Saat tinggal di sana, saya sering diajak adik orang tua angkat saya yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit besar, ke tempat kerjanya. Saya pun tambah tertarik dengan dengan dunia kedokteran.
Lulus SMA tahun 1977, saya berhasil masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). Selama kuliah itu, saya merasa sangat tertarik mempelajari organ otak. Lulus dokter, saya sempat nyambi kerja sebagai dokter jaga di beberapa rumah sakit swasta dan mengajar di beberapa sekolah. Tetapi, sebetulnya saya masih ingin melanjutkan sekolah spesialisasi bedah saraf. Kendalanya, orang tua saya sudah angkat tangan membiayai.
Lalu?
Saya nekat pergi ke Jakarta dan mendatangi beberapa kedutaan untuk mencari beasiswa. Saya ikut tes persamaan lulusan dokter yang diadakan setiap tahun untuk bisa sekolah spesialisasi di Amerika. Dua kali ikut, saya gagal. Tetapi, saya tidak putus asa. Tahun 1996 Undip mendapat tawaran program spesialisasi dari pemerintah Jepang. Syukurlah saya lolos tes. Setahun kemudian saya masuk Universitas Hiroshima, Jepang untuk mengambil program S3 dan spesialisasi bedah saraf. Selama di Jepang, saya memboyong istri dan anak-anak saya.
Kapan Anda mulai menekuni bidang bedah epilepsi?
Tahun 1993 saya kembali ke Tanah Air. Sebelum pulang, guru-guru saya di sana berpesan, "Kamu adalah investasi kami di Indonesia, janganlah mati muda. Kami akan support kebutuhanmu untuk mengembangkan diri di bidang pekerjaan. Syaratnya, dalam sepuluh tahun jika kami tak mendengar namamu di Indonesia, kamu lebih baik pergi ke neraka saja. Dari situ saya berpikir, apa yang bisa saya kembangkan di Indonesia.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/c8msnekz.jpg
Beberapa tahun riset dan sebagainya, akhirnya muncul ide mengembangkan bedah epilepsi. Di Amerika, Eropa dan Jepang, bedah epilepsi memang sudah banyak dikembangkan, tetapi di Indonesia belum ada. Padahal, penyandang epilepsi di Indonesia cukup banyak, sekitar 0,5 persen dari keseluruhan populasi, yaitu sekitar 2 juta orang. Saya juga ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa epilepsi penyakit keturunan. Memang ada yang berkaitan dengan faktor genetik, tetapi hanya sekitar 8 persen.
Bagaimana Anda menyosialisasikan bedah epilepsi?
Saya sempat mengikuti program adaptasi di RS Hasan Sadikin Bandung selama enam bulan, lalu mulai bekerja di RS dr Kariadi, Semarang. Nah, setiap ada pertemuan dokter spesialis saraf di Semarang, saya minta waktu untuk bicara tentang bedah epilepsi. Di sebuah simposium epilepsi nasional di Palembang, saya pun mendatangkan guru saya, Profesor Hori, dari Jepang untuk menjadi pembicara.
Wah, periode saya memperkenalkan bedah epilepsi memakan waktu cukup lama. Saya muter-muter memberikan penerangan ke berbagai daerah. Saat itu, saya belum pikirkan soal ada atau tidak pasien yang mau dibedah.
Kalau dari masyarakat, bagaimana tanggapannya?
Awalnya mungkin masyarakat awam ngeri mendengar kata bedah atau operasi. Apalagi sebagian masyarakat menganggap penyakit epilepsi ini sebagai aib yang harus ditutup-tutupi. Saya pun menyosialisasikan bedah epilepsi ini ke masyarakat awam lewat tulisan-tulisan media maupun seminar-seminar. Lama-kelamaan, kepercayaan masyarakat pun terbentuk. Banyak pasien yang berdatangan. Tak hanya dari pulau Jawa, tetapi hampir seluruh Nusantara.
Kapan Anda mulai mengoperasi penyandang epilepsi?
Pertama kali saya menangani bedah epilepsi pada 19 Juli 1999. Waktu itu saya masih mendampingi, sementara yang mengoperasi adalah guru saya dari Jepang, Profesor Arita.
Bagaimana hasilnya?
Syukur, si pasien berhasil sembuh. Bahkan si pasien yang dulunya sangat minder, setelah operasi kondisinya membaik dan bisa mengelola usaha sendiri. Sejak itu, pasien mulai menaruh percaya dan banyak yang datang untuk konsultasi. Setelah beberapa kali mendampingi, saya mulai berani mengoperasi sendiri.
Banyak hal yang mengesankan Anda?
Tentu saja. Salah satunya ada pasien dari Semarang yang sampai ditinggalkan suaminya karena ia menderita epilepsi. Setelah operasi, ia bisa menata hidupnya kembali. Banyak juga pasien anak-anak yang setelah dioperasi, mengalami kemajuan dan mau sekolah lagi. Beberapa pasien saya berprofesi sebagai polisi, lawyer atau guru. Nah, hal-hal semacam itu yang memberikan kepuasan tak terkira bagi saya. Saya merasa sangat bersyukur bisa membantu meningkatkan harapan dan kualitas hidup mereka.
Semua penyandang epilepsi bisa dioperasi?
Tidak. Berdasarkan statistik, 60 persen pasien epilepsi itu sembuh dengan obat. Tetapi ada sekitar 40 persen yang bisa kebal obat. Nah, hanya separuh pasien yang kebal obat ini bisa lebih baik kondisinya dengan jalan operasi.
http://cdn-u.kaskus.co.id/72/9thkwk3h.jpg
Apa syaratnya seorang pasien epilepsi bisa dioperasi?
Ada beberapa bagian otak manusia yang jika diangkat akan berdampak buruk bagi kerja motorik lainnya, misalnya kehilangan memori, lumpuh, ataupun buta. Oleh karena itu, sebelum dioperasi pasien harus melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menentukan di mana letak sumber epilepsi. Caranya adalah dilakukan MRI (Magnetic Resonance Imaging), yaitu pencitraan otak, dan juga pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG). Jika sudah tahu letak sumber epilepsinya dan dipastikan tidak akan mengganggu kinerja motorik lainnya, pasien bisa Dioperasi.
Berdasar penelitian, epilepsi yang bersumber dari otak samping (lobus temporalis) adalah yang paling sering kebal terhadap obat, tetapi hasil operasinya paling baik. Jika sudah diperiksa dan diketahui pasti epilepsi yang diderita pasien adalah jenis lobus temporalis, dianjurkan sedini mungkin pasien dioperasi.
Lalu bagaimana kemungkinan kesembuhannya?
Tentu hasilnya beragam. Ilmu kedokteran kan ilmu ikhtiar, ya. Tidak semua kesembuhan yang didapat adalah kesembuhan total. Itu saya tanamkan kepada tiap pasien. Hingga kini, sudah lebih dari 100 pasien yang berhasil saya operasi, mulai usia 3 tahun hingga dewasa. 85 % sembuh total, artinya tidak mengalami serangan kejang lagi. Pasien lain, meski tak sembuh total, tetap mengalami kemajuan. Misalnya dari yang biasanya tiap bulan kambuh lima kali, jadi hanya tiga-empat kali dalam setahun.
Anda adalah pelopor bedah epilepsi di Indonesia dan hingga kini menjadi satu-satunya dokter yang bisa melakukan bedah epilepsi di Indonesia. Apakah langkah Anda sempat menuai kontroversi?
Awalnya memang pro kontra. Waktu operasi epilepsi pertama muncul di koran, saya malah dimusuhi dan dimarahi senior-senior saya. Mereka mendatangi saya di Semarang. Kata mereka, operasi epilepsi yang saya lakukan bukan yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia. Tapi buktinya kan memang begitu. Yang jelas, apa yang saya lakukan bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Masalah lain adalah, karena hanya saya yang bisa mengoperasi, banyak rekan seprofesi ketakutan bahwa semua pasien akan memilih jalan operasi.
Lantas, bagaimana akhirnya Anda bisa diterima dan diakui ?
Saya tetap pantang mundur dan malah banyak mengikuti kongres-kongres internasional untuk memperdalam ilmu. Tahun 2002 saya mengikuti pertemuan epilepsi Asia Oceania di Jepang. Saya kirimkan tulisan tentang laporan kondisi 18 pasien yang telah saya dioperasi. Ternyata saya mendapat penghargaan sebagai orang yang merintis bedah epilepsi di Indonesia. Nah, sejak itulah orang-orang di Indonesia mulai membuka mata.
Apa rencana Anda selanjutnya?
Tentu saja saya ingin mengembangkan bedah epilepsi. Sayang, hingga saat ini center yang bisa menangani operasi epilepsi hanya ada di Semarang, di daerah lain belum ada. Saya pikir, kalau saya berjuang sendirian, sampai mati pun saya mungkin tak bisa mengoperasi sebanyak itu. Karena itu, saya membutuhkan bantuan dari rekan-rekan dokter lainnya untuk concern ke bedah epilepsi ini.
Salah satu caranya, tiap ada operasi, saya mengundang teman-teman dokter spesialis saraf untuk datang ke Semarang mengikuti jalannya operasi. Saya juga sering diundang ke berbagai daerah dan tetap menulis di berbagai jurnal nasional maupun internasional. Saya juga aktif sebagai pembina di Yayasan Epilepsi Semarang dan tetap mengajar.
Semua kegiatan Anda tentu didukung keluarga, ya.
Tentu saja. Saya bersyukur, istri dan tiga anak saya paham benar pekerjaan saya. Mereka pun tak henti memberi dukungan. Tak hanya keluarga, semua pasien yang saya tangani pun terus memberi semangat. Tali silaturahmi tak putus, bahkan saya membekali semua pasien nomor handphone saya kalau sewaktu-waktu mereka ingin konsultasi. Begitulah, ketika kita berlaku baik dan memanusiakan pasien, mereka juga pasti akan menghargai kita. Itu sangat luar biasa.
sumber:http://nostalgia.tabloidnova.com/art...?id=12161&no=2 (http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=12161&no=2)
</div>