sijampang
27th May 2012, 04:44 PM
Permisi gann..
Saya mau share pengalaman dr Pdt Jonatan Jap Setiawan yang melayani di GBIS Kepunton Solo saat terjadinya bom di gerejanya... Ini saya copas dari FB beliau, dan setelah saya membacanya, saya tergerak untuk share pengalaman beliau ke agan2 semua... :)
Semoga jadi berkat gann... :2good:
God Bless INDONESIA.....!!!
:loveindonesia :loveindonesia :loveindonesia :loveindonesia
[/quote][quote]
MUJIZAT 1053
by Jonatan Jap Setiawan
*MUJIZAT 1053*
* I. **10:53*
Minggu 25 September 2011 jam 10:45. Ibadah baru saja usai. Doa berkat
telah selesai disampaikan. Jemaat sedang berjalan keluar dari dalam
gedung Gereja. Pemuji dan pemusik sedang menaikkan puji-pujian.
Baru saja, Pdt. Sigit Purbandoro dari Surabaya menyampaikan Firman Tuhan
mengenai "Pertolongan Tuhan" yang terambil dari Mazmur 121:1-8. Semuanya
kelihatannya berjalan dengan lancar sepereti biasanya.
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Puji-pujian langsung berhenti. Saya
berpikir speaker sound system yang meledak. Saya langsung berlari ke
tengah mimbar dan dari atas mimbar terlihat ada asap putih mengepul dari
pintu depan. Asap cukup tebal sehingga pandangan ke luar pintu tidak
terlihat. Saya langsung berpikir "Wah bom!" Langsung saya berlari
seperti melompat dari mimbar ke tempat kejadian.
Pikiran saya cuma satu, "Tuhan jangan sampai ada korban jiwa dari
jemaat" dan kalau ada korban luka, itu yang harus secepatnya ditolong.
Tidak kepikiran kalau ada bom susulan atau hal lain. Hanya satu perkara
yang ada di pikiran "Selamatkan secepatnya yang terluka!"
Pada waktu itu, jemaat berteriak-teriak panik dan berlarian. Apalagi
asap putih cukup tebal menghalangi pandangan. Bau mesiu menyengat dan
darah berceceran di lantai.
Sampai di dekat kejadian, saya melihat hanya ada seorang yang tergeletak
dengan perut hancur. Saya langsung berpikir, "Itu pasti pelakunya".
Secara sekilas saya tidak menemukan korban lain yang tergeletak, spontan
saya langsung berkata dalam hati, "Syukur Tuhan, tidak ada korban jiwa
jemaat".
Lalu saya lihat beberapa jemaat yang terluka. Saya pegang tangan salah
satunya dan saya katakan "Kamu pasti tertolong. Jangan takut! Tuhan
melindungimu." Tapi saya tidak boleh hanya berkutat di situ. Sekarang,
ada beban di pundak saya sebagai gembala untuk mengendalikan situasi
yang kacau dan menenangkan jemaat yang panik. Langsung saya berteriak
"Semuanya keluar lewat pintu samping". Sekarang, prioritas utama adalah
melarikan korban yang terluka secepat-cepatnya ke rumah sakit. Tidak
usah memanggil ambulan, karena pasti butuh waktu cukup lama. Sedangkan
korban, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.
Terdengar teriakan dari Pdm. Joko Sembodo yang mengatur keamanan di
tempat kejadian perkara. Dia berteriak kepada petugas parkir di luar
"Tutup pintu gerbang cepat!" agar jangan sampai ada orang luar masuk.
"Bawa semua korban lewat kantor. Pakai mobil Gereja untuk membawa korban
ke rumah sakit" teriak saya. Langsung beberapa jemaat dengan sigap tanpa
rasa takut menggendong para korban ke kantor. Mereka ini betul-betul
orang-orang yang siap melayani seperti Kristus. Tidak mempedulikan
resiko bom ke dua ataupun kengerian yang muncul, mereka sigap untuk
memberikan pertolongan kepada korban-korban yang berjatuhan.
Sayapun segera berlari ke kantor. Di kantor, saya menyuruh Bapak Yohanes
dan Bapak Yulianto untuk mengatur parkir agar kendaraan di parkir yang
tidak berkepentingan bisa langsung cepat keluar. Begitu kosong, ada dua
kendaraan yang siap dipakai, milik Bapak Budi dan Bapak Gideon. Langsung
para korban diangkat dinaikkan ke mobil Bapak Budi. Namun ada kesulitan
untuk menaikkan korban ke mobil Bapak Gideon, karena pintunya terhalang
mobil lain. Tidak menunggu waktu, saya langsung naik ke belakang setir
dan memajukan mobil Bapak Gideon, sehingga pintu bisa terbuka lebar.
Begitu korban dimasukkan, mobil segera melaju dengan cepat ke Rumah
Sakit Dr. Oen. Ada yang sempat bertanya, "Nanti kalau di tanya siapa
yang menanggung dan bertanggungjawab, bagaimana jawabnya?" Saya langsung
berteriak "Gereja yang akan bertanggungjawab untuk semua biayanya. Yang
penting, korban harus segera ditolong!" (Biaya pengobatan dan rumah
sakit ditanggung oleh pemerintah dan oleh pihak Rumah Sakit Dr. Oen).
Dalam waktu kira-kira lima belas menit sejak ledakan, semua korban sudah
bisa sampai ke Rumah Sakit Dr. Oen.
Setelah sebentar membagi tugas di kantor, saya dan Pdm. Wim Agus Winarno
langsung menyusul ke Rumah Sakit Dr. Oen. Urusan peledakan dan korban
tewas biarlah urusan polisi dan orang lain yang sudah saya serahi tugas
untuk itu. Sedangkan tugas saya adalah gembala. Saya harus berada di
dekat domba-domba yang terluka secepatnya.
Di luar, masa yang begitu banyak sudah memadati jalan di sekitar Gereja,
sehingga kendaraan saya sukar untuk bergerak. Sesampainya di rumah
sakit, ruang UGD sudah penuh dengan korban-korban yang terluka dan
keluarganya. Suasana hiruk pikuk. Langsung saya usahakan untuk mendekati
mereka satu per satu. Saya berikan kata-kata kekuatan dan yang paling
penting saya doakan mereka satu per satu. Itulah tugas saya sebagai gembala.
Korban pertama yang saya jumpai adalah Bapak Sugiyono dan anaknya
Defiana. Secara sepintas mereka kelihatannya tidak terluka parah, karena
mereka masih bisa tersenyum. Namun kemudian saya baru tahu bahwa luka
Defiana cukup parah, di mana ada 3 mur yang bersarang di tempurung
kepalanya. Saya doakan mereka dan saya kuatkan.
Lalu saya jumpai Bapak Go Sing Gwan yang terluka dibahunya. Sebuah metal
besi telah menghantam tulang bahunya sehingga hancur. Bapak Go Sing Gwan
harus menjalani operasi untuk mengganti tulang bahunya yang hancur
dengan sebuah plat.
Dikamar sebelah saya menjumpai Olivia Putri yang terluka di kakinya.
Urat kakinya putus dan dia menangis. Pasti rasanya sangat menyakitkan
sekali dan hati saya turut tersayat melihat gadis remaja ini menangis
kesakitan. Saya pegang tangannya dan saya doakan.
Berlari keluar saya masuk ke kamar di samping dan di situ saya melihat
Noviyanti tergeletak di atas ranjang dengan kepala yang bercucuran darah
begitu banyak. Terlihat sepintas lukanya cukup parah dan dia hanya diam
saja tanpa respon. Hati saya kuatir melihatnya. Tapi saya meneguhkan
iman dan berdoa. Saya bisikkan kata-kata kekuatan dan saya doakan dia.
Luar biasanya, nanti terlihat bahwa pemulihannya begitu cepat dan dia
termasuk yang cepat pulang dari Rumah Sakit.
Septiana saya jumpai sedang terbaring kesakitan. Benda tajam telah
menembus salah satu kakinya sampai berlubang dan mencucurkan darah.
Tidak berhenti sampai di situ, benda tajam itu masih melaju dan
bersarang di kaki yang satunya lagi. Ke dua kakinya terluka parah.
Selanjutnya saya berlari ke kamar sebelah dan saya melihat Ibu Feriana
yang terluka parah, ada pecahan metal yang menembus dan merobek kandung
kemihnya. Pendarahan terjadi dan harus segera dihentikan sebelum menjadi
fatal. Segera dia diprioritaskan untuk menerima tindakan operasi lebih
dahulu untuk menghentikan pendarahan. Dalam operasi itu, dokter juga
harus memotong usus halusnya sebanyak dua cm. ketika didoakan sebelum
masuk ke kamar operasi, dia masih bisa tersenyum sekalipun terluka parah.
Selesai mendoakan Ibu Feriana, saya keluar kamar dan di lorong saya
menjumpai Ferdianta dan Boris yang terbaring di ranjang. Luka mereka
berada di tangan, perut dan kaki, karena ada paku dan benda-benda lain
yang menancap. Saya doakan dan saya teguhkan iman mereka. Mereka
mengangguk lemah tanda percaya dan saya senang karena mereka tetap kuat.
Saat itu, saya melihat ada korban yang sedang didorong tergesa-gesa oleh
petugas medis ke kamar operasi. Ternyata dia adalah Bapak Ristiyono yang
punggungnya hancur karena ada dua belas paku yang menancap di
punggungnya. Saya tidak sempat mendoakannya secara khusus, tapi saya
berdoa dalam hati agar kemanapun dia dibawa, Tuhan menyertainya.
Dengan setengah berlari, saya masuki kamar selanjutnya. Di situ
terbaring Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun. Dia
merasakan sakit di kepalanya yang berdarah-darah dan berkata dengan
suara memelas "Pak, kepalaku sakit sekali. Tolong Pak Yo, ndak kuat
rasanya. Kepala ini sakit sekali!" Saya tidak bisa melakukan apa-apa
untuk meringankan penderitaannya, kecuali hanya dengan doa. Telinga Ibu
Yulianti telah robek terhantam serpihan benda tajam dan mengucurkan
banyak darah. Saya pegang tangannya dan dia menggenggam tangan saya
erat-erat. Saya katakan, "Tante jangan kuatir. Tante pasti bisa sembuh
total. Tetap kuat dan panggil nama Tuhan Yesus ya Tante." Dia mengangguk
dan saya doakan dia sambil kita ber dua berpegangan tangan.
Keluar dari kamar itu, saya melihat korban lain, yaitu Bapak Stefanus
yang terbaring di ranjangnya tepat di tengah ruang UGD. Dia berusaha
bangun. Saya tenangkan dia dan saya suruh tidur kembali. Saya lihat
lengannya atas berdarah-darah. Saya pegang tangannya dan saya doakan dia
di tengah-tengah ruangan UGD itu.
Sekalipun jatuh korban tiga puluh orang terluka, saya masih bisa
bersyukur bahwa tidak ada satupun yang meninggal dunia. Dari tiga puluh
orang itu, empat belas harus dirawat inap dan semuanya harus menjalani
operasi. Operasi berlangsung marathon dari hari Minggu jam 14.00 sampai
besoknya jam 12.00, selama dua puluh dua jam.
-Bersambung ke Post2-
</div>
Saya mau share pengalaman dr Pdt Jonatan Jap Setiawan yang melayani di GBIS Kepunton Solo saat terjadinya bom di gerejanya... Ini saya copas dari FB beliau, dan setelah saya membacanya, saya tergerak untuk share pengalaman beliau ke agan2 semua... :)
Semoga jadi berkat gann... :2good:
God Bless INDONESIA.....!!!
:loveindonesia :loveindonesia :loveindonesia :loveindonesia
[/quote][quote]
MUJIZAT 1053
by Jonatan Jap Setiawan
*MUJIZAT 1053*
* I. **10:53*
Minggu 25 September 2011 jam 10:45. Ibadah baru saja usai. Doa berkat
telah selesai disampaikan. Jemaat sedang berjalan keluar dari dalam
gedung Gereja. Pemuji dan pemusik sedang menaikkan puji-pujian.
Baru saja, Pdt. Sigit Purbandoro dari Surabaya menyampaikan Firman Tuhan
mengenai "Pertolongan Tuhan" yang terambil dari Mazmur 121:1-8. Semuanya
kelihatannya berjalan dengan lancar sepereti biasanya.
Tiba-tiba terdengar ledakan keras. Puji-pujian langsung berhenti. Saya
berpikir speaker sound system yang meledak. Saya langsung berlari ke
tengah mimbar dan dari atas mimbar terlihat ada asap putih mengepul dari
pintu depan. Asap cukup tebal sehingga pandangan ke luar pintu tidak
terlihat. Saya langsung berpikir "Wah bom!" Langsung saya berlari
seperti melompat dari mimbar ke tempat kejadian.
Pikiran saya cuma satu, "Tuhan jangan sampai ada korban jiwa dari
jemaat" dan kalau ada korban luka, itu yang harus secepatnya ditolong.
Tidak kepikiran kalau ada bom susulan atau hal lain. Hanya satu perkara
yang ada di pikiran "Selamatkan secepatnya yang terluka!"
Pada waktu itu, jemaat berteriak-teriak panik dan berlarian. Apalagi
asap putih cukup tebal menghalangi pandangan. Bau mesiu menyengat dan
darah berceceran di lantai.
Sampai di dekat kejadian, saya melihat hanya ada seorang yang tergeletak
dengan perut hancur. Saya langsung berpikir, "Itu pasti pelakunya".
Secara sekilas saya tidak menemukan korban lain yang tergeletak, spontan
saya langsung berkata dalam hati, "Syukur Tuhan, tidak ada korban jiwa
jemaat".
Lalu saya lihat beberapa jemaat yang terluka. Saya pegang tangan salah
satunya dan saya katakan "Kamu pasti tertolong. Jangan takut! Tuhan
melindungimu." Tapi saya tidak boleh hanya berkutat di situ. Sekarang,
ada beban di pundak saya sebagai gembala untuk mengendalikan situasi
yang kacau dan menenangkan jemaat yang panik. Langsung saya berteriak
"Semuanya keluar lewat pintu samping". Sekarang, prioritas utama adalah
melarikan korban yang terluka secepat-cepatnya ke rumah sakit. Tidak
usah memanggil ambulan, karena pasti butuh waktu cukup lama. Sedangkan
korban, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit.
Terdengar teriakan dari Pdm. Joko Sembodo yang mengatur keamanan di
tempat kejadian perkara. Dia berteriak kepada petugas parkir di luar
"Tutup pintu gerbang cepat!" agar jangan sampai ada orang luar masuk.
"Bawa semua korban lewat kantor. Pakai mobil Gereja untuk membawa korban
ke rumah sakit" teriak saya. Langsung beberapa jemaat dengan sigap tanpa
rasa takut menggendong para korban ke kantor. Mereka ini betul-betul
orang-orang yang siap melayani seperti Kristus. Tidak mempedulikan
resiko bom ke dua ataupun kengerian yang muncul, mereka sigap untuk
memberikan pertolongan kepada korban-korban yang berjatuhan.
Sayapun segera berlari ke kantor. Di kantor, saya menyuruh Bapak Yohanes
dan Bapak Yulianto untuk mengatur parkir agar kendaraan di parkir yang
tidak berkepentingan bisa langsung cepat keluar. Begitu kosong, ada dua
kendaraan yang siap dipakai, milik Bapak Budi dan Bapak Gideon. Langsung
para korban diangkat dinaikkan ke mobil Bapak Budi. Namun ada kesulitan
untuk menaikkan korban ke mobil Bapak Gideon, karena pintunya terhalang
mobil lain. Tidak menunggu waktu, saya langsung naik ke belakang setir
dan memajukan mobil Bapak Gideon, sehingga pintu bisa terbuka lebar.
Begitu korban dimasukkan, mobil segera melaju dengan cepat ke Rumah
Sakit Dr. Oen. Ada yang sempat bertanya, "Nanti kalau di tanya siapa
yang menanggung dan bertanggungjawab, bagaimana jawabnya?" Saya langsung
berteriak "Gereja yang akan bertanggungjawab untuk semua biayanya. Yang
penting, korban harus segera ditolong!" (Biaya pengobatan dan rumah
sakit ditanggung oleh pemerintah dan oleh pihak Rumah Sakit Dr. Oen).
Dalam waktu kira-kira lima belas menit sejak ledakan, semua korban sudah
bisa sampai ke Rumah Sakit Dr. Oen.
Setelah sebentar membagi tugas di kantor, saya dan Pdm. Wim Agus Winarno
langsung menyusul ke Rumah Sakit Dr. Oen. Urusan peledakan dan korban
tewas biarlah urusan polisi dan orang lain yang sudah saya serahi tugas
untuk itu. Sedangkan tugas saya adalah gembala. Saya harus berada di
dekat domba-domba yang terluka secepatnya.
Di luar, masa yang begitu banyak sudah memadati jalan di sekitar Gereja,
sehingga kendaraan saya sukar untuk bergerak. Sesampainya di rumah
sakit, ruang UGD sudah penuh dengan korban-korban yang terluka dan
keluarganya. Suasana hiruk pikuk. Langsung saya usahakan untuk mendekati
mereka satu per satu. Saya berikan kata-kata kekuatan dan yang paling
penting saya doakan mereka satu per satu. Itulah tugas saya sebagai gembala.
Korban pertama yang saya jumpai adalah Bapak Sugiyono dan anaknya
Defiana. Secara sepintas mereka kelihatannya tidak terluka parah, karena
mereka masih bisa tersenyum. Namun kemudian saya baru tahu bahwa luka
Defiana cukup parah, di mana ada 3 mur yang bersarang di tempurung
kepalanya. Saya doakan mereka dan saya kuatkan.
Lalu saya jumpai Bapak Go Sing Gwan yang terluka dibahunya. Sebuah metal
besi telah menghantam tulang bahunya sehingga hancur. Bapak Go Sing Gwan
harus menjalani operasi untuk mengganti tulang bahunya yang hancur
dengan sebuah plat.
Dikamar sebelah saya menjumpai Olivia Putri yang terluka di kakinya.
Urat kakinya putus dan dia menangis. Pasti rasanya sangat menyakitkan
sekali dan hati saya turut tersayat melihat gadis remaja ini menangis
kesakitan. Saya pegang tangannya dan saya doakan.
Berlari keluar saya masuk ke kamar di samping dan di situ saya melihat
Noviyanti tergeletak di atas ranjang dengan kepala yang bercucuran darah
begitu banyak. Terlihat sepintas lukanya cukup parah dan dia hanya diam
saja tanpa respon. Hati saya kuatir melihatnya. Tapi saya meneguhkan
iman dan berdoa. Saya bisikkan kata-kata kekuatan dan saya doakan dia.
Luar biasanya, nanti terlihat bahwa pemulihannya begitu cepat dan dia
termasuk yang cepat pulang dari Rumah Sakit.
Septiana saya jumpai sedang terbaring kesakitan. Benda tajam telah
menembus salah satu kakinya sampai berlubang dan mencucurkan darah.
Tidak berhenti sampai di situ, benda tajam itu masih melaju dan
bersarang di kaki yang satunya lagi. Ke dua kakinya terluka parah.
Selanjutnya saya berlari ke kamar sebelah dan saya melihat Ibu Feriana
yang terluka parah, ada pecahan metal yang menembus dan merobek kandung
kemihnya. Pendarahan terjadi dan harus segera dihentikan sebelum menjadi
fatal. Segera dia diprioritaskan untuk menerima tindakan operasi lebih
dahulu untuk menghentikan pendarahan. Dalam operasi itu, dokter juga
harus memotong usus halusnya sebanyak dua cm. ketika didoakan sebelum
masuk ke kamar operasi, dia masih bisa tersenyum sekalipun terluka parah.
Selesai mendoakan Ibu Feriana, saya keluar kamar dan di lorong saya
menjumpai Ferdianta dan Boris yang terbaring di ranjang. Luka mereka
berada di tangan, perut dan kaki, karena ada paku dan benda-benda lain
yang menancap. Saya doakan dan saya teguhkan iman mereka. Mereka
mengangguk lemah tanda percaya dan saya senang karena mereka tetap kuat.
Saat itu, saya melihat ada korban yang sedang didorong tergesa-gesa oleh
petugas medis ke kamar operasi. Ternyata dia adalah Bapak Ristiyono yang
punggungnya hancur karena ada dua belas paku yang menancap di
punggungnya. Saya tidak sempat mendoakannya secara khusus, tapi saya
berdoa dalam hati agar kemanapun dia dibawa, Tuhan menyertainya.
Dengan setengah berlari, saya masuki kamar selanjutnya. Di situ
terbaring Ibu Yulianti yang sudah berusia tujuh puluh empat tahun. Dia
merasakan sakit di kepalanya yang berdarah-darah dan berkata dengan
suara memelas "Pak, kepalaku sakit sekali. Tolong Pak Yo, ndak kuat
rasanya. Kepala ini sakit sekali!" Saya tidak bisa melakukan apa-apa
untuk meringankan penderitaannya, kecuali hanya dengan doa. Telinga Ibu
Yulianti telah robek terhantam serpihan benda tajam dan mengucurkan
banyak darah. Saya pegang tangannya dan dia menggenggam tangan saya
erat-erat. Saya katakan, "Tante jangan kuatir. Tante pasti bisa sembuh
total. Tetap kuat dan panggil nama Tuhan Yesus ya Tante." Dia mengangguk
dan saya doakan dia sambil kita ber dua berpegangan tangan.
Keluar dari kamar itu, saya melihat korban lain, yaitu Bapak Stefanus
yang terbaring di ranjangnya tepat di tengah ruang UGD. Dia berusaha
bangun. Saya tenangkan dia dan saya suruh tidur kembali. Saya lihat
lengannya atas berdarah-darah. Saya pegang tangannya dan saya doakan dia
di tengah-tengah ruangan UGD itu.
Sekalipun jatuh korban tiga puluh orang terluka, saya masih bisa
bersyukur bahwa tidak ada satupun yang meninggal dunia. Dari tiga puluh
orang itu, empat belas harus dirawat inap dan semuanya harus menjalani
operasi. Operasi berlangsung marathon dari hari Minggu jam 14.00 sampai
besoknya jam 12.00, selama dua puluh dua jam.
-Bersambung ke Post2-
</div>