mercusuar
27th May 2012, 04:43 PM
Mobil "Sapu Angin 4" milik mahasiswa Jurusan Teknik Mesin ITS yang menjadi juara mobil hemat se-Asia dalam "Shell Eco Marathon (SEM) 2011" di Malaysia kembali ditahan pihak Bea dan Cukai Tanjung Priok.
"Kami tidak mau membayar bea cukai, karena itu bukan mobil komersil. Biar saja nanti jadi urusan yang berwenang. Kami mau Kemendiknas membantu," kata Pembantu Rektor (PR) I ITS Prof Ir Herman Sasongko di sela-sela penyambutan Tim Paduan Suara Mahasiswa ITS dari Italia di Rektorat Surabaya, Sabtu.
Ia menyayangkan langkah bea dan cukai yang menahan mobil milik mahasiswa ITS, apalagi nasib serupa juga dialami mobil irit milik UGM, ITB dan Poltek Pontianak, padahal semuanya untuk kejayaan bangsa Indonesia.
"Mobil itu milik bangsa dan jadi mobil penelitian. Jadi, tidak seharusnya mobil seperti ini ditahan pihak Bea cukai. Biar saja tidak akan kami bayar, karena kami juga sudah mengeluarkan banyak uang untuk mengikuti lomba itu," katanya.
Sejauh ini, mobil ITS sudah tertahan selama hampir 2,5 bulan, karena tim Sapu Angin 4 sendiri sudah datang pada 14 Juli 2011 setelah mengikuti lomba pada 6-9 Juli 2011.
Ia mengaku pengiriman mobil diurus oleh biro jasa, namun pihak Bea Cukai akhirnya menahan dengan alasan pihak importir bermasalah, karena pihak Bea Cukai minta bukti surat dari Kementerian Perdagangan bila bukan barang komersil.
"Itu sudah kejadian yang kedua kalinya, karena itu kami berharap Kemendiknas bisa memberikan rekomendasi agar mobil milik ITS itu bisa keluar dari Bea Cukai tanpa biaya apapun," kata mantan Ketua Jurusan Teknik Mesin ITS itu.
Senada dengan itu, Ketua Tim "Sapu Angin" ITS, Eko Hardianto, meminta Bea Cukai (BC) untuk mau bekerja sama untuk tidak menahan juara mobil hemat se-Asia itu.
"Itu (mobil Sapu Angin) bukan mobil komersil, tapi mobil yang justru membawa nama bangsa dalam kompetisi mobil hemat se-Asia di Malaysia pada 6-9 Juli lalu," katanya.
Tahun lalu, mobil "Sapu Angin 2" yang menjadi juara mobil hemat se-Asia juga ditahan di pelabuhan oleh pihak Bea Cukai selama satu bulan.
"Pihak Bea Cukai meminta tebusan Rp40 juta, padahal mobil itu bukan komersil. Kami sendiri mengeluarkan dana Rp100 juta untuk biaya kirim dan pulang mobil kami," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta Bea Cukai mendukung prestasi mereka, sebab mereka juga sudah menghabiskan biaya besar, yakni biaya pembuatan Rp180 juta untuk tiga mobil dan biaya akomodasi/konsumsi Rp100 juta, serta biaya kirim/pulang mobil Rp100 juta.
"Masak, kami harus membayar lagi, padahal kami tidak punya biaya itu. Kami memang mendapatkan hadiah uang, tapi hadiah yang kami terima hanya sekitar Rp18 juta, tentu sangat kurang untuk bea masuk," katanya.
Mobil "Sapu Angin 4" menjadi juara setelah mengumpulkan nilai efisiensi 150 kmpl (kilometer per liter) dalam ajang "Shell Eco-Marathon" (SEM) Asia di kelas "Urban Concept Internal Combustion" dan kelas "Alternative Diesel Fuel."
Pada kelas bahan bakar itu, Sapu Angin 4 menggunakan bahan bakar FAME (Fatty Acid Methyl Ester) alias biodiesel (ramah lingkungan).
Untuk kategori yang sama, tim ITS melalui mobil "Sapu Angin 3" juga meraih posisi ketiga dengan nilai efisiensi 113 kmpl, sedangkan posisi kedua diraih ITB dengan 117 kmpl atau hanya selisih 5 kmpl dengan Sapu Angin 3 dari ITS.
Pada kategori itu (urban concept dan alternative diesel fuel), tim ITS menjadi juara bertahan, karena tahun lalu menempatkan Sapu Angin 2 sebagai mobil paling irit (hemat).
Tahun 2011, ITS menurunkan tiga mobil yakni Sapu Angin 3, 4, dan 5. Sapu Angin 3 bermesin diesel 200 cc, Sapu Angin 4 bermesin 100 cc, dan Sapu Angin 5 yang semuanya bermesin 90 cc empat langkah. Mesin Sapu Angin itu buatan sendiri arek-arek ITS dengan nama Paijo-Experiment (PEX) 90 dan menggunakan sistem kontrol buatan sendiri bernama IQUTECH-E alias "iki utekke" (ini otaknya).
</div>
"Kami tidak mau membayar bea cukai, karena itu bukan mobil komersil. Biar saja nanti jadi urusan yang berwenang. Kami mau Kemendiknas membantu," kata Pembantu Rektor (PR) I ITS Prof Ir Herman Sasongko di sela-sela penyambutan Tim Paduan Suara Mahasiswa ITS dari Italia di Rektorat Surabaya, Sabtu.
Ia menyayangkan langkah bea dan cukai yang menahan mobil milik mahasiswa ITS, apalagi nasib serupa juga dialami mobil irit milik UGM, ITB dan Poltek Pontianak, padahal semuanya untuk kejayaan bangsa Indonesia.
"Mobil itu milik bangsa dan jadi mobil penelitian. Jadi, tidak seharusnya mobil seperti ini ditahan pihak Bea cukai. Biar saja tidak akan kami bayar, karena kami juga sudah mengeluarkan banyak uang untuk mengikuti lomba itu," katanya.
Sejauh ini, mobil ITS sudah tertahan selama hampir 2,5 bulan, karena tim Sapu Angin 4 sendiri sudah datang pada 14 Juli 2011 setelah mengikuti lomba pada 6-9 Juli 2011.
Ia mengaku pengiriman mobil diurus oleh biro jasa, namun pihak Bea Cukai akhirnya menahan dengan alasan pihak importir bermasalah, karena pihak Bea Cukai minta bukti surat dari Kementerian Perdagangan bila bukan barang komersil.
"Itu sudah kejadian yang kedua kalinya, karena itu kami berharap Kemendiknas bisa memberikan rekomendasi agar mobil milik ITS itu bisa keluar dari Bea Cukai tanpa biaya apapun," kata mantan Ketua Jurusan Teknik Mesin ITS itu.
Senada dengan itu, Ketua Tim "Sapu Angin" ITS, Eko Hardianto, meminta Bea Cukai (BC) untuk mau bekerja sama untuk tidak menahan juara mobil hemat se-Asia itu.
"Itu (mobil Sapu Angin) bukan mobil komersil, tapi mobil yang justru membawa nama bangsa dalam kompetisi mobil hemat se-Asia di Malaysia pada 6-9 Juli lalu," katanya.
Tahun lalu, mobil "Sapu Angin 2" yang menjadi juara mobil hemat se-Asia juga ditahan di pelabuhan oleh pihak Bea Cukai selama satu bulan.
"Pihak Bea Cukai meminta tebusan Rp40 juta, padahal mobil itu bukan komersil. Kami sendiri mengeluarkan dana Rp100 juta untuk biaya kirim dan pulang mobil kami," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta Bea Cukai mendukung prestasi mereka, sebab mereka juga sudah menghabiskan biaya besar, yakni biaya pembuatan Rp180 juta untuk tiga mobil dan biaya akomodasi/konsumsi Rp100 juta, serta biaya kirim/pulang mobil Rp100 juta.
"Masak, kami harus membayar lagi, padahal kami tidak punya biaya itu. Kami memang mendapatkan hadiah uang, tapi hadiah yang kami terima hanya sekitar Rp18 juta, tentu sangat kurang untuk bea masuk," katanya.
Mobil "Sapu Angin 4" menjadi juara setelah mengumpulkan nilai efisiensi 150 kmpl (kilometer per liter) dalam ajang "Shell Eco-Marathon" (SEM) Asia di kelas "Urban Concept Internal Combustion" dan kelas "Alternative Diesel Fuel."
Pada kelas bahan bakar itu, Sapu Angin 4 menggunakan bahan bakar FAME (Fatty Acid Methyl Ester) alias biodiesel (ramah lingkungan).
Untuk kategori yang sama, tim ITS melalui mobil "Sapu Angin 3" juga meraih posisi ketiga dengan nilai efisiensi 113 kmpl, sedangkan posisi kedua diraih ITB dengan 117 kmpl atau hanya selisih 5 kmpl dengan Sapu Angin 3 dari ITS.
Pada kategori itu (urban concept dan alternative diesel fuel), tim ITS menjadi juara bertahan, karena tahun lalu menempatkan Sapu Angin 2 sebagai mobil paling irit (hemat).
Tahun 2011, ITS menurunkan tiga mobil yakni Sapu Angin 3, 4, dan 5. Sapu Angin 3 bermesin diesel 200 cc, Sapu Angin 4 bermesin 100 cc, dan Sapu Angin 5 yang semuanya bermesin 90 cc empat langkah. Mesin Sapu Angin itu buatan sendiri arek-arek ITS dengan nama Paijo-Experiment (PEX) 90 dan menggunakan sistem kontrol buatan sendiri bernama IQUTECH-E alias "iki utekke" (ini otaknya).
</div>