kerashati
27th May 2012, 04:14 PM
dari beberapa buku yang ane baca, ternyata dalam beberapa homoseksualitas dan transgenderisme sudah menjadi bagian dari kebudayaan indonesia
check this out gan:
Warok dan Gemblak
pernah mendengar tradisi warok dan gemblak di kota ponorogo jawa timur? seorang sakti bergelar warok mempertahankan kesaktiannya dengan Cara menjauhi hubungan seks bersama istri dan sebagai penggantinya mereka meminang laki2 untuk menyalurkan hasrat biologisnya sebagai makhluk berseksual .biasanya ada upacara khusus dalam prosesi peminangan ini dan disediakan harta berupa hewan ternak ,tanah dll,sbgai mas kimpoinya..bagi orang tua menyerahkan anaknya sbgai gemblak adalah keberuntungan dan andil dalam meningkatkan status sosialnya dmata masyarakat sekitar, bagi lelaki yg digemblak'kan mereka mendapatkan kedudukan lebih tinggi dari istri sang warok itu sendiri, dalam setiap pertemuan acara adat kedaerahan ,sang warok lebih percaya diri jika mengajak si gemblak untuk menemaninya,.karena keberadaan gemblak juga menjadi prestise tersendiri untuk meningkatkan martabat dan kelas sang warok diantara warok2 lainnya. makanya para warok tidak segan segan adu kesaktian kalau ada org yg mengusik gemblaknya karena ini sama halnya dg menginjak harga diri dan pelecehan atas kehormatan gelar warok mereka . tapi seiring dg masuknya budaya agamis, tradisi ini lambat laun bergeser nilainya dan sebagian masyarakat merubah pandangannya bahkan menentang kebudayaan gemblak warok sbgai budaya yg sepantasnya dihilangkan .tapi saya yakin tradisi ini ( gemblak warok) akan terus hidup sepanjang masyarakat masi mau mengakui dan melestarikan kesenian tradisional reog ponorogo ini sebagai karakteristik daerahnya di negeri yg sudah bnyak kecolongan seni seni budaya asli leluhur bangsa..bukankah bangsa yg bsar adalah bangsa yg mencintai sejarah dan budaya bangsanya sendiri?
[SIZE=5]Bissu
Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter|#29| November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu. Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.
Kehadiran dan Peranannya
Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.
Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini �menumpang� kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.
Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure� La Galigo. Apabila sure� ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure� itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkimpoian ( indo� botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.
Sakti?
Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus �perahu cinta� bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa
Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut.
Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri� merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi.
ynag mau nambahin, atau coment monggo silahkan gan
yang mau :rate5 juga monggo....
sukur-sukur klo ada yang mau ngasih :melonndan:
tengkyuu gan
</div>
check this out gan:
Warok dan Gemblak
pernah mendengar tradisi warok dan gemblak di kota ponorogo jawa timur? seorang sakti bergelar warok mempertahankan kesaktiannya dengan Cara menjauhi hubungan seks bersama istri dan sebagai penggantinya mereka meminang laki2 untuk menyalurkan hasrat biologisnya sebagai makhluk berseksual .biasanya ada upacara khusus dalam prosesi peminangan ini dan disediakan harta berupa hewan ternak ,tanah dll,sbgai mas kimpoinya..bagi orang tua menyerahkan anaknya sbgai gemblak adalah keberuntungan dan andil dalam meningkatkan status sosialnya dmata masyarakat sekitar, bagi lelaki yg digemblak'kan mereka mendapatkan kedudukan lebih tinggi dari istri sang warok itu sendiri, dalam setiap pertemuan acara adat kedaerahan ,sang warok lebih percaya diri jika mengajak si gemblak untuk menemaninya,.karena keberadaan gemblak juga menjadi prestise tersendiri untuk meningkatkan martabat dan kelas sang warok diantara warok2 lainnya. makanya para warok tidak segan segan adu kesaktian kalau ada org yg mengusik gemblaknya karena ini sama halnya dg menginjak harga diri dan pelecehan atas kehormatan gelar warok mereka . tapi seiring dg masuknya budaya agamis, tradisi ini lambat laun bergeser nilainya dan sebagian masyarakat merubah pandangannya bahkan menentang kebudayaan gemblak warok sbgai budaya yg sepantasnya dihilangkan .tapi saya yakin tradisi ini ( gemblak warok) akan terus hidup sepanjang masyarakat masi mau mengakui dan melestarikan kesenian tradisional reog ponorogo ini sebagai karakteristik daerahnya di negeri yg sudah bnyak kecolongan seni seni budaya asli leluhur bangsa..bukankah bangsa yg bsar adalah bangsa yg mencintai sejarah dan budaya bangsanya sendiri?
[SIZE=5]Bissu
Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, IIASNewsletter|#29| November 2002 27 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu. Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.
Kehadiran dan Peranannya
Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.
Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya. Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia. Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini �menumpang� kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.
Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure� La Galigo. Apabila sure� ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure� itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkimpoian ( indo� botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.
Sakti?
Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus �perahu cinta� bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa
Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan Soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut.
Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri� merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi.
ynag mau nambahin, atau coment monggo silahkan gan
yang mau :rate5 juga monggo....
sukur-sukur klo ada yang mau ngasih :melonndan:
tengkyuu gan
</div>