Log in

View Full Version : Haruskah RESTU Orang Tua diperlukan??


sambelkecap
27th May 2012, 04:12 PM
http://blog.jagowisata.com/filez/2011/10/restu.jpg



25 tahun yang lalu,



Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.



Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya



kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali



hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami



selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan



istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku



masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau



hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat



abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana,



ingin hidup bahagia.





22 tahun yang lalu,



pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya



makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku



sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia



Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan



sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia



tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena



ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk



kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa



terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania



tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak



untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya



yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.





19 tahun yang lalu,



Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang



berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja



ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak



�Horeee, Iya bisa terbang�. Begitulah dia memanggil



namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah



seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak



jarang berteriak, �Iya sayaaang,� jika sudah terdengar



suara �Prang�. Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas



bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin



rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempat



tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya



terpental. Dan dia cuma bilang �Kenapa semua kaca di



rumah ini selalu pecah, Ma?�





18 tahun yang lalu,



Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih



awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu.



Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania



tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy



apalagi jadi pemain bola seperti yang sering



diucapkannya. �Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi



pemain bola!� tapi aku tidak suka dia menangis terus



minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling



tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan



seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan



waktu kutunjukkan bola itu. �Horee, Iya jadi pemain



bola.�





17 Tahun yang lalu



Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di



jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut,



Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu



bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan



bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari



sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah.



Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang



jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah



jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku



mengalahkan kehati-hatianku dan �Iyaaaa�. Sebuah truk



pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya



berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua



kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.



Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki,



bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar



barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat



Kania menangis sedih, bibir cuma berkata �Coba kalau



kamu tak belikan ia bola!�





15 tahun yang lalu,



Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang



pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan



menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh



dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa



membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit



kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa



dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa



waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin



penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan



Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap



pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi



ke Malaysia.





13 tahun yang lalu,



Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku



sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu



tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang



untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia



loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala



keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan



sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan



yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,



menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh



remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi



keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi



aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila



hidup tegar.





10 tahun yang lalu,



Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.



Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu



sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan



hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.



�Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.� Mungkin itu



kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang



sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga.



�Sabar ya, Nak!� hiburku.



�Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!�



pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan



bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam



hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari



kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu



sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia



tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena



sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.





7 tahun yang lalu,



Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania,



istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah



bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin



bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan



rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut.



Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke



Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang



cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena



alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku



mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia



berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung



untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku



kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti



waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk



menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku



baik-baik saja.





4 tahun lalu,



Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir



tiga tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang



pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak



suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya



tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka



perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang



keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena



akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini



dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari



suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu



menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku



jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang



baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu



memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan



Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat



hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih



pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.





3 tahun 6 bulan yang lalu,



Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian



pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan



dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh



suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku



menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut



tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus



membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia



untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun



aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga



tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa



memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia



memang bersalah.





Bersambung ke bawah...(POST 5)






</div>