kerashati
27th May 2012, 04:10 PM
maap klo repsol gan, ane cuma mau ngingetin, soalnya serial teletubbies ada lg di televisi.....
Seorang Pendeta terkemuka di Amerika
menguraikan misi homoseks di balik tayangan
lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura
melarang penayangannya. Indonesia?
"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu
dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan
dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau
Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV
sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.
Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari
di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-
anak. Television in the tummy of the babies
(disingkat Teletubbies, televisi di perut para
bocah) adalah film yang menampilkan empat
tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama
Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-
Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat
sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa
televisi memang sudah menjadi bagian tak
terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa
lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut
Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi,
kelinci, pancuran air, yang selalu disinari
matahari berwajah bayi imut-imut.
Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport
yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995
itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-
perniknya juga membanjir di toko mainan, toko
buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu
merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka,
VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat
nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris
peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit
majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu
bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan
saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu
akrab.
Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali
anak-anak pada umumnya, yakni jenis
kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya
pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi
Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya,
mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana
dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi
menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah,"
alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-
Winki-lah, si ungu, yang perempuan.
Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah
sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang
paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang
tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan
bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.
Di Barat identitas Teletubbies memang sempat
menjadi perdebatan heboh. Bermula dari
pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah
tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999)
yang menilai Teletubbies membawa misi
homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky.
Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna
kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena
segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan
gay," kata Falwell.
Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga
menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan
bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet
merah merupakan ikon kaum gay di Inggris.
Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak
jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan
secara samar dengan suara dan pilihan warna:
ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan
kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini
dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas
homoseksual dan biseksual.
Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi
dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun)
lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak
bisa membedakan mana laki-laki mana
perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak
sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-
sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya.
"Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus
untuk berkomunikasi dengan balita guna
memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan
cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa
perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih
kata Falwell.
Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati,
ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi
perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama
dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan
anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang
juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra,
Surabaya.
Hal senada ditulis Berit Kjos di situs
Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari,
anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa
menerima kelainan-kelainan perilaku seksual
seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian
sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak
dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia
mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan
pandangan umum kaum ibu di Inggris yang
menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi
kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.
Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay
segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions
dan koleganya, produser film ini. Juru bicara
untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang
lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet
Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang
dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah
pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice
seperti dikutip Associated Press (1999).
Yang paling keras menentang Falwell tentu saja
kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS,
Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan
Lesbian, dengan nada cemooh menganggap
Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan
Michael Colton di harian New York Observer
menganggap tuduhan itu sebagai hal yang
terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam
The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai
pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk)
yang bodoh.
Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita
cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah
laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia
suka bunga, membawa dompet warna merah,
gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah
kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan
resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara
teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky
Winky adalah male (laki-laki).
Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok
dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya
Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu
mengatur agar yang berebut rok itu memakainya
secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi
'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks
menyimpang.
Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan
adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat
sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim,
pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan
baik baik. Namun efek adegan berpelukan
Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu
dua anak ini sekarang kerap menjumpai
kecenderungan anak-anak di sekolah yang
gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan
kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik
berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi
memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila
perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal
akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan
pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa
pandang bulu."
Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah
anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki
yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh
seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja
kemudian hari memperlakukan dirinya seperti
perempuan atau waria," jelas Elzim.
Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh
Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes
kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan
kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim
Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik
bagi proses pembelajaran kemampuan verbal
anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal
secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.
Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus
melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan
80-an juta poundsterling bagi Ragdoll
Productions dan BBC Worldwide, produsernya.
Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-
anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi
Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.
Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak,
Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-
Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan
karena dianggapberpengaruh buruk terhadap
perkembangan jiwa an
</div>
Seorang Pendeta terkemuka di Amerika
menguraikan misi homoseks di balik tayangan
lucu Teletubbies. Kontroversi meluas. Singapura
melarang penayangannya. Indonesia?
"Suka nonton Teletubbies?" Bila pertanyaan itu
dilontarkan kepada anak-anak, niscaya akan
dijawab 'ya'. "Bagus sih. Lain sama Pokemon atau
Shinchan yang jorok," kata Eki, murid kelas IV
sebuah SD di Rawamangun, Jakarta.
Saat ini, tontonan yang diputar hampir saban hari
di Indosiar itu memang sedang digandrungi anak-
anak. Television in the tummy of the babies
(disingkat Teletubbies, televisi di perut para
bocah) adalah film yang menampilkan empat
tokoh boneka gendut (tubby) dan lucu bernama
Tinky-Winky (berwarna ungu), Dipsy (hijau), Laa-
Laa (kuning), dan Po (merah). Di kepala empat
sekawan itu ada antena, yang menandakan bahwa
televisi memang sudah menjadi bagian tak
terpisahkan bagi anak-anak. Rumahnya berupa
lapangan golf yang hijau dan sejuk, disebut
Teletubbyland. Di situ ada kincir angin, televisi,
kelinci, pancuran air, yang selalu disinari
matahari berwajah bayi imut-imut.
Film rekaan Anne Woods dan Andrew Davenport
yang pertama kali muncul di Inggris tahun 1995
itu tak sekadar nongol di televisi. Pernik-
perniknya juga membanjir di toko mainan, toko
buku, mal, pasar, sampai perempatan lampu
merah. Bentuknya bisa komik, kartu, boneka,
VCD, gantungan kunci, stiker, sikat gigi, tempat
nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris
peralatan sekolah. Bahkan kini telah terbit
majalah Teletubbies. Pendeknya, sang idola itu
bisa menyapa anak-anak di mana saja, kapan
saja. Tak mengherankan bila anak-anak begitu
akrab.
Cuma, ada satu hal yang agaknya sulit dikenali
anak-anak pada umumnya, yakni jenis
kelaminnya. Sebab, kostumnya sama, aktivitasnya
pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia Andi
Permata, murid-murid sebuah TK di Surabaya,
mempunyai jawaban berbeda ketika ditanya mana
dari anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi
menjawab Po. "Sebab Po kan warnanya merah,"
alasannya. Tapi menurut Balivia justru Tinky-
Winki-lah, si ungu, yang perempuan.
Bagi Eki, yang paling membingungkan adalah
sosok Tinky-Winky, anggota Teletubbies yang
paling besar. "Dia itu laki-laki, tapi kadang
tingkahnya kayak cewek. Suka mbawa tas dan
bunga. Kayak orang banci,' ujarnya.
Di Barat identitas Teletubbies memang sempat
menjadi perdebatan heboh. Bermula dari
pendapat Pendeta Jerry Falwell dalam sebuah
tulisan di National Liberty Journal (Februari 1999)
yang menilai Teletubbies membawa misi
homoseksualitas lewat tokoh Tinky-Winky.
Alasannya? "Tinky-Winky berwarna ungu warna
kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena
segitiga terbalik di kepalanya simbol kebanggaan
gay," kata Falwell.
Majalah Time edisi 12 Oktober 1998 juga
menyatakan hal yang sama. Di situ dilaporkan
bahwa Tinky Winky yang membawa tas/dompet
merah merupakan ikon kaum gay di Inggris.
Identitas tokoh-tokoh Teletubbies memang tidak
jelas. Perbedaan gender hanya digambarkan
secara samar dengan suara dan pilihan warna:
ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan
kuning untuk perempuan. Dan di mata Falwell, ini
dianggap sebagai pembenaran terhadap aktivitas
homoseksual dan biseksual.
Kalangan rohaniwan Kristen menilai, indoktrinasi
dini terhadap anak batita (di bawah tiga tahun)
lewat Teletubbies akan menyebabkan anak tak
bisa membedakan mana laki-laki mana
perempuan. Lebih berbahaya lagi kalau anak
sudah dicekoki nilai: boleh saja laki-laki sekali-
sekali menjadi perempuan, dan sebaliknya.
"Diluncurkannya Teletubbies adalah khusus
untuk berkomunikasi dengan balita guna
memasukkan nilai homoseksualitas. Dengan
cerita berbahasa bayi, digambarkan bahwa
perilaku homo dan biseks adalah wajar," masih
kata Falwell.
Menurut psikolog pendidikan Elzim Khosyiyati,
ketidakjelasan identitas ini berbahaya bagi
perkembangan psikis anak-anak. "Itu sama
dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan
anak yang harus jelas dan tegas," ujar Elzim yang
juga aktivis Lembaga Pendidikan Islam Dwi Matra,
Surabaya.
Hal senada ditulis Berit Kjos di situs
Edutainment. Menurutnya, secara tidak disadari,
anak-anak dibentuk Teletubbies untuk bisa
menerima kelainan-kelainan perilaku seksual
seperti biseksual, homoseksual, dan lesbian
sebagai sesuatu yang wajar. Juga, anak-anak
dibentuk untuk menjadikan televisi sebagai dunia
mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan
pandangan umum kaum ibu di Inggris yang
menilai Teletubbies mensosialisasikan televisi
kepada anak-anak dalam usia terlalu dini.
Tuduhan bahwa Teletubbies membawa misi gay
segera ditentang keras oleh Ragdoll Productions
dan koleganya, produser film ini. Juru bicara
untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang
lisensi Teletubbies di AS, berdalih bahwa dompet
Tinky Winky adalah tas ajaib. "Sebenarnya yang
dibawa tak menunjukkan dia gay. Ini adalah
pertunjukan anak-anak, cerita," kata Steve Rice
seperti dikutip Associated Press (1999).
Yang paling keras menentang Falwell tentu saja
kalangan gay. Dalam sebuah wawancara diCBS,
Joan Garry yang mewakili Aliansi Gay dan
Lesbian, dengan nada cemooh menganggap
Falwell sebagai penuduh yang pandir. Sedangkan
Michael Colton di harian New York Observer
menganggap tuduhan itu sebagai hal yang
terlampau aneh dan mengerikan. Stan Yann dalam
The Voice malah balik menuduh Falwell sebagai
pendeta gemuk seperti Teletubby (tubby= gemuk)
yang bodoh.
Namun pendapat Falwell tidak salah bila kita
cermat melihat adegan film Teletubbies. Tingkah
laku si Ungu memang seperti seorang gay. Dia
suka bunga, membawa dompet warna merah,
gerak tariannya dan nada nyanyiannya. Sebuah
kebiasaan orang perempuan. Padahal keterangan
resmi yang dikeluarkan sebuah produsen acara
teve anak-anak PBS kids, jenis kelamin Tinky
Winky adalah male (laki-laki).
Tinky Winky juga tak segan-segan berebut rok
dengan Po. Saat rebutan itu terjadi, 'dewa'-nya
Teletubbies matahari bermuka bayi lucu lalu
mengatur agar yang berebut rok itu memakainya
secara bergantian. Dewa bayi itu seolah menjadi
'tuhan' yang menganjurkan perilaku seks
menyimpang.
Kalangan orang tua juga mesti waspada dengan
adegan 'berpelukan' yang selalu dilakukan empat
sekawan itu di akhir acara. Menurut Elzim,
pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan
baik baik. Namun efek adegan berpelukan
Teletubbies sangat didasari kebudayaan Barat. Ibu
dua anak ini sekarang kerap menjumpai
kecenderungan anak-anak di sekolah yang
gandrung Teletubbies sering melakukan pelukan
kepada kawan perempuan maupun lelaki, baik
berlawanan jenis maupun tidak. "Di satu sisi
memang bisa mengakrabkan, tapi di sisi lain bila
perilaku ini terus-menerus dilakukan bisa fatal
akibatnya. Anak-anak akan terbiasa melakukan
pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa
pandang bulu."
Dampak lebih jauh, bila yang gandrung adalah
anak laki-laki, akan berbahaya. "Anak laki-laki
yang suka boneka Teletubbies akan terpengaruh
seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja
kemudian hari memperlakukan dirinya seperti
perempuan atau waria," jelas Elzim.
Tidak hanya ajaran gay. Cara bicara tokoh
Teletubbies yang cedal pun banyak diprotes
kalangan ibu-ibu di Inggris. Misalnya pelafalan
kata 'Halo' menjadi 'Ee-o'. Menurut Elzim
Khosyiyati, bahasa cadel semacam itu tidak baik
bagi proses pembelajaran kemampuan verbal
anak. "Kita seharusnya mengajarkan pesan verbal
secara tegas dan jelas kepada anak," ujarnya.
Meski penuh kontroversi, Teletubbies terus
melaju tinggi. Ia telah mendatangkan keuntungan
80-an juta poundsterling bagi Ragdoll
Productions dan BBC Worldwide, produsernya.
Kini 45 negara di dunia menyiarkan serial anak-
anak yang ternyata mengusung misi kaum Nabi
Luth ini, dan menjadi terpopuler di dunia.
Bagi negeri yang peduli terhadap anak-anak,
Teletubbies dilarang. Di Singapura, serial Tinky-
Winky dan kawan-kawan ini tidak ditayangkan
karena dianggapberpengaruh buruk terhadap
perkembangan jiwa an
</div>