PDA

View Full Version : Masih Sanggupkah Bumi menampung ???


minumwine
27th May 2012, 04:07 PM
[/quote]





Akhir Oktober: 1 Bumi, 7 Miliar Manusia (Masih Sanggupkah Bumi Menampung?)







[/spoiler][spoiler=open this] for :




http://www.tabloidbintang.com/images/stories/img/Gaya_Hidup/Psikologi/world-population-day.jpg









[quote]





BERAPA jumlah manusia yang sanggup ditampung planet bumi?

Pertanyaan itu sudah ditanyakan orang berabad lalu. Pada abad ke-17 di Delft, Belanda, Antoni van Leeuwenhoek, seorang saudagar kain yang juga ilmuwan mikrobilogi pertama, terobsesi dengan pertanyaan itu. Ia membuat hitung-hitungan sendiri berapa kira-kira jumlah maksimal manusia di bumi.



Leeuwenhoek memulai dengan menaksir bahwa satu juta orang tinggal di Belanda di sekitar akhir abad ke-17 itu. Dengan peta dan sedikit ilmu geometri, dia mennghitung bahwa daratan yang berpenghuni di bumi luasnya 13.385 kali luas Belanda. Maka, ia menyimpulkan bumi tak mungkin dihuni lebih dari 13.385 miliar orang.

Tentu, hitung-hitungan Leeuwenhoek hanya perkiraan serta dilakukan atas hitung-hitungan kasar dan sederhana. Di masanya, hanya ada sekitar setengah miliar manusia di bumi. Satu setengah abad kemudian, penduduk dunia bertambah dua kali lipat menjadi lebih dari satu miliar jiwa. Satu abad setelah itu, sekitar 1930, jumlah manusia berlipat lagi jadi dua miliar. Sejak itu pertambahan jumlah penduduk mencengangkan. Pada 1987, jumlahnya naik jadi 5 miliar. Dua belas tahun kemudian, pada 1999, naik lagi jadi 6 miliar. Pada Februari 2006, bertambah setengah miliar jadi 6,5 miliar jiwa.

Tanggal 31 Oktober ini bakal diperingati sebagai 7 Billion Day�Hari 7 Miliar saat bumi dihuni 7 miliar manusia.



Masihkah bumi sanggup menampung 7 miliar manusia?



Jika mengacu hitung-hitungan Leeuwenhoek mestinya sih masih. Tapi, sesungguhnya, bukan itu persoalannya. Mari tengok dulu bagaimana kita, manusia, bisa sebanyak sekarang.

Sejak peristiwa Black Death (kematian hitam) yang berlangsung pada pertengahan hingga akhir abad ke-14, yang membunuh sepertiga hingga dua pertiga penduduk Eropa, penduduk dunia belum lagi berkurang. Malah bertambah terus. Prosesnya dimulai dari kawasan yang kini kita sebut negara maju, yang saat itu tengah berkembang.

Penyebaran hasil bumi dari benua Amerika, sejalan dengan ditemukannya pupuk kimia, mengakhiri kelaparan di Eropa. Pada abad ke-19, kota-kota yang tadinya tempat bersarang memiliki saluran pembuangan limbah manusia dan sumber air minum yang bersih. Hal itu mengurangi penyebaran kolera dan tifus.

Kemudian, penemuan di bidang kedokteran juga berperan penting mengurangi tingkat kematian dan dengan demikian menggandakan harapan hidup di negara-negara maju dari 35 tahun jadi 77 tahun saat ini. Selepas Perang Dunia II, negara-negara berkembang mendapat banyak bantuan kesehatan dari lembaga dunia seperti PBB. Setelah Perang Dunia II, kita juga tak dilanda perang dahsyat yang mengakibatkan jumlah penduduk berkurang. Maka, saat hidup manusia makin baik, jumlah manusia otomatis semakin banyak.



Di India, harapan hidup naik dari 38 tahun pada 1952 jadi 64 saat ini; di China, dari 41 jadi 73; di Indonesia, dari 40 tahun pada 1960 jadi 71 saat ini. Jutaan orang di negara berkembang yang semula cenderung meninggal saat masih anak-anak sekarang bisa bertahan hidup sampai bisa melahirkan anak sendiri dan punya cucu. Pendek kata, karena banyak sekali orang selamat dari kematian, jumlah penduduk terus naik.



***



Pada 1798, pendeta Inggris yang juga ahli ekonomi Thomas Malthus mengemukakan hukum populasinya: populasi tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan pasokan makanan, sampai perang, penyakit, dan wabah kelaparan tiba untuk mengurangi jumlah manusia.

Pendukung Malthus paling terkenal, Paul Ehrlich, ahli biologi dari Stanford, menerbitkan buku The Population Bomb pada 1968 yang memperkirakan ledakan jumlah penduduk akan membuat �ratusan juta orang akan mati kelaparan.�

Nyatanya, baik ramalan Malthus atau kekhawatiran Ehrlich tidak terjadi. Selama bertahun-tahun, kita melihat bencana kelaparan terjadi di Ethiopia, Somalia, atau Korea Utara. Tapi penyebabnya bukan karena ledakan penduduk, melainkan perang berkepanjangan, situasi politik yang kacau, atau negara yang salah urus. Saat ini, ada semiliar orang�ya, 1 dari 7 miliar�yang menderita kelaparan, bukan karena planet ini tak sanggup menyediakan makanan. Bahkan, setengah makanan yang dihasilkan konon berakhir sia-sia, membusuk di ladang, gudang-gudang, pasar, atau di kulkas.

Meski begitu, bukan berarti kita harus mengabaikan ramalan Malthus atau Ehrlich. Ancaman sesungguhnya bagi kelangsungan hidup manusia di bumi bukanlah apa bumi cukup dihuni sekian miliar orang atau tidak, tapi mampukah bumi menyediakan cukup sumber daya bagi seluruh manusia yang ada.



Dari sini, selain khawatir akan ledakan penduduk, kita seharusnya lebih khawatir lagi pada ketersediaan bahan pangan. Global warming alias pemanasan global adalah ancaman nyata yang sewaktu-waktu bisa mengurangi jumlah penduduk karena bencana yang diakibatkannya. Bencana kelaparan di masa datang, bisa terjadi karena tidak cukup makanan untuk dibagi pada jumlah manusia yang ada akibat kekeringan atau anomali cuaca. Harga pangan murah telah berakhir. Dalam 5 tahun terakhir harga pangan dan energi meningkat. Kelak, orang miskin makin tidak sanggup memenuhi kebutuhan gizinya.



***

Menurut perkiraan, ledakan penduduk belum usai�walau kini cenderung melambat. Saat ini dicatat Roger Martin, pemimpin LSM PopulationMatters di koran Inggris Guardian, kita mendekati angka kelahiran 10 ribu bayi setiap jam. Pada 2045 jumlah total manusia mencapai 9 miliar.

Yang kita belum tahu bagaimana kondisi bumi akibat global warming di tahun itu. Apa kerusakan lingkungan membuat bumi tak lagi sanggup menghidupi manusia atau kita sudah berhasil memecahkan masalah global warming. Entah.

Pilihan jawaban yang ada, tergantung tindakan kita.







</div>