Log in

View Full Version : Tips dari Chairman Trans TV dan Bank Mega


warungkopi
27th May 2012, 04:05 PM
[/quote]





�Kelemahan orang Indonesia itu ada dua- Kegedean gengsi dan ga bisa dagang-�





Kata kata diatas bukan diucapkan oleh sembarang orang. Kata kata diatas berasal langsung dari mulut seorang Chairul Tanjung, Chairman dari Multinational Corporation- Para Group- yang membawahi Trans 7, Trans TV, Bank Mega, Coffee Beans, dsb. Dengan penghasilan rata rata lebih dari Rp 10M ( 1,2 Juta USD) perbulan, keliatanya apapun wejangan dari beliau, seharusnya merasuk ke lubuk hati lebih dari sekedar wacana. Itu adalah semacam nasihat bijak, bisa dibilang begitu.




[/spoiler] for Chairul Tanjung:




http://lh6.ggpht.com/_ZYbRuXU_2bw/S91wGmHC2rI/AAAAAAAAAhc/24Y0Kb4VIlQ/chairul-tanjung.jpg









Silakan baca kembali kata kata Chairul Tanjung diatas��



Emang ironis, bangsa sebesar Indonesia dengan kekayaan melimpah ruah, ternyata dihuni oleh mayoritas manusia sinetron dengan slogan, kaya miskin yang penting gaya. Kekayaan kita dikuras asing, Minyak kita dikuras asing, Tambang kita diambil alih Singapura, semata mata karena mayoritas dari kita malas berpendidikan.



Kenapa aku bilang malas berpendidikan?



Jangan salah artikan dengan sempit disini. Berpendidikan menurut definisi luas pribadiku, adalah kemauan untuk selalu secara konstan belajar dan memperbaharui kemampuan yang telah dipunyai. Bisa lewat Sekolah, tempat kerja, ato media yang lain. Ironis emang, mayoritas dari kita tumbuh dengan kebanggaan dan perspektif �mendapat kerjaan� daripada �menciptakan kerjaan�. Dimana dewa dewa simbol yg kita bangga banggakan dan agung agungkan adalah gelar sarjana, gaji, dan tempat kerja, pencapaian pribadi dan sejauh mana pelajaran kita membantu lingkungan ke arah yang lebih baik. Makanya ga heran ketika kita lebih bangga disebut manajer Indosat daripada Pedagang batik. Lebih senang kerja diruang ber AC gedung pencakar langit Jakarta daripada membuka restoran makanan murah dan sehat untuk komunitas kita. Alasan pembenaran adalah gaji, benarkah? Faktanya tidak. Gaji seorang manajer kantor tempat aku berada sekarang ini rata sata 6-8 juta perbulan ( kotor, belum termasuk pajak penghasilan dsb). Mungkin juga kurang, tergantung di divisi mana dia berada. Sementara penghasilan pedagang Warteg sebelah kantor itu 3 juta Rupiah bersih, PERHARI.



Ironisnya�.



Menjadi Manajer dibutuhkan waktu yg lumayan lama buat promosi, plus sikut2an biasanya kecuali kalo yg bersangkutan benar benar jenius. Plus kualifikasi pendidikan tinggi. Sementara menjadi pedagang Warteg Cuma diperlukan keberanian, bakul nasi, kemauan buat bangun pagi buat belanja n bikin makanan. Klasifikasi? Ga perlu tinggi tinggi, SD pun ok. Mungkin menjadi Manajer bisa membuat kita berkantor di tempat AC, disegani bawahan bawahan, keliatan keren di mata mertua, other than that? I guess thats all. Sementara Pedagang Warteg, harus rela panas2an, menunggu berjam jam di warungnya sampai semua pembeli pada pulang kerumah. Cuma dengan pendapatan 3 Juta sehari, bersih, dia paling bisa kredit Honda City lah, paling Cuma 30 jutaan perbulan dan bermewah mewah meski kalo dia mau. Meski keliatan kurang keren dimata mertua. Sebagai catatan aja, penjual pisang goreng Pontianak dikawasan Pluit, Jakarta Barat, sekarang sudah meluluskan 3 anaknya kuliah di Australia. Sementara ex penjual koran dan wartawan di Surabaya, Dahlan Iskan, malahan sudah menetap di Tiongkok dengan kepemilikan sebuah menara tower di Surabaya- Graha Pena-.




[spoiler=open this] for Dahlan Iskan:




http://4.bp.blogspot.com/-731bSed-pv0/Th-2dP1mP1I/AAAAAAAAAOU/nAKgrCtmFmo/s320/Dahlan-Iskan1.jpg









Ada perbedaan karakter mencolok diantara dua profesi diatas��



Yg satu berani malu meski hasil suksesnya sepadan, malahan lebih dari cukup. Yang lainya mending hasil ga sepadan tapi gengsi dan status sosial tetap kuat. Yang satu tahu apa yg dimaui orang lain- berdagang-, lainnya mengikuti kemauannya sendiri untuk meraih posisi pribadi tertingginya. Yang satu berani panas2an, kotor2an demi kesuksesan. Lainnya pengen biasa biasa aja, yg penting enak dulu susah belakangan.



Inilah yang mungkin disorot oleh Pak Chairul melalui statementnya diatas. Kemerosotan bangsa kita ini kemungkinan juga disebabkan mayoritas dari kita yang ogah malu dan belajar berdagang, malah lebih memilih jadi orang gajian meski hidup pas pasan. Padahal Indonesia ini pasar yang sangat luar biasa. Minimal 20 Juta penduduk Indonesia adalah pengguna aktif telpon selular. Minimal 60 juta adalah pengkonsumsi nasi putih dan padi, dan minimal ratusan juta orang kali, yang memakai kendaraan dan mengkonsumsi BBM. Sementara rata rata 30 Juta manusia lulus perguruan tinggi tiap tahunnya, lapangan kerjaan jadi rebutan dikarenakan pencipta kerjaan jauh lebih sedikit dari yg mencari kerjaan. Apalagi yg lebih terbatas, lowongan bagi para lapangan kerja yang bergaji diatas makmur. Ketika itulah pemerintah disalahkan karena tidak mampu menggenjot ekonomi. Karena mayoritas dari pencari kerjaan pada hakikatnya, pingin mencari tempat berlabuh lagi untuk menyandarkan hidup yg memungkinkan setelah universitas. Tanpa menyadari negara tempat mereka berada, adalah potensi pasar raksasa yang bisa diolah bila jiwa wirausaha kita dibangkitkan.



Mindset juga berpengaruh disini�.



Dari kecil kita sudah terbiasa, dari SD sampe SMP, diarahkan orang tua masuk sekolah unggulan. Jadi pilihan pribadi pun biasanya susah untuk tersampaikan. Cita cita juga udah diarahkan, menjadi dokter atau insinyur adalah hal lumrah. Ketika seorang anak bercita cita jadi seorang musisi, orangtua biasanya melarang dengan tegas dan melabel anak tsb sebagai pemberontak. Ketika SMA kelas 3, kita diarahkan agar mengambil Bimbingan belajar agar mendapat NEM bagus biar lulus memuaskan. Setelah lulus SMA, kita diarahkan lagi agar masuk UMPTN, masuk universitas Negeri dengan jurusan yg diarahkan juga agar kemudian lulus dan bisa memakai ijazah buat mencari kerjaan.



Ada masalah disini, dunia ternyata tidak mengarahkan seseorang buat melakukan apapun��



Alhasil, ketika seseorang sudah mulai masuk dunia kerja, mereka baru menyadari, ternyata semua bayangan mereka tidak sesuai yg diharapkan. Cuma para kaum proaktif yang gemar berinisiatif yang bisa masuk ke posisi sukses yang seperti orang orang baru ini harapkan. Tidak ada aturan dalam dunia kerja, hitam putih menjadi relatif. Perusahaan tidak peduli sama sekali trhadap kemauan karyawannya. Gaji yg mepet yg terus dicekik oleh pajak dan kebutuhan pokok membuat lingkup gerak kita terbatas. Pada akhirnya, kebanyakan orang baru kerja ini putus asa, mereka pun berganti ganti kerjaan yang ujung ujungnya akhirnya pasrah kalo �rejeki udah ada yg ngatur�. Parahnya lagi, mindset ini akhirnya tertularkan ke anak2 mereka. Mereka menuntut anak2 mereka menjadi lebih sukses dari mereka agar kelak hidupnya lebih baik dari mereka. Siklus mengarahkan pun kembali ke titiknya semula.



Inilah mindset yang SALAH yang sudah menjadi spiral dalam salah satu sebab kemerosotan bangsa kita�..



Dalam dunia usaha, kita semua dituntut oleh MANDIRI. Tidak tergantung oleh siapapun, tidak digaji siapapun, Hidup dari diri sendiri. Pengusaha mempunyai mindset, mengikuti selera pasar, menyenangkan orang lain, mempermudah hidup. Pada akhirnya mereka bisa memanfaatkan fakta, bahwa 2,9 Juta orang disekitar mereka adalah potensi pasar yang bisa mereka manfaatkan. Misal, Pengusaha Pecel lele buka warung Pecel Lele. Target mereka mungkin kecil, menjaring 100 pelanggan sehari, mungkin. Emang sepele, tapi kalo satu pelanggan bisa ngasih keuntungan 10ribu rupiah, seratus pelanggan sama dengan satu juta rupiah. Pada akhirnya keuntungan mereka terletk pada keuletan mereka menjaring sebanyak banyaknya pelanggan ke dagangan mereka. Anggap saja satu pedagang Pecel lele bisa mandiri dengan keuntngan 1juta rupiah sehari, Bagaimana bila kita ternyata mempunyai 10 ribu pedagang pecel lele? Apa bukan berarti 10 ribu manusia mandiri?. Anggap juga 1 pedagang pecel lele memperkerjakan 4 orang. 10rb pedagang = 40 ribu lapangan kerjaan. Dalam kalkulasi matematis, kita membutuhkan setidaknya 1 juta orang (dari 200 juta rakyat indonesia) yang bermindset seperti pedagang pecel lele untuk menciptakan kira kira 400 juta lapangan kerjaan lainnya dan mengatasi angka pengangguran. Faktanya, tidak sampai 100rb orang yg berpikiran seperti ini. Mayoritas 199 juta lainnya lebih memilih mencari kerjaan dengan apapun pertimbangan mereka. Ketika pertimbangan dagang dimasukkan dalam wacana mereka, alasan berdalih pun beragam, dari males, takut gagal, sampe takut diremehin tetangga. Mending jadi karyawan kerja di Bank Mega gaji pas pasan daripada dicibir tetangga ato mertua �Cuma pedagang pecel lele�. Mending gengsi meski kere daripada berani malu tapi sukses dan berguna bagi orang lain.



Keliatanya Filosofi inilah yang berusaha disampaikan Pak Chairul dalam statementnya diatas�.



Suatu ironi satir yang masi menjadi penyakit bangsa kita di abad 21 sekarang.





Gimana menurut agan-agan sekalian???










Mohon di-:rate5 gan , biar ga tenggelam






[quote]





N jangan lupa :melonndan: nya gan :D







</div>