tahugejrot
27th May 2012, 03:40 PM
[/quote]
Waspada ! Jakarta Akan Dilanda Cuaca Ekstrem � Hujan lebat disertai angin kencang diperkirakan akan melanda Jakarta pada Januari hingga Februari ini. Memasuki Maret hingga April musim hujan akan beralih ke cuaca ektrem.
Kepala Sub Bidang Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kukuh Ribudiyanto mengimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada menghadapi datangnya cuaca ekstrem.
�Cuaca ekstrem itu kondisi cuaca yang tidak lazim atau di atas normal yang bisa merugikan kehidupan manusia baik materi ataupun nyawa,� kata Kukuh.
Kata dia, banyak tanda terjadinya cuaca ekstrem. Diantaranya, curah hujan bisa di atas 50 milimeter perhari atau di atas 20 milimeter perjam. Suhu udara di atas 3 derajat dari normal maksimal.
Angin bisa bertiup dengan kecepatan di atas 25 knot atau setara dengan 45 kilometer perjam dan terjadinya puting beliung. Kata dia, masyarakat sering salah mengartikan angin puting beliung.
�Jadi jangan dibilang angin kencang itu puting beliung, yang dimaksud puting beliung itu angin yang berputar-putar,� tuturnya.
Kata dia, cuaca ekstrem selalu ada pada masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Kondisi atmosfir pada saat masa transisi akan berubah. Jika pada musim hujan angin baratan yang menguat sedangkan musim kemarau angin timuran yang menguat. Cuaca ekstrem hilang akan datang musim kemarau.
�Jakarta, Bogor, Cibinong dan Depok selalu ada potensi cuaca ekstrem,� pungkasnya.
UPDATE:
[quote]
Ini Dia, Faktor Penyebab Cuaca Ekstrem di Indonesia
Pemerhati sekaligus pakar lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, cuaca ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air adalah dampak dari terhambatnya siklus hidrologi.
"Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini terasa kian tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi ekstrem di berbagai wilayah Tanah Air," kata Ariful di Pekanbaru, Jumat (6/1).
Intinya, menurut Ariful, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak memiliki pola yang beraturan atau tidak terwujud seperti layaknya. "Hal ini bisa jadi karena alam di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah," ujarnya.
Iklim mikro tersebut, kata dia, kemudian menyebar di berbagai kawasan, bahkan sudah membentuk suatu tatanan lingkungan yang 'amburadul' atau serba tidak menentu. "Nah, hal ini juga diakibatkan ekosistem yang ada diberbagai wilayah Tanah Air tidak bisa memberi jaminan tatanan hidrologi yang kondusif atau tidak reguler lagi," tuturnya.
Bisa jadi pula, kondisi ini disebabkan berbagai hal, yang pertama hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah tidak memadai lagi, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kian kritis. Kemudian, kondisi iklim yang terjadi saat ini mengalami kecenderungan monokultur atau tidak lagi bersahabat dengan lingkungan dan penghuninya.
"Sebagai akibatnya, tatanan terhadap hidrologi itu sudah tidak lagi memiliki sistem pusaran yang baik," katanya. Ariful mencontohkan Hutan Tanam Insdustri (HTI), misalnya perluasan kebun sawit yang 'membabi buta', kesumuanya 'merampok' daerah tangkapan air seperti aliran sungai dan anak sungai yang pada akhirnya menyebabkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Konsekuensi logisnya, ucap dia, perubahan iklim mendera lingkungan, kemudian ditambah lagi sikap pemerintah dalam menangani masalah lingkungan yang tidak realistis. "Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau beralih fungsi menjadi lahan perkebunan," tuturnya.
Namun upaya tersebut menurut Ariful tetap harus diawali dengan pemetaan daerah tangkapan air, baik itu skala kecil maupun skala besar. "Kalau itu tidak dilakukan secepatnya, atau tidak dimulai dengan pembibitan, penanaman dan penataan, maka akan semakin sulit mengatasi perubahan iklim yang sangat drastis," demikian Ariful.
Sumber (http://id.berita.yahoo.com/ini-dia-faktor-penyebab-cuaca-ekstrem-di-indonesia-021815629.html)
</div>
Waspada ! Jakarta Akan Dilanda Cuaca Ekstrem � Hujan lebat disertai angin kencang diperkirakan akan melanda Jakarta pada Januari hingga Februari ini. Memasuki Maret hingga April musim hujan akan beralih ke cuaca ektrem.
Kepala Sub Bidang Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kukuh Ribudiyanto mengimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada menghadapi datangnya cuaca ekstrem.
�Cuaca ekstrem itu kondisi cuaca yang tidak lazim atau di atas normal yang bisa merugikan kehidupan manusia baik materi ataupun nyawa,� kata Kukuh.
Kata dia, banyak tanda terjadinya cuaca ekstrem. Diantaranya, curah hujan bisa di atas 50 milimeter perhari atau di atas 20 milimeter perjam. Suhu udara di atas 3 derajat dari normal maksimal.
Angin bisa bertiup dengan kecepatan di atas 25 knot atau setara dengan 45 kilometer perjam dan terjadinya puting beliung. Kata dia, masyarakat sering salah mengartikan angin puting beliung.
�Jadi jangan dibilang angin kencang itu puting beliung, yang dimaksud puting beliung itu angin yang berputar-putar,� tuturnya.
Kata dia, cuaca ekstrem selalu ada pada masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Kondisi atmosfir pada saat masa transisi akan berubah. Jika pada musim hujan angin baratan yang menguat sedangkan musim kemarau angin timuran yang menguat. Cuaca ekstrem hilang akan datang musim kemarau.
�Jakarta, Bogor, Cibinong dan Depok selalu ada potensi cuaca ekstrem,� pungkasnya.
UPDATE:
[quote]
Ini Dia, Faktor Penyebab Cuaca Ekstrem di Indonesia
Pemerhati sekaligus pakar lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, cuaca ekstrem yang melanda sebagian besar wilayah Tanah Air adalah dampak dari terhambatnya siklus hidrologi.
"Banyangkan, sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini terasa kian tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi ekstrem di berbagai wilayah Tanah Air," kata Ariful di Pekanbaru, Jumat (6/1).
Intinya, menurut Ariful, saat ini berbagai bentuk hidrologi di muka bumi sudah tidak memiliki pola yang beraturan atau tidak terwujud seperti layaknya. "Hal ini bisa jadi karena alam di wilayah kita tidak lagi terjaga dengan baik dan mengalami kerusakan parah," ujarnya.
Iklim mikro tersebut, kata dia, kemudian menyebar di berbagai kawasan, bahkan sudah membentuk suatu tatanan lingkungan yang 'amburadul' atau serba tidak menentu. "Nah, hal ini juga diakibatkan ekosistem yang ada diberbagai wilayah Tanah Air tidak bisa memberi jaminan tatanan hidrologi yang kondusif atau tidak reguler lagi," tuturnya.
Bisa jadi pula, kondisi ini disebabkan berbagai hal, yang pertama hutan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah tidak memadai lagi, ditambah dengan kondisi lingkungan yang kian kritis. Kemudian, kondisi iklim yang terjadi saat ini mengalami kecenderungan monokultur atau tidak lagi bersahabat dengan lingkungan dan penghuninya.
"Sebagai akibatnya, tatanan terhadap hidrologi itu sudah tidak lagi memiliki sistem pusaran yang baik," katanya. Ariful mencontohkan Hutan Tanam Insdustri (HTI), misalnya perluasan kebun sawit yang 'membabi buta', kesumuanya 'merampok' daerah tangkapan air seperti aliran sungai dan anak sungai yang pada akhirnya menyebabkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Konsekuensi logisnya, ucap dia, perubahan iklim mendera lingkungan, kemudian ditambah lagi sikap pemerintah dalam menangani masalah lingkungan yang tidak realistis. "Seharusnya, pemerintah melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau beralih fungsi menjadi lahan perkebunan," tuturnya.
Namun upaya tersebut menurut Ariful tetap harus diawali dengan pemetaan daerah tangkapan air, baik itu skala kecil maupun skala besar. "Kalau itu tidak dilakukan secepatnya, atau tidak dimulai dengan pembibitan, penanaman dan penataan, maka akan semakin sulit mengatasi perubahan iklim yang sangat drastis," demikian Ariful.
Sumber (http://id.berita.yahoo.com/ini-dia-faktor-penyebab-cuaca-ekstrem-di-indonesia-021815629.html)
</div>