demokrat
27th May 2012, 03:37 PM
http://img826.imageshack.us/img826/931/wtg1.jpg (http://img826.imageshack.us/i/wtg1.jpg/)
Uploaded with ImageShack.us (http://imageshack.us)
http://img830.imageshack.us/img830/4995/wtg2.jpg (http://img830.imageshack.us/i/wtg2.jpg/)
Uploaded with ImageShack.us (http://imageshack.us)
http://img833.imageshack.us/img833/2968/wtg3jpg.jpg (http://img833.imageshack.us/i/wtg3jpg.jpg/)
Uploaded with ImageShack.us (http://imageshack.us)
JAKARTA � Berjuang sendirian, tanpa pembinaan, bahkan jadi ajang pungli, pedagang Kaki-5, termasuk warung Tegal (Warteg), lagi-lagi bakal dicekik. Giliran Pemprov DKI Jakarta bakal mengenakan pajak restoran 10 persen. Rencana itu jelas mengada-ada sekaligus menabrak undang-undang (UU).
Adalah Arif Soesilo, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, yang melontarkan wacana pengenaan pajak terhadap pedagang Kaki-5, termasuk Warteg. Selama ini, sektor tersebut belum disentuh karena pemprov lebih fokus kepada restoran besar.
Namun, sebelum menerapkan pemungutan pajak dari sektor ini, Dinas Pelayanan Pajak terlebih dulu mengkaji dan menyiapkan peraturannya. Setelah itu, didata terperinci. Menurut Arif, potensi pajak pada warung atau restoran Kaki-5 tersebut sangat besar.
�Di luar negeri restoran Kaki-5 juga dikenakan pajak,� tegasnya. Sektor pajak restoran besar selama ini memang cikup besar. Dari data, pada tahun 2009 lalu terealisasi Rp 179 miliar. Sedangkan tahun 2010 ini ditargetkan sekitar 180 miliar.
Bila kajian dan pendataan tuntas maka pedagang yang mengoperasikan restoran/warung Kaki-5 diberikan pengetahuan menyangkut penarikan pajak bagi pembeli di warung atau restoran yang dikelolanya. �Tapi ini baru wacana yang berkembang,� ujarnya.
TABRAK UNDANG-UNDANG
Tetapi Pos Kota menilai wacana itu bila ditetapkan menjadi kebijakan atau perda maka akan menabrak UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan PPBM. Pada pasal 4A UU yang diberlakukan mulai 1 April 2010 itu, dicantumkan tegas tentang barang yang tidak kena PPn.
Barang tersebut termasuk kebutuhan pokok yang sangat di butuhkan masyarakat, makanan dan minuman yang ada di restoran, rumah makan, warung hotel dan sejenisnya. Itu meliputi makanan baik yang dikonsumsi langsung di tempat atau di bungkus bawa pulang serta termasuk makanan dan minuman yang yang di sajikan oleh usaha dagang maupun perusahaan jasa boga atau katering.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki-5 (APKLI) DKI Jakarta, Hoiza Siregar mengatakan pemprov tidak membuat wacana macam-macam. �Selama ini pedagang Kaki-5 berjuang sendirian, nggak ada pembinaan secara baik, terukur, dan berkesinambngan. Mereka juga kena pungli bermacam-macam,� jelasnya.
Saat ini, di Jakarta terdapat 105.678 pedagang Kaki-5 di 215 lokasi. Dengan rincian Jakpus 22.102 pedagang di 61 lokasi, Jakut6.306 pedagang di 43 lokasi, Jakbar 20.102 pedagang di 25 lokasi. Jaktim 29.793 pedagang di 58 lokasi dan Jaksel27.305 pedagang di 28 lokasi. Sebesar 20 persen dari jumlah tersebut merupakan pedagang makanan (warung nasi).
Riuzna Zahir, Ketua YLKI, juga meminta agar pemprov tidak memberatkan warga kelas bawah dengan berbagai macam pajak. �Bila dikenakan pajak maka harga makanan di warung-warung akan naik. Sedangkan yang belanja kan dari kalangan ekonomi bawah,� katanya.
PEDAGANG MERADANG
Sejumlah pedagang Kaki-5 kontan meradang mendengar rencana pengenaan pajak itu. �Kami bukan pengusaha, cuma pedagang kecil. Jadi jangan disamakan dengan mal atau restoran yang harus bayar pajak. Mendingan uang pajak buat kesejahteraan anak buah,� ujar. H. Ikin, pedagang makanan di Jalan Kebahagiaan, Kelurahan Krukut, Tamansari, yang punya delapan anak buah.
Penolakan penarikan pajak juga disampaikan Amat, pedagang nasi uduk di kawasan tersebut. �Gile bener. Penghasilannya saja nggak tentu, kadang tekor, eh kok malah mau dimintai pajak,� ujarnya sambil menambahkan omset penjualan sekitar Rp 1 juta dan mempekerjakan empat orang.
makan di warteg harga sangat bersahabat, tapi kalo rencana ini jadi diterapkan kemungkinan makan di warteg tidak lagi murah....
</div>
Uploaded with ImageShack.us (http://imageshack.us)
http://img830.imageshack.us/img830/4995/wtg2.jpg (http://img830.imageshack.us/i/wtg2.jpg/)
Uploaded with ImageShack.us (http://imageshack.us)
http://img833.imageshack.us/img833/2968/wtg3jpg.jpg (http://img833.imageshack.us/i/wtg3jpg.jpg/)
Uploaded with ImageShack.us (http://imageshack.us)
JAKARTA � Berjuang sendirian, tanpa pembinaan, bahkan jadi ajang pungli, pedagang Kaki-5, termasuk warung Tegal (Warteg), lagi-lagi bakal dicekik. Giliran Pemprov DKI Jakarta bakal mengenakan pajak restoran 10 persen. Rencana itu jelas mengada-ada sekaligus menabrak undang-undang (UU).
Adalah Arif Soesilo, Kepala Bidang Peraturan dan Penyuluhan Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, yang melontarkan wacana pengenaan pajak terhadap pedagang Kaki-5, termasuk Warteg. Selama ini, sektor tersebut belum disentuh karena pemprov lebih fokus kepada restoran besar.
Namun, sebelum menerapkan pemungutan pajak dari sektor ini, Dinas Pelayanan Pajak terlebih dulu mengkaji dan menyiapkan peraturannya. Setelah itu, didata terperinci. Menurut Arif, potensi pajak pada warung atau restoran Kaki-5 tersebut sangat besar.
�Di luar negeri restoran Kaki-5 juga dikenakan pajak,� tegasnya. Sektor pajak restoran besar selama ini memang cikup besar. Dari data, pada tahun 2009 lalu terealisasi Rp 179 miliar. Sedangkan tahun 2010 ini ditargetkan sekitar 180 miliar.
Bila kajian dan pendataan tuntas maka pedagang yang mengoperasikan restoran/warung Kaki-5 diberikan pengetahuan menyangkut penarikan pajak bagi pembeli di warung atau restoran yang dikelolanya. �Tapi ini baru wacana yang berkembang,� ujarnya.
TABRAK UNDANG-UNDANG
Tetapi Pos Kota menilai wacana itu bila ditetapkan menjadi kebijakan atau perda maka akan menabrak UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan PPBM. Pada pasal 4A UU yang diberlakukan mulai 1 April 2010 itu, dicantumkan tegas tentang barang yang tidak kena PPn.
Barang tersebut termasuk kebutuhan pokok yang sangat di butuhkan masyarakat, makanan dan minuman yang ada di restoran, rumah makan, warung hotel dan sejenisnya. Itu meliputi makanan baik yang dikonsumsi langsung di tempat atau di bungkus bawa pulang serta termasuk makanan dan minuman yang yang di sajikan oleh usaha dagang maupun perusahaan jasa boga atau katering.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki-5 (APKLI) DKI Jakarta, Hoiza Siregar mengatakan pemprov tidak membuat wacana macam-macam. �Selama ini pedagang Kaki-5 berjuang sendirian, nggak ada pembinaan secara baik, terukur, dan berkesinambngan. Mereka juga kena pungli bermacam-macam,� jelasnya.
Saat ini, di Jakarta terdapat 105.678 pedagang Kaki-5 di 215 lokasi. Dengan rincian Jakpus 22.102 pedagang di 61 lokasi, Jakut6.306 pedagang di 43 lokasi, Jakbar 20.102 pedagang di 25 lokasi. Jaktim 29.793 pedagang di 58 lokasi dan Jaksel27.305 pedagang di 28 lokasi. Sebesar 20 persen dari jumlah tersebut merupakan pedagang makanan (warung nasi).
Riuzna Zahir, Ketua YLKI, juga meminta agar pemprov tidak memberatkan warga kelas bawah dengan berbagai macam pajak. �Bila dikenakan pajak maka harga makanan di warung-warung akan naik. Sedangkan yang belanja kan dari kalangan ekonomi bawah,� katanya.
PEDAGANG MERADANG
Sejumlah pedagang Kaki-5 kontan meradang mendengar rencana pengenaan pajak itu. �Kami bukan pengusaha, cuma pedagang kecil. Jadi jangan disamakan dengan mal atau restoran yang harus bayar pajak. Mendingan uang pajak buat kesejahteraan anak buah,� ujar. H. Ikin, pedagang makanan di Jalan Kebahagiaan, Kelurahan Krukut, Tamansari, yang punya delapan anak buah.
Penolakan penarikan pajak juga disampaikan Amat, pedagang nasi uduk di kawasan tersebut. �Gile bener. Penghasilannya saja nggak tentu, kadang tekor, eh kok malah mau dimintai pajak,� ujarnya sambil menambahkan omset penjualan sekitar Rp 1 juta dan mempekerjakan empat orang.
makan di warteg harga sangat bersahabat, tapi kalo rencana ini jadi diterapkan kemungkinan makan di warteg tidak lagi murah....
</div>