baksourat
27th May 2012, 03:36 PM
Trit ini ane buat setelah tadi malem ane nonton film "HOTEL RWANDA" yg diambil dari kisah nyata gan..setelah ane nonton ane jadi tertarik nelusuri kisah sebenarnya lewat bantuan mbah gugel..semoga trit ane bermanfaat bagi agan2 sekalian
:shakehand: :shakehand: :shakehand:
[/spoiler] for buka dulu sebelum nyimak:
karna ini trit ini tentang perang suku d afrika..ane minta agan2 sekalian tidak memberikan komen yg bersifat sara
http://ceri.ws/smilies/nosara.gif http://ceri.ws/smilies/nosara.gif http://ceri.ws/smilies/nosara.gif
kalo ini trit bermutu silakan agan rate ***** :ceriwislove:
for doa ane:
semoga kagak
:repost: :repost: :repost:
ane berharap dapet
:melon: :melon: :melon:
dan tidak mengharapkan
:cabendan: :cabendan: :cabendan:
ok gan..langsung aja ke topik utama..cekicrot!!
:ceriwislove: :ceriwislove: :ceriwislove:
Pada era tahun 90-an terjadi perang antar suku di negara Rwanda, Afrika. Perang ini mengakibatkan sedikitnya satu juta jiwa melayang. Inilah salah satu eksodus terbesar di jaman modern. Simak kisah selengkapnya. :shakehand:
for kisah:
Pertikaian antar-suku di Rwanda pada era 1990-an merupakan salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Afrika. Pertikaian tersebut merupakan akumulasi dari hubungan tak harmonis bagi warga suku Hutu sebagai mayoritas dengan suku Tutsi sebagai minoritas, khususnya, sejak negera tersebut terlepas dari masa penjajahan Belgia. Konflik ini adalah pembantaian yang mengarah pada pembersihan etnis (genocide) dan menelan korban hingga ratusan ribu jiwa hanya dalam tempo yang relatif singkat.
for penyebab konflik:
Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15 Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.
Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.
Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan �kerah putih� yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk �kerah biru� yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba ke 2 suku ini.
Setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan �Cocroaches�, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi �LETS CUT THE TALL TREES!!� mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Puncak konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihakk Tutsi oleh �TUTSI REBELS�. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di bunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.
Salah satu tokoh yang paling mencuat dari kisah perang antar suku ini adalah PAUL RUSESABAGINA. Saat konflik terjadi, dia hanyalah seorang manager hotel terbaik di Rwanda, Des Miles Colines, yang dihuni banyak warga asing. Pada saat yang sama, televisi memberitakan adanya upaya perdamaian yang diprakarsai PBB antara pemerintah yang diwakili presiden yang berasal dari suku Hutu dan pimpinan pemberontak dari suku Tutsi. Upaya ini mulai membuahkan hasil saat presiden dan pimpinan pemberontak sepakat untuk melakukan gencatan bersenjata dan menandatangani perjanjian damai. Namun, belum lagi perjanjian damai ditandatangani, sang presiden terbunuh dan dikabarkan pembunuh adalah pemberontak Tutsi. Peristiwa ini langsung berdampak pada setiap orang yang tinggal di Rwanda. Tak terkecuali, pada Paul Rusesabagina yang asli Hutu dan tak suka politik menyusul upaya balas dendam dari warga Hutu lewat kaum milisinya yang bernama interhamwe terhadap seluruh warga Rwanda yang berasal dari suku Tutsi. Upaya balas dendam ini berbentuk pembunuhan besar-besaran terhadap warga Rwanda bersuku Tutsi dan setiap orang yang dianggap berkomplot dengan mereka. Aksi ini tak bisa dicegah aparat keamanan Rwanda yang dipimpin jenderal Augustin Bizimungo yang cenderung memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Sementara itu, pasukan perdamaian PBB yang dipimpin kolonel Oliver yang sebelumnya mulai berhasil menengahi pertikaian pun tak bisa berbuat banyak. Selain dikarenakan anggota pasukan yang semakin sedikit, perhatian serta dukungan dunia terhadap konflik Rwanda pun cenderung surut. Hal ini ditandai dari penarikan pasukan ke perbatasan dan pengiriman pasukan internasional yang hanya mengamankan dan memulangkan para warga asing di Rwanda, termasuk para jurnalis, sedangkan warga asli Rwanda dibiarkan walaupun kematian mendekati mereka. Kondisi ini membuat Paul Rusesabagina resah. Dengan berbagai cara, ia segera mengungsikan keluarga dan tetangganya baik yang berasal dari Hutu maupun Tutsi ke hotel tempatnya bekerja. Bahkan, tak lama, tak hanya keluarga dan tetangga yang berada di hotel ini, tapi juga ratusan warga lain yang mengungsi ke hotel tersebut karena mereka anggap tak ada lagi tempat yang aman. Di sela-sela upaya menampung pengungsi, Paul Rusesabagina yang mendapat mandat dari sang pemilik untuk menjaga hotel masih memperhatikan bahwasanya Hotel Des Miles Colines tetap merupakan sebuah hotel berkelas. Artinya, pelayanan kelas hotel diberikan semaksimal mungkin dan dia tak ragu menarik tagihan untuk warga mampu yang mengungsi. Untuk menjaga keamananan, Paul Rusesabagina berulangkali mengakali dan menyuap jenderal Augustin Bizimungo untuk menempatkan aparatnya melindungi hotel setelah kolonel Oliver dan segelintir anak buahnya dari pasukan PBB ditempatkan di perbatasan Rwanda Namanya mencuat ke dunia internasional setelah ia diberitakan sebagai seorang Hutu yg berhasil menampung dan menyelamatkan sekitar 1200 warga Rwanda (baik hutu maupun tutsi) dari pembantaian yg terjadi saat itu. Selain itu ia adalah orang yang tanpa mengenal lelah berusaha memotivasi para pengungsi untuk bertahan sementara ia sendiri berusaha mencari bantuan dari dunia luar yang disaat itu seolah olah menutup mata terhadap konflik tersebut.
[spoiler=open this] for foto Rusesabagina:
http://u.kaskus.co.id/58/pmhhzbtv.jpeg
Konflik singkat yang menelan jutaan nyawa tersebut akhirnya berakhir setelah pasukan pemberontak Tutsi berhasil memenangkan pertempuran dan mendesak pasukan Hutu hingga ke garis perbatasan.
Sang pahlawan, Rusesabagina, mendapatkan visa dari Belgia dan hingga kini ia tinggal disana bersama istri dan keempat anaknya. Ia juga mengadopsi 2 keponakannya yang orangtuanya tidak pernah ditemukan lagi sejak konflik tersebut muncul.
Semoga cerita ane tadi bermanfaat bagi agan2 sekalian..bila ada kesalahan dalam penceritaan ane mohon maaf yang sebesar besarnya. :ceriwislove: :ceriwislove: :ceriwislove:
:loveindonesia :loveindonesia :loveindonesia
</div>
:shakehand: :shakehand: :shakehand:
[/spoiler] for buka dulu sebelum nyimak:
karna ini trit ini tentang perang suku d afrika..ane minta agan2 sekalian tidak memberikan komen yg bersifat sara
http://ceri.ws/smilies/nosara.gif http://ceri.ws/smilies/nosara.gif http://ceri.ws/smilies/nosara.gif
kalo ini trit bermutu silakan agan rate ***** :ceriwislove:
for doa ane:
semoga kagak
:repost: :repost: :repost:
ane berharap dapet
:melon: :melon: :melon:
dan tidak mengharapkan
:cabendan: :cabendan: :cabendan:
ok gan..langsung aja ke topik utama..cekicrot!!
:ceriwislove: :ceriwislove: :ceriwislove:
Pada era tahun 90-an terjadi perang antar suku di negara Rwanda, Afrika. Perang ini mengakibatkan sedikitnya satu juta jiwa melayang. Inilah salah satu eksodus terbesar di jaman modern. Simak kisah selengkapnya. :shakehand:
for kisah:
Pertikaian antar-suku di Rwanda pada era 1990-an merupakan salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Afrika. Pertikaian tersebut merupakan akumulasi dari hubungan tak harmonis bagi warga suku Hutu sebagai mayoritas dengan suku Tutsi sebagai minoritas, khususnya, sejak negera tersebut terlepas dari masa penjajahan Belgia. Konflik ini adalah pembantaian yang mengarah pada pembersihan etnis (genocide) dan menelan korban hingga ratusan ribu jiwa hanya dalam tempo yang relatif singkat.
for penyebab konflik:
Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi danTanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di sini sejak abad ke-15 Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak; dan Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.
Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu di anggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.
Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan �kerah putih� yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk �kerah biru� yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekeja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba ke 2 suku ini.
Setelah beberapa tahun kemudian, tepat nya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan �Cocroaches�, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi �LETS CUT THE TALL TREES!!� mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Puncak konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai dihari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihakk Tutsi oleh �TUTSI REBELS�. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu di bunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.
Salah satu tokoh yang paling mencuat dari kisah perang antar suku ini adalah PAUL RUSESABAGINA. Saat konflik terjadi, dia hanyalah seorang manager hotel terbaik di Rwanda, Des Miles Colines, yang dihuni banyak warga asing. Pada saat yang sama, televisi memberitakan adanya upaya perdamaian yang diprakarsai PBB antara pemerintah yang diwakili presiden yang berasal dari suku Hutu dan pimpinan pemberontak dari suku Tutsi. Upaya ini mulai membuahkan hasil saat presiden dan pimpinan pemberontak sepakat untuk melakukan gencatan bersenjata dan menandatangani perjanjian damai. Namun, belum lagi perjanjian damai ditandatangani, sang presiden terbunuh dan dikabarkan pembunuh adalah pemberontak Tutsi. Peristiwa ini langsung berdampak pada setiap orang yang tinggal di Rwanda. Tak terkecuali, pada Paul Rusesabagina yang asli Hutu dan tak suka politik menyusul upaya balas dendam dari warga Hutu lewat kaum milisinya yang bernama interhamwe terhadap seluruh warga Rwanda yang berasal dari suku Tutsi. Upaya balas dendam ini berbentuk pembunuhan besar-besaran terhadap warga Rwanda bersuku Tutsi dan setiap orang yang dianggap berkomplot dengan mereka. Aksi ini tak bisa dicegah aparat keamanan Rwanda yang dipimpin jenderal Augustin Bizimungo yang cenderung memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Sementara itu, pasukan perdamaian PBB yang dipimpin kolonel Oliver yang sebelumnya mulai berhasil menengahi pertikaian pun tak bisa berbuat banyak. Selain dikarenakan anggota pasukan yang semakin sedikit, perhatian serta dukungan dunia terhadap konflik Rwanda pun cenderung surut. Hal ini ditandai dari penarikan pasukan ke perbatasan dan pengiriman pasukan internasional yang hanya mengamankan dan memulangkan para warga asing di Rwanda, termasuk para jurnalis, sedangkan warga asli Rwanda dibiarkan walaupun kematian mendekati mereka. Kondisi ini membuat Paul Rusesabagina resah. Dengan berbagai cara, ia segera mengungsikan keluarga dan tetangganya baik yang berasal dari Hutu maupun Tutsi ke hotel tempatnya bekerja. Bahkan, tak lama, tak hanya keluarga dan tetangga yang berada di hotel ini, tapi juga ratusan warga lain yang mengungsi ke hotel tersebut karena mereka anggap tak ada lagi tempat yang aman. Di sela-sela upaya menampung pengungsi, Paul Rusesabagina yang mendapat mandat dari sang pemilik untuk menjaga hotel masih memperhatikan bahwasanya Hotel Des Miles Colines tetap merupakan sebuah hotel berkelas. Artinya, pelayanan kelas hotel diberikan semaksimal mungkin dan dia tak ragu menarik tagihan untuk warga mampu yang mengungsi. Untuk menjaga keamananan, Paul Rusesabagina berulangkali mengakali dan menyuap jenderal Augustin Bizimungo untuk menempatkan aparatnya melindungi hotel setelah kolonel Oliver dan segelintir anak buahnya dari pasukan PBB ditempatkan di perbatasan Rwanda Namanya mencuat ke dunia internasional setelah ia diberitakan sebagai seorang Hutu yg berhasil menampung dan menyelamatkan sekitar 1200 warga Rwanda (baik hutu maupun tutsi) dari pembantaian yg terjadi saat itu. Selain itu ia adalah orang yang tanpa mengenal lelah berusaha memotivasi para pengungsi untuk bertahan sementara ia sendiri berusaha mencari bantuan dari dunia luar yang disaat itu seolah olah menutup mata terhadap konflik tersebut.
[spoiler=open this] for foto Rusesabagina:
http://u.kaskus.co.id/58/pmhhzbtv.jpeg
Konflik singkat yang menelan jutaan nyawa tersebut akhirnya berakhir setelah pasukan pemberontak Tutsi berhasil memenangkan pertempuran dan mendesak pasukan Hutu hingga ke garis perbatasan.
Sang pahlawan, Rusesabagina, mendapatkan visa dari Belgia dan hingga kini ia tinggal disana bersama istri dan keempat anaknya. Ia juga mengadopsi 2 keponakannya yang orangtuanya tidak pernah ditemukan lagi sejak konflik tersebut muncul.
Semoga cerita ane tadi bermanfaat bagi agan2 sekalian..bila ada kesalahan dalam penceritaan ane mohon maaf yang sebesar besarnya. :ceriwislove: :ceriwislove: :ceriwislove:
:loveindonesia :loveindonesia :loveindonesia
</div>