somaybandung
27th May 2012, 03:35 PM
KKN atawa Kakek-Kakek Ngeres!
Oleh: Veven SP. Wardhana
Sebagai tayangan talkshow, unjuk-wicara, atau apa pun sebutannya, Kakek-Kakek Narsis di Trans TV tampak menjajal resep ala Empat Mata, Bukan Empat Mata, The Beauty and Aziz (ketiganya di Trans 7), juga Show Imah (Trans TV), Triangel (ANTV), atau Buaya Show (Indosiar): topik atau tema dibincangkan seringan mungkin, dan host atau pemandu acara atau pemandu-wicara dijauhkan dari kesan cendekia atau cerdas.
Dengan pemberian dan pemerian karakterisasi tertentu pemandu-wicara, ini jadi semacam justifikasi�bahkan legitimasi�untuk menjadikan segenap perbincangan jadi serba ringan, serba tak serius-serius banget, serba permukaan, bahkan sah serba (ter)mentah(kan).
Suatu edisi dalam Bukan Empat Mata, misalnya, dengan narasumber cendekia dari University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub, penulis buku Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia�s Most Popular Music, nyaris tak ada informasi yang dieksplorasi sekaitan dengan buku atau proses kreatif riset dan penulisan buku tersebut. Argumentasinya, harap mahfum, dengan karakter pemandu-wicara Tukul Arwana yang polos, naif, miskin kosakata pemikiran, yakin berbahasa Inggris sekalipun dalam logat Jawa-Semarangan, dan kikuk �omong besar dan berat� namun tetap berusaha berdialog, publik atau pemirsa diharapkan sampai pada metakomunikasi, sehingga simpulan terjauh Tukul Arwana ya sebatas: �Jika orang asing saja begitu peduli dangdut, kenapa bangsa sendiri menganggapnya sebagai musik pinggiran dan comberan?�
Sama sekali tak tergali kemungkinan alasan Weintraub menjadi peneliti dangdut�apakah benar-benar cinta dengan segenap passion-nya atau lebih sekadar memenuhi persyaratan akademik yang mewajibkan objek penelitiannya di luar negerinya, misalnya.
Tak usah jauh-jauh, bahkan penggalian perihal sosok tamu yang menjadi narasumber pun tak pernah terkuak hingga tuntas, betapa pun itu juga sebatas yang serba permukaan. Hal ini dapat dilihat pada kehadiran bintang tamu sebagai pengantar pizza (diperankan Tata Sivek) dalam tayangan Kakek-Kakek Narsis (KKN) episode �Musician� (27 Januari 2012) yang sama sekali tak jelas untuk apa. Boro-boro digali informasi mengenai diri atau pendapatnya, boleh dikata satu pertanyaan pun tak dilayangkan untuknya. Jadinya, Tata Sivek layaknya pajangan belaka dalam bingkai televisi.
Karakterisasi pemandu-wicara jadi terasa penting, bukan saja agar tetap terjaga nuansa dan atmosfer ringannya, melainkan juga menghibur�antara lain dengan memicu tawa. Begitulah yang terjadi pada karakter Soimah, pemandu-wicara Show Imah, yang dicandra sebagai orang kaya baru: tinggal di apartemen mewah, parfum dan menu makanannya serba dari luar negeri, karpet bisa diganti berkola-kali dalam sehari, namun jika udara terasa gerah, Soimah menyejukkan diri dengan menggunakan kipas bambu manual.
Karakterisasi trio kakek narsistik dalam KKN sepertinya menjanjikan hal yang sama. Dengan kenarsistikan para kakek ini setidaknya bisa difantasikan betapa genit dan ganjennya mereka. Atau�karena narsistik mereka, yakni terlampau memperhatikan dan mencintai diri mereka sendiri secara berlebihan�mereka tak bakal mudah tertarik pada lain orang, yang sesama jenis kelamin maupun yang berbeda.
Pada akhirnya, karakterisasi tinggallah teori. Dan dalam hal KKN, pengertian �narsistik� tinggallah sebagai semacam nama rubrik mata tayangan belaka. Karakter atau pencandraan narsistik, narsisme, narsis(!), silakan segera ditanggalkan, karena realitas menunjukkan bahwa para kakek�dimainkan Indra Birowo, Omesh, dan Ronal Suryapraja�ternyata begitu genit pada para bintang tamu perempuan yang menunjukkan keseksian dan kesensualan lewat pakaiannya.
Ronal senantiasa menanyakan nomor PIN BlackBerry para bintang tamu, dan Omesh senantiasa merapatkan diri dan curi-curi kesempatan untuk melingkarkan tangannya ke para tamu perempuan yang duduk di sampingnya. Hanya Indra yang tak tampak agresif. Namun, ekspresi wajah mereka sama sekali tak menampakkan lebih mencintai diri sendiri saat ada para perempuan yang datang bertamu, baik sengaja bertamu maupun tak sengaja; satu hal yang tak begitu penting dicari logikanya dalam unjuk wicara ini.
Dari sisi karakterisasi pemandu-wicara yang dimaklumatkan dalam nama rubrik, KKN sudah gawal sejak awal. Dalam hal celetukan para pemandu wicara atas penampilan tamu yang seksi dan sensual, trio kakek ga�k itu sama dan sebangun dengan Tukul Arwana: bermain asosiasi yang serba konotatif. Tukul Arwana senantiasa menceletukkan kata dalam bahasa Jawa �gaw� tombo ngantuk� yang berarti: �untuk obat (agar tidak) mengantuk�, yang jika dipertegas konotasi asosiatifnya menjadi: �bisa bikin bangun�! Sementara, tanpa harus menceletukkan kata apa pun, ekspresi masing-masing kakek itu mengarah ke jurusan yang sama.
Atau jika tamunya masih tampak kurang seksi, para kakek inilah yang menggiring tamunya untuk melepas jaket atau blazer atau syal atau apapun yang menghalangi kebeningan pundak, lengan, dada, dan punggung para tamu. Tak semata sekali hal macam begini terjadi. Salah satu yang sempat tercatat adalah episode �Curhat� (4 Januari 2012). Dalam episode ini, Kakek Ronal setengah bergumam mengatakan bahwa gelagat cuaca sepertinya mau hujan. Tanda-tandanya: udara terasa gerah. Nah, daripada gerah, panas, sumuk, para kakek menyarankan pada dua tamunya, masing-masing Tetta Mayasari dan Cinta Dewi, agar melepas baju luarnya. Logikanya, para kakek itu juga melepaskan jaket, sweater, dan syal yang serba lengkap itu. Ternyata, para kakek itu sama sekali tak melepaskan pernak-pernik pakaian mereka, tanpa alasan yang jelas, misalnya tubuh renta itu rentan terhadap udara dingin, atau apa�.
Di sinilah kunci jualan itu, yakni stereotip perempuan: tak begitu dibutuhkan kecerdasannya. Jika pun mereka diminta menjawab pertanyaan, pertanyaannya seputar dunia yang dibayangkan para kreatornya atas perempuan: parfum, aroma, buku harian atau diary, curahan hati alias curhat, dan sebangsanya. Ronal bahkan senantiasa bertanya: �Apa aktivitas sehari-harimu, selain cantik?�
Ini bukan semata merancukan kata sifat dengan kata kerja, namun para kakek ini menganggap bahwa mengurus kecantikan merupakan aktivitas yang sedemikian utama bagi perempuan, dan hanya itu. Sementara selebihnya, �selain�nya, cumalah sampingan.
Baca Selengkapnya di www.remotivi.or.id (http://remotivi.or.id/amatan/kkn-atawa-kakek-kakek-ngeres)
---
REMOTIVI
"Hidupkan Televisimu, Hidupkan Pikiranmu"
www.remotivi.or.id (http://remotivi.or.id) | Facebook (http://facebook.com/remotivi) | Twitter (http://twitter.com/remotivi)
REMOTIVI adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Cakupan kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media dan advokasi yang bertujuan (1) mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.
</div>
Oleh: Veven SP. Wardhana
Sebagai tayangan talkshow, unjuk-wicara, atau apa pun sebutannya, Kakek-Kakek Narsis di Trans TV tampak menjajal resep ala Empat Mata, Bukan Empat Mata, The Beauty and Aziz (ketiganya di Trans 7), juga Show Imah (Trans TV), Triangel (ANTV), atau Buaya Show (Indosiar): topik atau tema dibincangkan seringan mungkin, dan host atau pemandu acara atau pemandu-wicara dijauhkan dari kesan cendekia atau cerdas.
Dengan pemberian dan pemerian karakterisasi tertentu pemandu-wicara, ini jadi semacam justifikasi�bahkan legitimasi�untuk menjadikan segenap perbincangan jadi serba ringan, serba tak serius-serius banget, serba permukaan, bahkan sah serba (ter)mentah(kan).
Suatu edisi dalam Bukan Empat Mata, misalnya, dengan narasumber cendekia dari University of Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, Andrew N. Weintraub, penulis buku Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia�s Most Popular Music, nyaris tak ada informasi yang dieksplorasi sekaitan dengan buku atau proses kreatif riset dan penulisan buku tersebut. Argumentasinya, harap mahfum, dengan karakter pemandu-wicara Tukul Arwana yang polos, naif, miskin kosakata pemikiran, yakin berbahasa Inggris sekalipun dalam logat Jawa-Semarangan, dan kikuk �omong besar dan berat� namun tetap berusaha berdialog, publik atau pemirsa diharapkan sampai pada metakomunikasi, sehingga simpulan terjauh Tukul Arwana ya sebatas: �Jika orang asing saja begitu peduli dangdut, kenapa bangsa sendiri menganggapnya sebagai musik pinggiran dan comberan?�
Sama sekali tak tergali kemungkinan alasan Weintraub menjadi peneliti dangdut�apakah benar-benar cinta dengan segenap passion-nya atau lebih sekadar memenuhi persyaratan akademik yang mewajibkan objek penelitiannya di luar negerinya, misalnya.
Tak usah jauh-jauh, bahkan penggalian perihal sosok tamu yang menjadi narasumber pun tak pernah terkuak hingga tuntas, betapa pun itu juga sebatas yang serba permukaan. Hal ini dapat dilihat pada kehadiran bintang tamu sebagai pengantar pizza (diperankan Tata Sivek) dalam tayangan Kakek-Kakek Narsis (KKN) episode �Musician� (27 Januari 2012) yang sama sekali tak jelas untuk apa. Boro-boro digali informasi mengenai diri atau pendapatnya, boleh dikata satu pertanyaan pun tak dilayangkan untuknya. Jadinya, Tata Sivek layaknya pajangan belaka dalam bingkai televisi.
Karakterisasi pemandu-wicara jadi terasa penting, bukan saja agar tetap terjaga nuansa dan atmosfer ringannya, melainkan juga menghibur�antara lain dengan memicu tawa. Begitulah yang terjadi pada karakter Soimah, pemandu-wicara Show Imah, yang dicandra sebagai orang kaya baru: tinggal di apartemen mewah, parfum dan menu makanannya serba dari luar negeri, karpet bisa diganti berkola-kali dalam sehari, namun jika udara terasa gerah, Soimah menyejukkan diri dengan menggunakan kipas bambu manual.
Karakterisasi trio kakek narsistik dalam KKN sepertinya menjanjikan hal yang sama. Dengan kenarsistikan para kakek ini setidaknya bisa difantasikan betapa genit dan ganjennya mereka. Atau�karena narsistik mereka, yakni terlampau memperhatikan dan mencintai diri mereka sendiri secara berlebihan�mereka tak bakal mudah tertarik pada lain orang, yang sesama jenis kelamin maupun yang berbeda.
Pada akhirnya, karakterisasi tinggallah teori. Dan dalam hal KKN, pengertian �narsistik� tinggallah sebagai semacam nama rubrik mata tayangan belaka. Karakter atau pencandraan narsistik, narsisme, narsis(!), silakan segera ditanggalkan, karena realitas menunjukkan bahwa para kakek�dimainkan Indra Birowo, Omesh, dan Ronal Suryapraja�ternyata begitu genit pada para bintang tamu perempuan yang menunjukkan keseksian dan kesensualan lewat pakaiannya.
Ronal senantiasa menanyakan nomor PIN BlackBerry para bintang tamu, dan Omesh senantiasa merapatkan diri dan curi-curi kesempatan untuk melingkarkan tangannya ke para tamu perempuan yang duduk di sampingnya. Hanya Indra yang tak tampak agresif. Namun, ekspresi wajah mereka sama sekali tak menampakkan lebih mencintai diri sendiri saat ada para perempuan yang datang bertamu, baik sengaja bertamu maupun tak sengaja; satu hal yang tak begitu penting dicari logikanya dalam unjuk wicara ini.
Dari sisi karakterisasi pemandu-wicara yang dimaklumatkan dalam nama rubrik, KKN sudah gawal sejak awal. Dalam hal celetukan para pemandu wicara atas penampilan tamu yang seksi dan sensual, trio kakek ga�k itu sama dan sebangun dengan Tukul Arwana: bermain asosiasi yang serba konotatif. Tukul Arwana senantiasa menceletukkan kata dalam bahasa Jawa �gaw� tombo ngantuk� yang berarti: �untuk obat (agar tidak) mengantuk�, yang jika dipertegas konotasi asosiatifnya menjadi: �bisa bikin bangun�! Sementara, tanpa harus menceletukkan kata apa pun, ekspresi masing-masing kakek itu mengarah ke jurusan yang sama.
Atau jika tamunya masih tampak kurang seksi, para kakek inilah yang menggiring tamunya untuk melepas jaket atau blazer atau syal atau apapun yang menghalangi kebeningan pundak, lengan, dada, dan punggung para tamu. Tak semata sekali hal macam begini terjadi. Salah satu yang sempat tercatat adalah episode �Curhat� (4 Januari 2012). Dalam episode ini, Kakek Ronal setengah bergumam mengatakan bahwa gelagat cuaca sepertinya mau hujan. Tanda-tandanya: udara terasa gerah. Nah, daripada gerah, panas, sumuk, para kakek menyarankan pada dua tamunya, masing-masing Tetta Mayasari dan Cinta Dewi, agar melepas baju luarnya. Logikanya, para kakek itu juga melepaskan jaket, sweater, dan syal yang serba lengkap itu. Ternyata, para kakek itu sama sekali tak melepaskan pernak-pernik pakaian mereka, tanpa alasan yang jelas, misalnya tubuh renta itu rentan terhadap udara dingin, atau apa�.
Di sinilah kunci jualan itu, yakni stereotip perempuan: tak begitu dibutuhkan kecerdasannya. Jika pun mereka diminta menjawab pertanyaan, pertanyaannya seputar dunia yang dibayangkan para kreatornya atas perempuan: parfum, aroma, buku harian atau diary, curahan hati alias curhat, dan sebangsanya. Ronal bahkan senantiasa bertanya: �Apa aktivitas sehari-harimu, selain cantik?�
Ini bukan semata merancukan kata sifat dengan kata kerja, namun para kakek ini menganggap bahwa mengurus kecantikan merupakan aktivitas yang sedemikian utama bagi perempuan, dan hanya itu. Sementara selebihnya, �selain�nya, cumalah sampingan.
Baca Selengkapnya di www.remotivi.or.id (http://remotivi.or.id/amatan/kkn-atawa-kakek-kakek-ngeres)
---
REMOTIVI
"Hidupkan Televisimu, Hidupkan Pikiranmu"
www.remotivi.or.id (http://remotivi.or.id) | Facebook (http://facebook.com/remotivi) | Twitter (http://twitter.com/remotivi)
REMOTIVI adalah sebuah inisiatif warga untuk kerja pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Cakupan kerjanya turut meliputi aktivitas pendidikan melek media dan advokasi yang bertujuan (1) mengembangkan tingkat kemelekmediaan masyarakat, (2) menumbuhkan, mengelola, dan merawat sikap kritis masyarakat terhadap televisi, dan (3) mendorong profesionalisme pekerja televisi untuk menghasilkan tayangan yang bermutu, sehat, dan mendidik.
</div>