bakpaoayam
27th May 2012, 03:29 PM
[/quote][quote]
Originally Posted by QUOTEl
Seperti biasa, hari ini saya di kantor. Dan tadi pagi itu saya dipanggil si boss untuk mengolah data di komputernya beliau. Ketika sedang bekerja itu, tiba2 dy membuka percakapan. Anaknya, anak satu2nya, yg bekerja dan ditempatkan di luar Jawa, akan pulang wiken ini. Saya hanya menyambut dengan basa basi biasa
�wah, seneng dong pak. Bisa wiken di rumah�
Tapi ternyata tidak berhenti di situ. Atasan saya ini tampaknya sedang ingin bercerita banyak tentang anak tunggalnya. Dan berceritalah dy.
Dan disinilah salahnya. Cerita seorang Ayah tentang anaknya buat saya terasa seperti membuka memory lagi tentang dia yg juga telah pergi. Dia, yang juga kupanggil Ayah. Dia, yg sudah lebih dulu menghadap-Nya.
Atasan saya bercerita bahwa dia sering menghabiskan waktu berdua saja dengan anaknya, membicarakan dan sharing banyak hal. Ayah saya juga dulu seperti itu.
Bahwa anaknya sering curhat tentang pergaulannya di sekolah, kampus, bahkan lingkungan kantornya padanya. Sampai sebelum Ayah sakit pun sy rutin bercerita padanya tentang segala hal yg kualami.
Kemudian ceritanya dia terhenti ketika hapenya membunyikan dering sms, yg ternyata dari anaknya yang mengabari bahwa dia sudah sampai di Surabaya, di bandara Juanda. Menelepon lah dia ke anaknya. Berbicaralah dia kepada anaknya, sebagai seorang Ayah yg gembira menyambut kepulangan sang anak. Ayah sy juga dulu begitu, selalu memantau keberadaan saya jika ingin pulang. Kapan take off, kapan tiba di bandara, sampai akhirnya bertatap muka langsung.
Saya mulai tidak konsen melihat layar komputer di hadapan. Setelah telpon itu, dy masih terus bercerita tentang anaknya. dan sy dengan loncatan loncatan memory saya sendiri tentang Ayah. Saya tidak tau apa dia menyadari bahwa dari tadi sy sudah tidak menanggapi ceritanya. Hanya, yg saya tau pandangan ini mulai mengabur, nafas sy mulai sesak, dan akhirnya kondisi itu terselamatkan ketika teleponnya kembali berbunyi, kali ini dari orang kantor. Dan sy punya alasan untuk permisi sebentar, tetap menyembunyikan bulir2 air yg mendesak keluar, berjalan cepat ke arah kamar mandi, dan menumpahkan semuanya di sana.
Apa saya iri? Saya juga masih ingin sekali diperlakukan seperti itu oleh Ayah. Saya tidak senang dengan kebahagiaan yg ditampakkan atasan saya itu? Entahlah, yang saya rasakan hanya kerinduan mengalami hal yang sama. Dan, saya pun sadar sepenuhnya, tidak mungkin lagi merasai semua itu.
http://illawise.com/wp-content/uploa...k2-231x300.jpg (http://illawise.com/wp-content/uploads/2010/04/ayah-anak2-231x300.jpg)
ayah-anak2
Perlahan saya menetralisir emosi saya. Mengusap air mata, memastikan bahwa saya tidak terlihat seperti orang yg habis nangis, dan kembali ke tempat semula, seolah tidak terjadi apa2.
</div>
Originally Posted by QUOTEl
Seperti biasa, hari ini saya di kantor. Dan tadi pagi itu saya dipanggil si boss untuk mengolah data di komputernya beliau. Ketika sedang bekerja itu, tiba2 dy membuka percakapan. Anaknya, anak satu2nya, yg bekerja dan ditempatkan di luar Jawa, akan pulang wiken ini. Saya hanya menyambut dengan basa basi biasa
�wah, seneng dong pak. Bisa wiken di rumah�
Tapi ternyata tidak berhenti di situ. Atasan saya ini tampaknya sedang ingin bercerita banyak tentang anak tunggalnya. Dan berceritalah dy.
Dan disinilah salahnya. Cerita seorang Ayah tentang anaknya buat saya terasa seperti membuka memory lagi tentang dia yg juga telah pergi. Dia, yang juga kupanggil Ayah. Dia, yg sudah lebih dulu menghadap-Nya.
Atasan saya bercerita bahwa dia sering menghabiskan waktu berdua saja dengan anaknya, membicarakan dan sharing banyak hal. Ayah saya juga dulu seperti itu.
Bahwa anaknya sering curhat tentang pergaulannya di sekolah, kampus, bahkan lingkungan kantornya padanya. Sampai sebelum Ayah sakit pun sy rutin bercerita padanya tentang segala hal yg kualami.
Kemudian ceritanya dia terhenti ketika hapenya membunyikan dering sms, yg ternyata dari anaknya yang mengabari bahwa dia sudah sampai di Surabaya, di bandara Juanda. Menelepon lah dia ke anaknya. Berbicaralah dia kepada anaknya, sebagai seorang Ayah yg gembira menyambut kepulangan sang anak. Ayah sy juga dulu begitu, selalu memantau keberadaan saya jika ingin pulang. Kapan take off, kapan tiba di bandara, sampai akhirnya bertatap muka langsung.
Saya mulai tidak konsen melihat layar komputer di hadapan. Setelah telpon itu, dy masih terus bercerita tentang anaknya. dan sy dengan loncatan loncatan memory saya sendiri tentang Ayah. Saya tidak tau apa dia menyadari bahwa dari tadi sy sudah tidak menanggapi ceritanya. Hanya, yg saya tau pandangan ini mulai mengabur, nafas sy mulai sesak, dan akhirnya kondisi itu terselamatkan ketika teleponnya kembali berbunyi, kali ini dari orang kantor. Dan sy punya alasan untuk permisi sebentar, tetap menyembunyikan bulir2 air yg mendesak keluar, berjalan cepat ke arah kamar mandi, dan menumpahkan semuanya di sana.
Apa saya iri? Saya juga masih ingin sekali diperlakukan seperti itu oleh Ayah. Saya tidak senang dengan kebahagiaan yg ditampakkan atasan saya itu? Entahlah, yang saya rasakan hanya kerinduan mengalami hal yang sama. Dan, saya pun sadar sepenuhnya, tidak mungkin lagi merasai semua itu.
http://illawise.com/wp-content/uploa...k2-231x300.jpg (http://illawise.com/wp-content/uploads/2010/04/ayah-anak2-231x300.jpg)
ayah-anak2
Perlahan saya menetralisir emosi saya. Mengusap air mata, memastikan bahwa saya tidak terlihat seperti orang yg habis nangis, dan kembali ke tempat semula, seolah tidak terjadi apa2.
</div>