demokrat
27th May 2012, 03:25 PM
Ibu Dibyo sang Ratu Tiket
[/spoiler][spoiler=open this] for logo:
http://i659.photobucket.com/albums/uu312/ferio1261/Picture1.png
Tiket dapat dipesan di Ibu Dibyo... nomor sekian-sekian.... Mungkin Anda sudah cukup familiar dengan bunyi pemberitahuan seperti di atas. Di mana ada pementasan musik, sudah bisa dipastikan nama Ibu Dibyo sebagai alternatif penyedia tiket, tercantum di dalamnya. Tidak hanya pagelaran musik, pementasan lain seperti pemutaran film, teater, opera dan lain-lain, Ibu Dibyo juga kerap menjadi distributornya. Sebenarnya siapa sih "Ibu Dibyo" ini?
http://cyberwoman.cbn.net.id/UserFiles/Image/cyberwoman/lama/smart_woman/Img_SmartWoman_103200252148PM.jpg
Ibu Dibyo bernama asli Ida Kurani Sudibyo, lahir tahun 1934 dan menikah dengan seseorang yang berdedikasi terhadap dunia pendidikan. Pada tahun 1963, suaminya bertekad untuk mendirikan sebuah sekolah (yang sekarang dikenal sebagai Lembaga Putra Kita, berlokasi di jalan Sukabumi, Menteng). Hal ini mendorong Ibu Dibyo untuk membantu suaminya mengumpulkan dana. Dibukalah jasa penjualan tiket, yang pada waktu itu, masih terbatas pada tiket-tiket bioskop. Kebetulan mereka memiliki kenalan yang menjadi importir film, yang memudahkan mereka mendapatkan akses kemudahan untuk mendapatkan tiket nonton. Usaha penjualan tiket mereka dimulai di sebuah pemutaran film bergengsi yang bertempat di Hotel Indonesia.
Tak disangka, usaha penjualan tiket yang mulanya dilakukan secara door to door tersebut, mendapat respon yang sangat positif. Padahal, menurut Nuske Srie Sulstyowati, sang putri bungsu, usaha tersebut tadinya 'hanya' dijalankan demi mendukung kegiatan suami tercinta, alias tidak dimaksudkan sebagai bisnis yang bersifat komersil.
Jadi begitulah. Bisnis yang tadinya tidak dimaksudkan sebagai bisnis utama, akhirnya menjadi tulang punggung keluarga Sudibyo, bahkan mampu mengantarkan keempat putra-putri mereka ke jenjang pendidikan yang berkualitas. Tidak lama setelah dasawarsa 30-an, penjualan tiket mereka tidak hanya terbatas pada tiket-tiket film, tapi juga meluas pada tiket konser musik, teater, pagelaran tari, pertandingan sepakbola dan lain sebagainya. Adalah konser Bonnie M. pada tahun 1975, yang dipercaya menjadi konser musik pertama, dimana Ibu Dibyo berpartisipasi menjadi distributor tiketnya.
Bagaimana pola bisnis Ibu Dibyo setelah terkenal? "Jangan membayangkan struktur organisasi yang serba teratur, karena Ibu menjalankan usahanya dengan santai dan entah bagaimana, well-organized," ujar Nuske sambil tersenyum. Pola bisnis Ibu Dibyo dibangun dengan suasana kekeluargaan, di mana karyawan yang bekerja dengannya ada yang menetap di rumahnya. "Kantor kita pun bukan di gedung mewah, tapi di rumah," tambah Nuske.
Pada Maret 2002, Ibu Dibyo berpulang ke rahmatullah. Otomatis situasi ini "memaksa" putra-putrinya, yang tadinya benar-benar tidak mau tahu dengan usaha sang ibu, untuk bahu membahu, menjalankan usaha warisan sang ibu agar tidak kolaps. "Pada waktu itu, proses penjualan tiket sebuah pementasan musik sedang berjalan, dan otomatis konsentrasi kita harus terbagi-bagi antara mengurus pemakaman Ibu dan mengurus calon pembeli," ujar Nuske, mengenang.
"Setelah Ibu tiada, baru kami tahu bagaimana seorang Ibu Dibyo itu," senyum Nuske. "Soalnya sebelum itu, kami tuh benar-benar cuek dengna usaha itu, tahunya beres saja. Setelah Ibu tiada, dan kami berembuk untuk tetap meneruskan usaha Ibu, baru kami tahu kalau Ibu itu benar-benar hebat, bisa menjalankan usaha seperti ini sendirian," tambahnya. Adalah Nuske, dengan saudara-saudara kandungnya yang otomatis alih profesi menjadi Direktur Keuangan, tenaga Marketing, urusan Logistik dan Direktur Pengembangan Usaha.
Sudah banyak suka duka yang dialami Ibu Dibyo almarhum, dengan Ibu Dibyo Ticket Box-nya. "Sukanya kalau kita bisa menyediakan tiket yang benar-benar diidamkan seseorang. Pernah kita sampai bela-belain nggak nonton suatu pertunjukan, karena tiket terakhir diminta oleh seorang pelanggan. Karena Ibu orang yang nggak tegaan, akhirnya tiket itu diberikan ke orang tersebut," ujar Nuske mengenang sambil tersenyum.
Duka terjadi apabila panitia yang bekerjasama dengan mereka kurang profesional. "Pernah kita sudah menjualkan tiket, tapi tiba-tiba panitia membatalkan pertunjukan dengan alasan yang tidak jelas. Terpaksalah kita nombok untuk mengembalikan uang orang-orang," ungkapnya.
Kini, walaupun Ibu Dibyo sudah almarhum, namun kebesaran namanya sebagai penyedia ticket box, tetap dipertahankan oleh putra-putrinya. Ditambah dengan usaha toko bunga dan usaha batik yang juga berusaha dipertahankan untuk mengenang kebesaran nama Ibu Dibyo sendiri.
sumber: CBN (http://cyberjob.cbn.net.id/cbprtl/cyberjob/detail.aspx?x=Entrepreneurs&y=cyberjob|0|0|6|4)
[/quote][quote]
Usaha Tiket Ibu Dibjo Dilanjutkan Oleh Putri-Putrinya
Melanjutkan bisnis orangtua memang tidak segampang yang orang kira. Begitulah kira-kira yang saat ini dialami oleh Nuska Sri Sulistiyowati, putri ketiga ibu Dibyo (perempuan yang telah merintis bisnis penjualan tiket box). Praktis sejak ibu Dibyo meninggal, 13 Maret 2002 yang lalu, Nuska mau tidak mau harus melanjutkan bisnis yang telah dikelolah ibunya sejak tahun 1963.
Tentu saja Nuska sempat kewalahan saat pertama kali menghendel bisnis penjualan tiket ini. Pasalnya, selama ini dia tidak pernah �menyetuh� bisnis tiket tersebut. Ia menyerahkan semua urusan bisnis tersebut pada ibunya. Namun sejak orangtuanya meninggal, Nuska harus menghendel semua urusan administrasi bisnis penjualan tiket box yang sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Karena Nuska lebih kompeten di �dunia� perbankan, maka Nuska yang saat ini jadi Head of Treasury and Correspondent Banking di Bank Merincorp ini langsung mengambil alih masalah keuangan dengan menjadi direktur keuangan bisnis tiket Ibu Dibyo. Sementara urusan yang lain diserahkan kepada kedua saudaranya. �Baru sekarang saya merasa, betapa ibu begitu ulet dan telaten dalam menjalankan bisnis ini. Karena terus terang kita dituntut untuk benar-benar sabar menghadapi para pembeli. Apalagi kalau konsernya batal sementara tiket sudah ada di tangan pembeli, wah, bener-bener jadi masalah yang besar,� kata Nuska seraya tersenyum saat mengenang peristiwa tersebut.
Meski baru beberapa bulan Nuska mengambil alih jalannya bisnis tersebut, namun Nuskah optimis bahwa bisnis ini akan tetap bagus. Namun Numun sebagai orang baru yang menangani bisnis tersebut, Nuska mengalami banyak pengalaman baru yang tentunya sedikit membuatnya kerepotan. Apalagi ia tak hanya mengurusi bisnis penjualan tiket, tapi pekerjaan kantornya serta dua orang anaknya yang juga butuh perhatian dari dia. Tak heran jika Nuska yang memang sangat mencintai pekerjaan ini harus bisa benar-benar membagi waktu.
Namun karena kecintaan Nuska kepada ibunya, ia tak mau bisnis penjualan tiket, toko bunga serta bisnis lain yang telah dijalankan ibunya terbengkalai. Akhirnya Nuska harus rela melepas kegiatan rutinnya menjadi analis di salah satu program TV yang tajuk Market Review yang ditayangkan di Metro TV. Bahkan tak hanya kegiatan bisnis, Nuska juga harus mengurusi semua kegiatan sosial yang selama ini dijalani oleh orangtuanya.
�Capek juga sih sebenarnya, namun saya harus menjalaninya. Dan yang pasti saya harus bener-benar bisa membagi waktu saya, antara pekerjaan dan keluarga. Karena selama ini terus terang peran ibu saya terhadap keluarga, terutama dalam mengasuh dua anak saya sangat berarti sekali. Dan setelah ibu meninggal tanggung jawab yang harus saya pikul praktis makin besar,�terang Nuska.
Namun Nuska yakin bahwa seberat apapun pekerjaan yang ia hadapi asal dilakukan dengan tulus dan hati yang senang pasti akan membuahkan hasil.
SUMBER:
wordpress (http://escaflownz.wordpress.com/2009/05/02/ibu-dibyo-sang-ratu-tiket/)
www.ibudibjo.com (http://www.ibudibjo.com/browse/posts/5/about-us/)
</div>
[/spoiler][spoiler=open this] for logo:
http://i659.photobucket.com/albums/uu312/ferio1261/Picture1.png
Tiket dapat dipesan di Ibu Dibyo... nomor sekian-sekian.... Mungkin Anda sudah cukup familiar dengan bunyi pemberitahuan seperti di atas. Di mana ada pementasan musik, sudah bisa dipastikan nama Ibu Dibyo sebagai alternatif penyedia tiket, tercantum di dalamnya. Tidak hanya pagelaran musik, pementasan lain seperti pemutaran film, teater, opera dan lain-lain, Ibu Dibyo juga kerap menjadi distributornya. Sebenarnya siapa sih "Ibu Dibyo" ini?
http://cyberwoman.cbn.net.id/UserFiles/Image/cyberwoman/lama/smart_woman/Img_SmartWoman_103200252148PM.jpg
Ibu Dibyo bernama asli Ida Kurani Sudibyo, lahir tahun 1934 dan menikah dengan seseorang yang berdedikasi terhadap dunia pendidikan. Pada tahun 1963, suaminya bertekad untuk mendirikan sebuah sekolah (yang sekarang dikenal sebagai Lembaga Putra Kita, berlokasi di jalan Sukabumi, Menteng). Hal ini mendorong Ibu Dibyo untuk membantu suaminya mengumpulkan dana. Dibukalah jasa penjualan tiket, yang pada waktu itu, masih terbatas pada tiket-tiket bioskop. Kebetulan mereka memiliki kenalan yang menjadi importir film, yang memudahkan mereka mendapatkan akses kemudahan untuk mendapatkan tiket nonton. Usaha penjualan tiket mereka dimulai di sebuah pemutaran film bergengsi yang bertempat di Hotel Indonesia.
Tak disangka, usaha penjualan tiket yang mulanya dilakukan secara door to door tersebut, mendapat respon yang sangat positif. Padahal, menurut Nuske Srie Sulstyowati, sang putri bungsu, usaha tersebut tadinya 'hanya' dijalankan demi mendukung kegiatan suami tercinta, alias tidak dimaksudkan sebagai bisnis yang bersifat komersil.
Jadi begitulah. Bisnis yang tadinya tidak dimaksudkan sebagai bisnis utama, akhirnya menjadi tulang punggung keluarga Sudibyo, bahkan mampu mengantarkan keempat putra-putri mereka ke jenjang pendidikan yang berkualitas. Tidak lama setelah dasawarsa 30-an, penjualan tiket mereka tidak hanya terbatas pada tiket-tiket film, tapi juga meluas pada tiket konser musik, teater, pagelaran tari, pertandingan sepakbola dan lain sebagainya. Adalah konser Bonnie M. pada tahun 1975, yang dipercaya menjadi konser musik pertama, dimana Ibu Dibyo berpartisipasi menjadi distributor tiketnya.
Bagaimana pola bisnis Ibu Dibyo setelah terkenal? "Jangan membayangkan struktur organisasi yang serba teratur, karena Ibu menjalankan usahanya dengan santai dan entah bagaimana, well-organized," ujar Nuske sambil tersenyum. Pola bisnis Ibu Dibyo dibangun dengan suasana kekeluargaan, di mana karyawan yang bekerja dengannya ada yang menetap di rumahnya. "Kantor kita pun bukan di gedung mewah, tapi di rumah," tambah Nuske.
Pada Maret 2002, Ibu Dibyo berpulang ke rahmatullah. Otomatis situasi ini "memaksa" putra-putrinya, yang tadinya benar-benar tidak mau tahu dengan usaha sang ibu, untuk bahu membahu, menjalankan usaha warisan sang ibu agar tidak kolaps. "Pada waktu itu, proses penjualan tiket sebuah pementasan musik sedang berjalan, dan otomatis konsentrasi kita harus terbagi-bagi antara mengurus pemakaman Ibu dan mengurus calon pembeli," ujar Nuske, mengenang.
"Setelah Ibu tiada, baru kami tahu bagaimana seorang Ibu Dibyo itu," senyum Nuske. "Soalnya sebelum itu, kami tuh benar-benar cuek dengna usaha itu, tahunya beres saja. Setelah Ibu tiada, dan kami berembuk untuk tetap meneruskan usaha Ibu, baru kami tahu kalau Ibu itu benar-benar hebat, bisa menjalankan usaha seperti ini sendirian," tambahnya. Adalah Nuske, dengan saudara-saudara kandungnya yang otomatis alih profesi menjadi Direktur Keuangan, tenaga Marketing, urusan Logistik dan Direktur Pengembangan Usaha.
Sudah banyak suka duka yang dialami Ibu Dibyo almarhum, dengan Ibu Dibyo Ticket Box-nya. "Sukanya kalau kita bisa menyediakan tiket yang benar-benar diidamkan seseorang. Pernah kita sampai bela-belain nggak nonton suatu pertunjukan, karena tiket terakhir diminta oleh seorang pelanggan. Karena Ibu orang yang nggak tegaan, akhirnya tiket itu diberikan ke orang tersebut," ujar Nuske mengenang sambil tersenyum.
Duka terjadi apabila panitia yang bekerjasama dengan mereka kurang profesional. "Pernah kita sudah menjualkan tiket, tapi tiba-tiba panitia membatalkan pertunjukan dengan alasan yang tidak jelas. Terpaksalah kita nombok untuk mengembalikan uang orang-orang," ungkapnya.
Kini, walaupun Ibu Dibyo sudah almarhum, namun kebesaran namanya sebagai penyedia ticket box, tetap dipertahankan oleh putra-putrinya. Ditambah dengan usaha toko bunga dan usaha batik yang juga berusaha dipertahankan untuk mengenang kebesaran nama Ibu Dibyo sendiri.
sumber: CBN (http://cyberjob.cbn.net.id/cbprtl/cyberjob/detail.aspx?x=Entrepreneurs&y=cyberjob|0|0|6|4)
[/quote][quote]
Usaha Tiket Ibu Dibjo Dilanjutkan Oleh Putri-Putrinya
Melanjutkan bisnis orangtua memang tidak segampang yang orang kira. Begitulah kira-kira yang saat ini dialami oleh Nuska Sri Sulistiyowati, putri ketiga ibu Dibyo (perempuan yang telah merintis bisnis penjualan tiket box). Praktis sejak ibu Dibyo meninggal, 13 Maret 2002 yang lalu, Nuska mau tidak mau harus melanjutkan bisnis yang telah dikelolah ibunya sejak tahun 1963.
Tentu saja Nuska sempat kewalahan saat pertama kali menghendel bisnis penjualan tiket ini. Pasalnya, selama ini dia tidak pernah �menyetuh� bisnis tiket tersebut. Ia menyerahkan semua urusan bisnis tersebut pada ibunya. Namun sejak orangtuanya meninggal, Nuska harus menghendel semua urusan administrasi bisnis penjualan tiket box yang sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Karena Nuska lebih kompeten di �dunia� perbankan, maka Nuska yang saat ini jadi Head of Treasury and Correspondent Banking di Bank Merincorp ini langsung mengambil alih masalah keuangan dengan menjadi direktur keuangan bisnis tiket Ibu Dibyo. Sementara urusan yang lain diserahkan kepada kedua saudaranya. �Baru sekarang saya merasa, betapa ibu begitu ulet dan telaten dalam menjalankan bisnis ini. Karena terus terang kita dituntut untuk benar-benar sabar menghadapi para pembeli. Apalagi kalau konsernya batal sementara tiket sudah ada di tangan pembeli, wah, bener-bener jadi masalah yang besar,� kata Nuska seraya tersenyum saat mengenang peristiwa tersebut.
Meski baru beberapa bulan Nuska mengambil alih jalannya bisnis tersebut, namun Nuskah optimis bahwa bisnis ini akan tetap bagus. Namun Numun sebagai orang baru yang menangani bisnis tersebut, Nuska mengalami banyak pengalaman baru yang tentunya sedikit membuatnya kerepotan. Apalagi ia tak hanya mengurusi bisnis penjualan tiket, tapi pekerjaan kantornya serta dua orang anaknya yang juga butuh perhatian dari dia. Tak heran jika Nuska yang memang sangat mencintai pekerjaan ini harus bisa benar-benar membagi waktu.
Namun karena kecintaan Nuska kepada ibunya, ia tak mau bisnis penjualan tiket, toko bunga serta bisnis lain yang telah dijalankan ibunya terbengkalai. Akhirnya Nuska harus rela melepas kegiatan rutinnya menjadi analis di salah satu program TV yang tajuk Market Review yang ditayangkan di Metro TV. Bahkan tak hanya kegiatan bisnis, Nuska juga harus mengurusi semua kegiatan sosial yang selama ini dijalani oleh orangtuanya.
�Capek juga sih sebenarnya, namun saya harus menjalaninya. Dan yang pasti saya harus bener-benar bisa membagi waktu saya, antara pekerjaan dan keluarga. Karena selama ini terus terang peran ibu saya terhadap keluarga, terutama dalam mengasuh dua anak saya sangat berarti sekali. Dan setelah ibu meninggal tanggung jawab yang harus saya pikul praktis makin besar,�terang Nuska.
Namun Nuska yakin bahwa seberat apapun pekerjaan yang ia hadapi asal dilakukan dengan tulus dan hati yang senang pasti akan membuahkan hasil.
SUMBER:
wordpress (http://escaflownz.wordpress.com/2009/05/02/ibu-dibyo-sang-ratu-tiket/)
www.ibudibjo.com (http://www.ibudibjo.com/browse/posts/5/about-us/)
</div>