PDA

View Full Version : all about SOE HOK GIE


kumisfauzi
27th May 2012, 03:24 PM
[/spoiler] for sekilas tentang soe hok gie:




Ketika Mira Lesmana dan Riri Riza menggarap film Gie, Soe Hok Gie, sudah 36 tahun terlelap dalam tidur abadinya. Buku hariannya Catatan Harian Seorang Demonstran sudah 10 tahun menghilang dari toko buku.







Wajar saja jika pertanyaan �Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.







MELAMUN DI ATAS GENTING

�Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.







�Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. �Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.







Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.







BERANI MENGKRITIK



Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.







Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.







Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat �gaul. �Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! �, kata Badil.







TEWAS DI PUNCAK SEMERU

�Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.







Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.







Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. �Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.



Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.







�Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.










for penampakan SOE HOK GIE:




http://img141.imageshack.us/i/aaaz.jpg/http://img861.imageshack.us/i/24001443.jpg/http://img857.imageshack.us/i/indexc.jpg/









berikut ini sebagian hasil karya SOE HOK GIE


for hasil karya GIE:




Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu

aku datang kembali

kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu



walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna

aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan

dan aku terima kau dalam keberadaanmu

seperti kau terima daku



aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi

sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada

hutanmu adalah misteri segala

cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta



malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali

Dan bicara padaku tentang kehampaan semua



"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar

'terimalah dan hadapilah



dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara

aku terima ini semua

melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu



aku cinta padamu Pangrango

karena aku cinta pada keberanian hidup



Jakarta 19-7-1966










for hasil karya GIE:




Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa



pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.



Apakah kau masih berbicara selembut dahulu



memintaku minum susu dan tidur yang lelap?



sambil membenarkan letak leher kemejaku.







(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, kenbah Mandalawangi.



kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram



meresapi belaian angin yang menjadi dingin)



Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu



ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,



lebih dekat.



(lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi



kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya



kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara



ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)



apakah kau masih akan berkata



kudengar derap jantungmu



kita begitu berbeda dalam semua



kecuali dalam cinta



(haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram



wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara



dalam bahasa yang tidak kita mengerti



seperti kabut pagi itu)



manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan



dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.







Soe Hok Gie



Selasa, 1 April 1969











buat yang udah ISO boleh dong timpukin TS pake


for ijo-ijo:




:melonndan:l









TS nggak mau di timpukin pake


for merah-merah:




:cabendan:









buat yang belom ISO bantu


for bintang:




:rate5









juga TS minta maaf kalo


[spoiler=open this] for repsol:




:repost:







</div>