Log in

View Full Version : �Agama� Digital di �Gereja� Google


golputaja
27th May 2012, 03:08 PM
Sumber: www.mizan.com (http://www.mizan.com)



�Agama� Digital di �Gereja� Google


Akhir-akhir ini, digitalisasi gencar menyusupi setiap sendiri kehidupan kita. Dunia kita saat ini adalah dunia yang berada dalam segenggam tangan dan digerakkan oleh satu telunjuk jari di handphone atau tablet. Internet dan semua perangkatnya (device) kini bukan lagi barang mewah yang sifatnya penunjang, tapi nyaris menjadi kebutuhan. Maka, sebuah perusahaan penyedia jasa internet berkomitmen dalam iklannya untuk menyajikan �internet murah untuk rakyat�. Wali Kota Solo (Joko Widodo) juga berkomitmen untuk menyediakan layanan internet gratis di hampir seluruh jalan utama di Kota Solo yang totalnya mencapai 10 km. Dan kini di Jakarta dan sekitarnya, untuk memesan ojek pun kita sudah bisa melakukannya secara online. Hal itu merupakan sederetan fenomena tentang begitu gencar dan cepatnya gelombang digitalisasi melanda kita. Jika dibutuhkan waktu berabad-abad untuk beranjaknya budaya berkuda ke mesin uap, maka hanya dibutuhkan waktu beberapa tahun saja digitalisasi akan menguasai dunia tempat kita hidup saat ini.



Dan ironisnya, gelombang digitalisasi ini bukan hanya mempengaruhi media komunikasi dan informasi saja. Namun, gelombang itu juga berpotensi �mencuri� konsentrasi kita sebagai manusia independen lalu mengubah gaya hidup dan bahkan cara berpikir kita. Misalnya, kini kita akan banyak dapati individu di jalanan, kantor, terminal atau angkutan umum yang �khusyuk� dengan handphone atau tablet-nya; BBM-an, Twitter-an, Facebook-an, chating-an, dll. Dan itu berarti, entah disadari, konsentrasi kita �dicuri� sepenuhnya oleh gadget kita. Misalnya, otak manusia yang pada dasarnya bersifat serial, diubah menjadi pararlel sesuai dengan sistem kerja prosesor. Atau, missal lainnya, kita menjadi lebih �bersahabat� dengan teman maya kita di dalam gadget dan membengkalaikan teman yang berada di samping kita. Akhirnya, kita dibuat tak lagi independen dan in commond atas diri kita, namun kita dikendalikan dan �diperbudak� oleh gadget. Tak jelas lagi; gadget yang melayani dan memudahkan kita atau kita yang dipaksa memenuhi tuntutan gadget yang berbunyi setiap saat. Sapa tuan dan sapa pelayan menjadi samar-samar.



Jika mengacu pada pandangan Erich Fromm, seorang pakar psikologi sosial dan seorang pemikir modern, tentang tema agama dalam karyanya yang berjudul Psychoanalysis and Religion (1950), agama mencakup apa saja yang dijadikan sistem berpikir dan bertindak, di mana seseorang menempatkan sesuatu sebagai kerangka orientasi dan objek sesembahan. Religion berasal dari kata religere yang berarti mengikat dan tergantung. Sehingga, jika kita kemudian berparadigma sesuai sistem kerja gadget, konsentrasi kita direbut olehnya dan kita menjadi terikat dan dikendalikan olehnya, maka itu sama artinya ia telah menjadikan perangkat digital sebagai �agama�-nya.



Lalu, di manakah para penganut �agama� digital ini �beribadah�? Nicholas Carr dalam karya terbarunya yang berjudul �The Shallows; Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?� menyebut Google sebagai �gereja� bagi para penganut �agama� digital ini. Dan Google bukan hanya menjadi �kiblat� bagi mereka, namun akses informasi yang berlimpah yang terkandung di dalamnya menjadikannya sebagai �kiblat� bagi mahasiswa, professional hingga pengusaha untuk menunjang karirnya.



Ke depan, seiring dengan terus bergeraknya peradaban kita ke era digital, beragam kejutan-kejutan yang mungkin jauh lebih mengagetkan akan muncul dari dalam gadget kita. Ada yang mungkin menyadarinya, tapi pasti akan lebih banyak yang tak menyadarinya.

</div>