kumisfauzi
27th May 2012, 03:00 PM
Kritik tajam Busyro Muqoddas terhadap para politikus semestinya membuat mereka merasa tertampar sekaligus malu. Lewat pidato kebudayaan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini menelanjangi perilaku politikus yang pragmatis dan hedonis. Sikap politikus Senayan yang seolah berkukuh bahwa kecaman ini tidak benar, bahkan cenderung menyerang balik, justru semakin memperlihatkan sisi buruk mereka.
Para politikus seharusnya mencermati pokok pikiran yang disampaikan Busyro dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, belum lama ini. Ia menyoroti praktek politik dagang sapi yang berbiaya tinggi. Ini mengakibatkan jabatan publik disikapi sebagai sarana untuk pengembalian, bahkan pelipatgandaan modal awal. Di titik ini, menurut Busyro, niat jahat korupsi telah muncul. Mereka pun akhirnya terjebak dalam sikap pragmatis sekaligus hedonis.
Ketua KPK itu juga mengecam politikus yang kerap menyerang lembaga yang dipimpinnya. Ia menganggap politikus tersebut memiliki sifat yang bisa diubah-ubah alias karakter esuk dele, sore tempe, malam onde-onde. Bahkan, kata Busyro, mereka pernah menuduh KPK sebagai alat politik penguasa, sarang mafia, loyo, sudah dibeli, pembohong, dan perampok. Dengan alasan yang ngawur ini, kalangan Senayan kemudian berupaya mengebiri wewenang KPK.
Menanggapi kritik itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie justru menyerang balik. Ia meminta Ketua KPK tidak banyak bicara atau komentar. Marzuki menyarankan agar Busyro memberikan bukti bahwa KPK bisa berbuat banyak untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Di antaranya, kata Ketua DPR, dengan upaya pencegahan dan pengungkapan kasus-kasus besar korupsi yang selama ini tidak tersentuh.
Cara Marzuki menanggapi kritik seolah justru membenarkan deskripsi Busyro mengenai politikus kita. Kenapa Ketua DPR tak mau secuil pun menghargai pandangan Busyro? Bukankah soal mengembalikan modal atau biaya politik dengan cara korupsi, misalnya, merupakan hal yang sudah menjadi rahasia umum? Bukankah manuver anggota memereteli wewenang KPK dengan berbagai macam dalih selama ini memang terjadi?
Publik justru akan mempertanyakan keinginan Ketua DPR agar Busyro memberikan bukti bahwa KPK bisa berbuat banyak. Permintaan seperti ini terkesan basa-basi lantaran realitas menunjukkan sebaliknya. Semakin serius dan semakin gencar lembaga ini membongkar korupsi, justru akan semakin keras politikus menyerangnya. Bahkan mereka bereaksi amat berlebihan ketika KPK memeriksa pemimpin Badan Anggaran DPR.
Seharusnya kalangan DPR dan partai politik berkaca diri. Sebab, hanya dengan menyadari bahwa mereka terperangkap dalam praktek politik kumuh, para politikus terdorong untuk memperbaiki keadaan. Caranya tentu dengan membuat aturan atau undang-undang yang memungkinkan transaksi politik dagang sapi dan berbiaya tinggi bisa dicegah.
Sebaliknya, sikap menutup-nutupi kebobrokan justru akan membuat politikus kita semakin jauh terperosok dalam praktek kotor. Mereka akan cenderung membangun gerakan melindungi korupsi, serta menyerang dan melemahkan KPK dengan segala cara, fenomena yang dengan gamblang digambarkan oleh Busyro dalam pidato itu.
---------------------------------------------------------------------
JUKI.. JUKI..... GW MUAK LIAT MUKA LOE !!!
</div>
Para politikus seharusnya mencermati pokok pikiran yang disampaikan Busyro dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, belum lama ini. Ia menyoroti praktek politik dagang sapi yang berbiaya tinggi. Ini mengakibatkan jabatan publik disikapi sebagai sarana untuk pengembalian, bahkan pelipatgandaan modal awal. Di titik ini, menurut Busyro, niat jahat korupsi telah muncul. Mereka pun akhirnya terjebak dalam sikap pragmatis sekaligus hedonis.
Ketua KPK itu juga mengecam politikus yang kerap menyerang lembaga yang dipimpinnya. Ia menganggap politikus tersebut memiliki sifat yang bisa diubah-ubah alias karakter esuk dele, sore tempe, malam onde-onde. Bahkan, kata Busyro, mereka pernah menuduh KPK sebagai alat politik penguasa, sarang mafia, loyo, sudah dibeli, pembohong, dan perampok. Dengan alasan yang ngawur ini, kalangan Senayan kemudian berupaya mengebiri wewenang KPK.
Menanggapi kritik itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie justru menyerang balik. Ia meminta Ketua KPK tidak banyak bicara atau komentar. Marzuki menyarankan agar Busyro memberikan bukti bahwa KPK bisa berbuat banyak untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Di antaranya, kata Ketua DPR, dengan upaya pencegahan dan pengungkapan kasus-kasus besar korupsi yang selama ini tidak tersentuh.
Cara Marzuki menanggapi kritik seolah justru membenarkan deskripsi Busyro mengenai politikus kita. Kenapa Ketua DPR tak mau secuil pun menghargai pandangan Busyro? Bukankah soal mengembalikan modal atau biaya politik dengan cara korupsi, misalnya, merupakan hal yang sudah menjadi rahasia umum? Bukankah manuver anggota memereteli wewenang KPK dengan berbagai macam dalih selama ini memang terjadi?
Publik justru akan mempertanyakan keinginan Ketua DPR agar Busyro memberikan bukti bahwa KPK bisa berbuat banyak. Permintaan seperti ini terkesan basa-basi lantaran realitas menunjukkan sebaliknya. Semakin serius dan semakin gencar lembaga ini membongkar korupsi, justru akan semakin keras politikus menyerangnya. Bahkan mereka bereaksi amat berlebihan ketika KPK memeriksa pemimpin Badan Anggaran DPR.
Seharusnya kalangan DPR dan partai politik berkaca diri. Sebab, hanya dengan menyadari bahwa mereka terperangkap dalam praktek politik kumuh, para politikus terdorong untuk memperbaiki keadaan. Caranya tentu dengan membuat aturan atau undang-undang yang memungkinkan transaksi politik dagang sapi dan berbiaya tinggi bisa dicegah.
Sebaliknya, sikap menutup-nutupi kebobrokan justru akan membuat politikus kita semakin jauh terperosok dalam praktek kotor. Mereka akan cenderung membangun gerakan melindungi korupsi, serta menyerang dan melemahkan KPK dengan segala cara, fenomena yang dengan gamblang digambarkan oleh Busyro dalam pidato itu.
---------------------------------------------------------------------
JUKI.. JUKI..... GW MUAK LIAT MUKA LOE !!!
</div>