kumisfauzi
27th May 2012, 02:48 PM
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
[/quote]
BANTU RATE DULU YA GAN :rate5
http://cdn-u.kaskus.co.id/43/k6kpmeom.gif
NEILHOJA
=================================
TRIT INI ANE BUAT KARENA INGIN MENCOBA MENDISKUSIKAN BEBERAPA KESIMPULAN DARI TRIT SEBELAH
http://ceriwis.us/showthread.php?t=8523232
Sebelumnya ada beberapa Rules yang perlu kita pahami bersama lebih dulu;
Pertama;
Bedakan antara TEORI dan REALITA.
Ketika kita menyebut bank syariah, maka yang kita maksud adalah sebuah gambaran tentang bank syariah yang didalamnya termasuk teori, skema, ideologis dan teknis. Tapi tidak berlaku, alias tidak termasuk di dalamnya, kasus, kejadian, satu bank syariah, dan fakta!
Bila sudah memahami dan maklum dengan gambaran ini, silahkan menuju rules berikutnya.
Kedua;
Kita sedang dan akan BERDISKUSI; bukan DEBAT KUSIR.
Dalam trit ini, kita akan bertukar pikiran dan saling mengisi dan membenarkan bila ada yang salah atau kurang pas. BUKAN, sekali lagi... BUKAN untuk hanya mengatakan pendapat saya ini benar dan kamu salah. Karenanya, sangat diharapkan apa yang disampaikan di sini adalah berlandaskan ILMU, bukan hanya kata si A atau kata si B. Kalaupun mengutip, maka harus menyebutkan kutipan asli berikut alur pemikirannya!
Ketiga;
Dalam trit ini, yang akan kita bahas adalah TEORI, bukan REALITA!
Tanpa mengesampingkan pentingnya realita, namun kali ini, TS hanya ingin mendiskusikan apa yang sebenarnya pokok dan menghilangkan yang cabang-cabang. Ini agar kita dapat menyaring, mana yang bersumber dari PELAKU dan mana yang IDEAL! Kesalahan dan tindak-tanduk pelaku dalam sebuah kasus atau kejadian, bila melanggar TEORI dan ATURAN.. maka tempatnya adalah kepada BI dan DSN atau DPS SETEMPAT.. bukan CURHAT di trit ini. :)
Keempat;
Atas nama pengembangan dan sarana diskusi lebih lanjut diharapkan GAK ADA yang posting antara post 2-6. HARAP MAKLUM.
Selanjutnya, sesuai dengan maksud dan tujuan dari TRIT ini, maka kita mulai saja pembahasan tukar pikiran 'tuduhan' yang diposting di trit sebelah.
Tinjauan Pertama: Status Perbankan Yang Tidak Jelas.
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim, bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Sekilas, hal ini tidak menjadi masalah, padahal masalah ini adalah masalah besar yang perlu ditinjau ulang. Sebab, perbankan dalam hal ini memainkan status ganda yang saling bertentangan. Untuk menjelaskan permasalahan ini, lihatlah skema berikut:
http://img810.imageshack.us/img810/3103/skemao.jpg
Sebuah pandangan sempit dan gak ngerti asas masalah. Bank syariah itu memiliki banyak sekali jenis akad. Mudharabah hanya salah satunya. Ia dalam dunia perbankan dikenal sebagai istilah profit and loss sharing, saling berbagi keuntungan dan kerugian.
Ada akad murabahah, ada akad wakalah, ada akad salam, istisna' dsb. Dan ini artinya, perbankan syariah dengan jelas-jelas telah memosisikan dirinya sebagai perbankan yang segala tindakannya sesuai prinsip syariah. Apa saja prinsip syariah? Ada tujuh;
1. Tidak mencari rezeki pada hal-hal yang haram, baik dari segi dzatnya maupun cara
mendapatkannya serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram pula;
2. Tidak menzalimi dan tidak dizalimi;
3. Keadilan pendistribusian kemakmuran;
4. Transaksi dilakukan atas dasar ridho sama ridho;
5. Tidak ada unsur riba (tambahan atas harta pokok tanpa adannya transaksi yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil /sesuai syariah);
6. Tidak ada unsur maysir (perjudian);
7. Tidak ada unsur gharar (ketidak jelasan/samar-samar).
Dan yang diharamkan dalam mudharabah oleh Imam Nawawi adalah ketika uang yang dimudharabahkan oleh sahibul mal, alias nasabah itu kemudian disalurkan lagi kepada orang lain tanpa adanya bentuk usaha. nah sekarang, apakah perbankan itu tidak mengadakan kegiatan usaha?
bank syariah juga melakukan murabahah, juga melakukan ijarah (sewa), istisna', wakalah, L/C, dsb. silahkan merujuk pada situs MUI untuk melihat lebih jauh apa arti dari istilah2 tersebut.
Tinjauan Kedua: Bank Tidak Memiliki Usaha Riil.
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta'ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak beresiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada �biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah [metode ini menjadikan kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba-lomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan, beberapa negara kafir tersebut �misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah MODAL melansir pernyataan Bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI kala itu): Tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi non-syariah, karena itu hanya soal penamaan saja. (Majalah MODAL no. 18/II April 2004, hal. 19)].
Anda melihat bank syariah seperti bank konvensional. Seperti yang sudah saya sebutkan, bank syariah benar-benar mengadakan usaha riil. Seperti jual beli, dll. Lebih lengkap, lihatlah outlook terbaru bank syariah di situs bank Indonesia.
Untuk kasus mudharabah, sudah saya jawab di atas.
[quote]
Tinjauan Ketiga: Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Andaikata kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi utang piutang yang berbunga alias riba.
Lagi-lagi sebuah pernyataan karena tidak memahami sebuah akad. Dalam akad mudharabah, justru bentuk yang terjadi adalah yad amanah, artinya, bila tanpa sengaja terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pihak pemilik uang yang menginvestasikan. Dalam kasus Pak Ahmad, maka yang menanggung adalah bank syariah..
Pesan saya, pahamilah dan belajar sesuatu dari sumber yang dapat dipercaya. Dalam kasus bank Syariah, maka tanyakan kepada DPS (Dewan Pengawas Syariah) di bank-bank syariah terdekat di Kota Anda, atau DSN MUI (Dewan Syariah Nasional MUI), atau kepada Direktorat Perbankan Syariah di BI.
Wallahu a'lamu.
</div>
[/quote]
BANTU RATE DULU YA GAN :rate5
http://cdn-u.kaskus.co.id/43/k6kpmeom.gif
NEILHOJA
=================================
TRIT INI ANE BUAT KARENA INGIN MENCOBA MENDISKUSIKAN BEBERAPA KESIMPULAN DARI TRIT SEBELAH
http://ceriwis.us/showthread.php?t=8523232
Sebelumnya ada beberapa Rules yang perlu kita pahami bersama lebih dulu;
Pertama;
Bedakan antara TEORI dan REALITA.
Ketika kita menyebut bank syariah, maka yang kita maksud adalah sebuah gambaran tentang bank syariah yang didalamnya termasuk teori, skema, ideologis dan teknis. Tapi tidak berlaku, alias tidak termasuk di dalamnya, kasus, kejadian, satu bank syariah, dan fakta!
Bila sudah memahami dan maklum dengan gambaran ini, silahkan menuju rules berikutnya.
Kedua;
Kita sedang dan akan BERDISKUSI; bukan DEBAT KUSIR.
Dalam trit ini, kita akan bertukar pikiran dan saling mengisi dan membenarkan bila ada yang salah atau kurang pas. BUKAN, sekali lagi... BUKAN untuk hanya mengatakan pendapat saya ini benar dan kamu salah. Karenanya, sangat diharapkan apa yang disampaikan di sini adalah berlandaskan ILMU, bukan hanya kata si A atau kata si B. Kalaupun mengutip, maka harus menyebutkan kutipan asli berikut alur pemikirannya!
Ketiga;
Dalam trit ini, yang akan kita bahas adalah TEORI, bukan REALITA!
Tanpa mengesampingkan pentingnya realita, namun kali ini, TS hanya ingin mendiskusikan apa yang sebenarnya pokok dan menghilangkan yang cabang-cabang. Ini agar kita dapat menyaring, mana yang bersumber dari PELAKU dan mana yang IDEAL! Kesalahan dan tindak-tanduk pelaku dalam sebuah kasus atau kejadian, bila melanggar TEORI dan ATURAN.. maka tempatnya adalah kepada BI dan DSN atau DPS SETEMPAT.. bukan CURHAT di trit ini. :)
Keempat;
Atas nama pengembangan dan sarana diskusi lebih lanjut diharapkan GAK ADA yang posting antara post 2-6. HARAP MAKLUM.
Selanjutnya, sesuai dengan maksud dan tujuan dari TRIT ini, maka kita mulai saja pembahasan tukar pikiran 'tuduhan' yang diposting di trit sebelah.
Tinjauan Pertama: Status Perbankan Yang Tidak Jelas.
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim, bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang mereka jalankan. Baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, atau transaksi antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Sekilas, hal ini tidak menjadi masalah, padahal masalah ini adalah masalah besar yang perlu ditinjau ulang. Sebab, perbankan dalam hal ini memainkan status ganda yang saling bertentangan. Untuk menjelaskan permasalahan ini, lihatlah skema berikut:
http://img810.imageshack.us/img810/3103/skemao.jpg
Sebuah pandangan sempit dan gak ngerti asas masalah. Bank syariah itu memiliki banyak sekali jenis akad. Mudharabah hanya salah satunya. Ia dalam dunia perbankan dikenal sebagai istilah profit and loss sharing, saling berbagi keuntungan dan kerugian.
Ada akad murabahah, ada akad wakalah, ada akad salam, istisna' dsb. Dan ini artinya, perbankan syariah dengan jelas-jelas telah memosisikan dirinya sebagai perbankan yang segala tindakannya sesuai prinsip syariah. Apa saja prinsip syariah? Ada tujuh;
1. Tidak mencari rezeki pada hal-hal yang haram, baik dari segi dzatnya maupun cara
mendapatkannya serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram pula;
2. Tidak menzalimi dan tidak dizalimi;
3. Keadilan pendistribusian kemakmuran;
4. Transaksi dilakukan atas dasar ridho sama ridho;
5. Tidak ada unsur riba (tambahan atas harta pokok tanpa adannya transaksi yang
melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil /sesuai syariah);
6. Tidak ada unsur maysir (perjudian);
7. Tidak ada unsur gharar (ketidak jelasan/samar-samar).
Dan yang diharamkan dalam mudharabah oleh Imam Nawawi adalah ketika uang yang dimudharabahkan oleh sahibul mal, alias nasabah itu kemudian disalurkan lagi kepada orang lain tanpa adanya bentuk usaha. nah sekarang, apakah perbankan itu tidak mengadakan kegiatan usaha?
bank syariah juga melakukan murabahah, juga melakukan ijarah (sewa), istisna', wakalah, L/C, dsb. silahkan merujuk pada situs MUI untuk melihat lebih jauh apa arti dari istilah2 tersebut.
Tinjauan Kedua: Bank Tidak Memiliki Usaha Riil.
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta'ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak beresiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada �biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah [metode ini menjadikan kita kesulitan untuk mendapatkan perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Dan mungkin inilah yang menjadikan negara-negara kafir pun ikut berlomba-lomba mendirikan perbankan syariah. Bahkan, beberapa negara kafir tersebut �misalnya Singapura- telah memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Majalah MODAL melansir pernyataan Bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI kala itu): Tidak ada istilah ekonomi syariah dan ekonomi non-syariah, karena itu hanya soal penamaan saja. (Majalah MODAL no. 18/II April 2004, hal. 19)].
Anda melihat bank syariah seperti bank konvensional. Seperti yang sudah saya sebutkan, bank syariah benar-benar mengadakan usaha riil. Seperti jual beli, dll. Lebih lengkap, lihatlah outlook terbaru bank syariah di situs bank Indonesia.
Untuk kasus mudharabah, sudah saya jawab di atas.
[quote]
Tinjauan Ketiga: Bank Tidak Siap Menanggung Kerugian.
Andaikata kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi utang piutang yang berbunga alias riba.
Lagi-lagi sebuah pernyataan karena tidak memahami sebuah akad. Dalam akad mudharabah, justru bentuk yang terjadi adalah yad amanah, artinya, bila tanpa sengaja terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pihak pemilik uang yang menginvestasikan. Dalam kasus Pak Ahmad, maka yang menanggung adalah bank syariah..
Pesan saya, pahamilah dan belajar sesuatu dari sumber yang dapat dipercaya. Dalam kasus bank Syariah, maka tanyakan kepada DPS (Dewan Pengawas Syariah) di bank-bank syariah terdekat di Kota Anda, atau DSN MUI (Dewan Syariah Nasional MUI), atau kepada Direktorat Perbankan Syariah di BI.
Wallahu a'lamu.
</div>