jokowikotak
27th May 2012, 02:46 PM
[/quote]
Ane pengen share tulisan ini gan, tulisanny bagus meskipun lebaran udah lewat,,,
Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin
[/spoiler][spoiler=open this] for sumber:
http://www.kafeastronomi.com/beda-lebaran-bukan-persoalan-hisab-vs-rukyat.html
http://www.kafeastronomi.com/wp-content/uploads/2011/08/DSCN1457.jpg
Sejak saat menyiapkan peralatan, komputer, kamera pencitra dan tetek bengek lainnya di lokasi pos observasi Bulan pantai Logending kabupaten Kebumen (Jawa Tengah), pesan demi pesan secara beruntun masuk ke ponsel kami, baik secara literal maupun oral. Pun demikian tatkala proses observasi Bulan sedang berlangsung selama 7 menit selepas pukul 17:42 WIB. Karena lebih berkonsentrasi menyelesaikan proses observasi dan demi menghormati rekan-rekan sesama pengamat yang dengan takzim melaksanakan tugasnya, sebagai tim gabungan yang mewadahi Kementerian Agama dan Badan Hisab Rukyat Daerah dari Kebumen, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga dengan Kebumen (secara de facto) ditunjuk sebagai koordinator, maka kami memilih mengabaikan sementara pesan demi pesan tersebut. Begitu pula tatkala observasi telah usai, ponsel hanya digunakan untuk mengirim laporan situasi dan hasil observasi ke nomor kontak Kementerian Agama RI di Jakarta, sebagai bahan dalam pelaksanaan sidang itsbat.
Observasi di Logending menyajikan hasil negatif. Ketika diperhitungkan Matahari terbenam pada pukul 17:42 WIB, faktanya Matahari sudah tak terlihat lagi sejak pukul 17:28 WIB akibat tertutupi mendung demikian tebal di cakrawala, yang menutup hampir di semua bagian hingga ketinggian 5 derajat. Situasi ini sudah diduga sebelumnya, sebab meskipun secara teknis kita di Indonesia masih menjalani musim kemarau, atmosfer Asia Tenggara sedang bergolak hebat akibat berkecamuknya badai supertopan Nanmadol di perairan lepas pantai Filipina. Meski pusat badai berada di luar Indonesia, namun aliran angin yang membawa awan menuju pusaran badai menyebabkan sebagian Indonesia mendapatkan tutupan awan dan bahkan hujan.
Namun, andaikata badai ini tak berkecamuk dan langit di lokasi observasi demikian sempurna sehingga tak ada tutupan awan sama sekali, hilaal yang dicari pun bakalan tak terlihat dengan tingkat akurasi lebih dari 75 %. Model matematis prediktif tentang hilaal yang termutakhir, yang diolah dengan memanfaatkan data � data observasi sejak masa Babilonia (2.600 tahun silam), masa pasca Rasulullah SAW hingga sekarang menyimpulkan hal demikian. Tinggi hilaal di Logending diperhitungkan hanya 1,5 derajat dengan jarak sudut (elongasi) terlalu dekat terhadap Matahari, yakni 6,6 derajat, menyebabkan intensitas cahaya hilaal lebih rendah dibanding intensitas cahaya senja (langit dilatarbelakangnya). Hilaal hanya bisa terlihat tatkala intensitas cahayanya melebihi cahaya senja serta lebih besar dibanding ambang batas kontras Blackwell. Jadi ada tiga faktor yang bekerja saling menopang dalam hal terlihat atau tidaknya hilaal, yakni faktor astronomis (posisi Bulan dan Matahari), faktor meteorologis (sifat optis atmosfer Bumi yang menyajikan pemandangan cahaya senja) dan faktor fisiologis (yakni sifat mata manusia dengan ambang batas kontrasnya).
Sayangnya, sangat sedikit (untuk tidak mengatakan tidak ada) komunitas Umat Islam dalam lingkup global yang mendasarkan keputusan penentuan 1 Syawwalnya dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan termutakhir seperti tersebut. Mayoritas lebih menyukai konsep hilaal asumtif, yang sepenuhnya hanyalah asumsi (tanpa pernah dibuktikan) dengan dasar-dasar yang terkesan �maksa� dengan landasan yang tidak benar-benar berada dalam ranah astronomis, meteorologis dan fisiologis, namun lebih menyentuh ke filosofis dan bahkan sosiologis. Dan karena antara satu komunitas dengan yang lainnya menggunakan asumsi-asumsi yang berbeda-beda, maka tak pelak perbedaan penentuan 1 Syawwal pun terjadilah.
Usai berbuka puasa dan dalam perjalanan kembali dari pos observasi, barulah ponsel kami buka. Pesan demi pesan tersebut bernada sama : kapan lebarannya? Semuanya juga dijawab dengan nada yang sama : silahkan lihat hasil sidang itsbat yang disiarkan langsung di sejumlah televisi. Sebagai tim observasi, tugas kami di lapangan lebih terfokus kepada proses dan pelapoan hasil observasi sebagai bahan sidang istbat, sementara forum sidang itsbat-lah yang berhak menentukan pengambilan keputusan. Dan tatkala sidang itsbat menetapkan 1 Syawwal 1432 H bagi Indonesia bertepatan dengan Rabu 31 Agustus 2011, ya demikianlah faktanya, karena dari ratusan titik observasi di Indonesia (tidak hanya dari Logending), tak satupun yang melaporkan terlihatnya hilaal. Kecuali dari dua tempat, yakni Cakung (Jakata) dan Jepara (Jawa Tengah), namun keduanya ditolak forum sidang itsbat karena tidak kredibel. Dan karena sudah ada yang menetapkan lebaran pada Selasa 30 Agustus 2011, maka terjadilah perbedaan itu..
1. Situasi langit senja
[quote]
Konjungsi Bulan dan Matahari atau ijtima� terjadi pada 29 Agustus 2011 pukul 10:04 WIB secara geosentris, artinya andaikata kita berada di pusat Bumi (bukan di permukaan Bumi seperti seharusnya), maka kita akan melihat Bulan dan Matahari menempati satu garis bujur ekliptika yang sama di langit pada saat itu. Jika dikembalikan kepada konteks al-Qur�an dan al-Hadits, ijtima� (atau lebih populer sebagai iqtiraan di kawasan Timur Tengah) tidak pernah dijadikan rujukan penentuan awal bulan Hijriyyah, karena yang menentukan adalah hilaal. Riset termutakhir (1996) pun menyajikan dukungan kuat : andaikata konjungsi dijadikan rujukan tunggal dalam kalender Hijriyyah, maka tingkat kesalahannya akan sangat besar, bahkan yang terbesar diantara rujukan-rujukan lainnya. Hanya saja, fakta ini tidak begitu diketahui sehingga sebagian dari kita masih beranggapan bahwa awal bulan Hijriyyah semata didasarkan pada konjungsi, sementara hilaal hanyalah untuk mendeteksi kapan terjadinya konjungsi.
Pada senjakala Senin 29 Agustus 2011, Bulan sudah terbenam lebih lambat dibandingkan Matahari di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Tinggi Bulan tatkala Matahari terbenam bervariasi, dengan yang terbesar justru ada di pesisir selatan Jawa (yakni sepanjang DIY � Pelabuhan Ratu), bukan di Sabang (Aceh) seperti persepsi kebanyakan kita. Konfigurasi Bulan dan Matahari lah, dengan posisi Bulan ada di sebelah selatan Matahari, yang menyebabkan terjadinya kekhasan tersebut. Namun di seluruh Indonesia pula, model prediktif menyatakan intensitas cahaya hilaal masih lebih rendah dibanding cahaya senja hasil pembiasan atmosfer. Sehingga tidak hanya di Logending, di seluruh Indonesia pun hilaal takkan nampak. Kriteria visibilitas, yakni kriteria yang mengatur syarat batas terlihat tidaknya hilaal, yang valid dan reliabel seperti kriteria Audah (yang berlaku global) atau kriteria RHI (yang kami usulkan) pun menunjukkan situasi serupa. Garis batas visibilitas menurut dua kriteria tersebut melintas di tengah-tengah benua Afrika. Sebagai tambahan, situasi di Saudi Arabia (yang menjadi rujukan sejumlah komunitas dan negara) pun serupa. Bahkan lebih ekstrim lagi, karena negara ini terbelah menjadi dua wilayah dimana salah satunya mengalami kondisi Bulan terbenam lebih dulu dibanding Matahari sementara satunya lagi sebaliknya.
</div>
Ane pengen share tulisan ini gan, tulisanny bagus meskipun lebaran udah lewat,,,
Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir & Bathin
[/spoiler][spoiler=open this] for sumber:
http://www.kafeastronomi.com/beda-lebaran-bukan-persoalan-hisab-vs-rukyat.html
http://www.kafeastronomi.com/wp-content/uploads/2011/08/DSCN1457.jpg
Sejak saat menyiapkan peralatan, komputer, kamera pencitra dan tetek bengek lainnya di lokasi pos observasi Bulan pantai Logending kabupaten Kebumen (Jawa Tengah), pesan demi pesan secara beruntun masuk ke ponsel kami, baik secara literal maupun oral. Pun demikian tatkala proses observasi Bulan sedang berlangsung selama 7 menit selepas pukul 17:42 WIB. Karena lebih berkonsentrasi menyelesaikan proses observasi dan demi menghormati rekan-rekan sesama pengamat yang dengan takzim melaksanakan tugasnya, sebagai tim gabungan yang mewadahi Kementerian Agama dan Badan Hisab Rukyat Daerah dari Kebumen, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Purbalingga dengan Kebumen (secara de facto) ditunjuk sebagai koordinator, maka kami memilih mengabaikan sementara pesan demi pesan tersebut. Begitu pula tatkala observasi telah usai, ponsel hanya digunakan untuk mengirim laporan situasi dan hasil observasi ke nomor kontak Kementerian Agama RI di Jakarta, sebagai bahan dalam pelaksanaan sidang itsbat.
Observasi di Logending menyajikan hasil negatif. Ketika diperhitungkan Matahari terbenam pada pukul 17:42 WIB, faktanya Matahari sudah tak terlihat lagi sejak pukul 17:28 WIB akibat tertutupi mendung demikian tebal di cakrawala, yang menutup hampir di semua bagian hingga ketinggian 5 derajat. Situasi ini sudah diduga sebelumnya, sebab meskipun secara teknis kita di Indonesia masih menjalani musim kemarau, atmosfer Asia Tenggara sedang bergolak hebat akibat berkecamuknya badai supertopan Nanmadol di perairan lepas pantai Filipina. Meski pusat badai berada di luar Indonesia, namun aliran angin yang membawa awan menuju pusaran badai menyebabkan sebagian Indonesia mendapatkan tutupan awan dan bahkan hujan.
Namun, andaikata badai ini tak berkecamuk dan langit di lokasi observasi demikian sempurna sehingga tak ada tutupan awan sama sekali, hilaal yang dicari pun bakalan tak terlihat dengan tingkat akurasi lebih dari 75 %. Model matematis prediktif tentang hilaal yang termutakhir, yang diolah dengan memanfaatkan data � data observasi sejak masa Babilonia (2.600 tahun silam), masa pasca Rasulullah SAW hingga sekarang menyimpulkan hal demikian. Tinggi hilaal di Logending diperhitungkan hanya 1,5 derajat dengan jarak sudut (elongasi) terlalu dekat terhadap Matahari, yakni 6,6 derajat, menyebabkan intensitas cahaya hilaal lebih rendah dibanding intensitas cahaya senja (langit dilatarbelakangnya). Hilaal hanya bisa terlihat tatkala intensitas cahayanya melebihi cahaya senja serta lebih besar dibanding ambang batas kontras Blackwell. Jadi ada tiga faktor yang bekerja saling menopang dalam hal terlihat atau tidaknya hilaal, yakni faktor astronomis (posisi Bulan dan Matahari), faktor meteorologis (sifat optis atmosfer Bumi yang menyajikan pemandangan cahaya senja) dan faktor fisiologis (yakni sifat mata manusia dengan ambang batas kontrasnya).
Sayangnya, sangat sedikit (untuk tidak mengatakan tidak ada) komunitas Umat Islam dalam lingkup global yang mendasarkan keputusan penentuan 1 Syawwalnya dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan termutakhir seperti tersebut. Mayoritas lebih menyukai konsep hilaal asumtif, yang sepenuhnya hanyalah asumsi (tanpa pernah dibuktikan) dengan dasar-dasar yang terkesan �maksa� dengan landasan yang tidak benar-benar berada dalam ranah astronomis, meteorologis dan fisiologis, namun lebih menyentuh ke filosofis dan bahkan sosiologis. Dan karena antara satu komunitas dengan yang lainnya menggunakan asumsi-asumsi yang berbeda-beda, maka tak pelak perbedaan penentuan 1 Syawwal pun terjadilah.
Usai berbuka puasa dan dalam perjalanan kembali dari pos observasi, barulah ponsel kami buka. Pesan demi pesan tersebut bernada sama : kapan lebarannya? Semuanya juga dijawab dengan nada yang sama : silahkan lihat hasil sidang itsbat yang disiarkan langsung di sejumlah televisi. Sebagai tim observasi, tugas kami di lapangan lebih terfokus kepada proses dan pelapoan hasil observasi sebagai bahan sidang istbat, sementara forum sidang itsbat-lah yang berhak menentukan pengambilan keputusan. Dan tatkala sidang itsbat menetapkan 1 Syawwal 1432 H bagi Indonesia bertepatan dengan Rabu 31 Agustus 2011, ya demikianlah faktanya, karena dari ratusan titik observasi di Indonesia (tidak hanya dari Logending), tak satupun yang melaporkan terlihatnya hilaal. Kecuali dari dua tempat, yakni Cakung (Jakata) dan Jepara (Jawa Tengah), namun keduanya ditolak forum sidang itsbat karena tidak kredibel. Dan karena sudah ada yang menetapkan lebaran pada Selasa 30 Agustus 2011, maka terjadilah perbedaan itu..
1. Situasi langit senja
[quote]
Konjungsi Bulan dan Matahari atau ijtima� terjadi pada 29 Agustus 2011 pukul 10:04 WIB secara geosentris, artinya andaikata kita berada di pusat Bumi (bukan di permukaan Bumi seperti seharusnya), maka kita akan melihat Bulan dan Matahari menempati satu garis bujur ekliptika yang sama di langit pada saat itu. Jika dikembalikan kepada konteks al-Qur�an dan al-Hadits, ijtima� (atau lebih populer sebagai iqtiraan di kawasan Timur Tengah) tidak pernah dijadikan rujukan penentuan awal bulan Hijriyyah, karena yang menentukan adalah hilaal. Riset termutakhir (1996) pun menyajikan dukungan kuat : andaikata konjungsi dijadikan rujukan tunggal dalam kalender Hijriyyah, maka tingkat kesalahannya akan sangat besar, bahkan yang terbesar diantara rujukan-rujukan lainnya. Hanya saja, fakta ini tidak begitu diketahui sehingga sebagian dari kita masih beranggapan bahwa awal bulan Hijriyyah semata didasarkan pada konjungsi, sementara hilaal hanyalah untuk mendeteksi kapan terjadinya konjungsi.
Pada senjakala Senin 29 Agustus 2011, Bulan sudah terbenam lebih lambat dibandingkan Matahari di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Tinggi Bulan tatkala Matahari terbenam bervariasi, dengan yang terbesar justru ada di pesisir selatan Jawa (yakni sepanjang DIY � Pelabuhan Ratu), bukan di Sabang (Aceh) seperti persepsi kebanyakan kita. Konfigurasi Bulan dan Matahari lah, dengan posisi Bulan ada di sebelah selatan Matahari, yang menyebabkan terjadinya kekhasan tersebut. Namun di seluruh Indonesia pula, model prediktif menyatakan intensitas cahaya hilaal masih lebih rendah dibanding cahaya senja hasil pembiasan atmosfer. Sehingga tidak hanya di Logending, di seluruh Indonesia pun hilaal takkan nampak. Kriteria visibilitas, yakni kriteria yang mengatur syarat batas terlihat tidaknya hilaal, yang valid dan reliabel seperti kriteria Audah (yang berlaku global) atau kriteria RHI (yang kami usulkan) pun menunjukkan situasi serupa. Garis batas visibilitas menurut dua kriteria tersebut melintas di tengah-tengah benua Afrika. Sebagai tambahan, situasi di Saudi Arabia (yang menjadi rujukan sejumlah komunitas dan negara) pun serupa. Bahkan lebih ekstrim lagi, karena negara ini terbelah menjadi dua wilayah dimana salah satunya mengalami kondisi Bulan terbenam lebih dulu dibanding Matahari sementara satunya lagi sebaliknya.
</div>