Buddha
18th November 2010, 11:15 AM
Dari Sutra Maitreya Memasuki Maha Parinibbana tentang kondisi Bumi Suci Tusita, dapat disimpulkan bahwa Bumi Suci Maitreya merupakan replika dari Sorga Tusita. Sorga Tusita yang juga disebut sebagai Balairung Maitreya adalah merupakan tempat dimana Maitreya selalu menyampaikan dharmanya, fenomena Bumi Suci ini sangat unik dan senantiasa merupakan nuansa yang memukau. Karena itu untuk mengetahui fenomena lebih lanjut, di bawah ini kiranya akan menjadi bahan yang cukup menarik untuk kita simak bersama:
Dari Dunia Arahat menuju Dunia Bodhisatva.
Pada awalnya antara Buddha Sakyamuni dan Bodhisatva Maitreya merupakan saudara sepembina, tetapi karena masing-masing memiliki ikrar dan nazar yang berbeda maka Buddha Sakyamuni mencapai kebuddhaannya terlebih dahulu sementara Bodhisatva Maitreya masih menekuni Bodhisatva-yana di Tusita Bumi. Walau demikian ada satu kesamaan mereka yaitu panggilan jiwa penuh metta karuna dalam menyikapi setiap jerit derita satwa di sahaloka. Balairung Tusita adalah salah satu kama-loka yang berjarak terdekat dengan sahaloka, alam ini tidak seperti bumi suci lainnya yang mempunyai syarat- syarat yang teramat berat melainkan hanya dengan memprak-tekkan Tri Mustika yaitu kemurnian menjaga sila, mengamalkan dharma, serta bercita-cita (berikrar) menuju ke Tusita Bumi; maka dengan maitri-karuna Maitreya, mereka akan terselamatkan. Dengan analogi seorang dosen yang terpanggil mengajar di sekolah dasar, tanpa menghiraukan latar belakang pendidikan tinggi dan sistem pengajaran yang bermutu, dia tetap akan bersedia mengajar di sekolah dasar tersebut. Nah, inilah yang diartikan dengan semangat yang penuh humanis.
Bodhisatva Avalokitesvara adalah seorang Dewi Maha Asih (maha metta-karuna), demikian pula dengan Bodhisatva Maitreya. Dari nama Maitreya saja sudah menyandang satu gelar yang mengartikan kasih-sayang, yang semakin jelas mengukuhkan kepribadian Beliau yang luar biasa tersebut. Demikian pula Mahathera Che Hang, mendirikan Balairung Maitreya di daerah Si Ce dan menamakan dirinya Si Maitri, membuktikan betapa ia adalah seorang praktisi Maitreya yang begitu kuat mengimani kelahiran di Tusita Bumi untuk bertatap muka dengan Sang Bodhisatva.
Mahathera Thai Shi, yang merupakan pimpinan Buddhisme Moderat, begitu menyadari bahwa di Daratan Cina telah berkiprah nama Catur Maha Pegunungan yang kesohor, maka jiwanya mulai terpanggil untuk menamakan sebuah Pegunungan Bodhisatva Maitreya dengan merombak nama Biara Yun Tou di Yun Nan yang sudah lama didirikan tersebut. Sehingga dengan demikian bisa mengimbangi kebesaran nama Biara Bodhisatva Avalokitesvara di Phu Thuo San (Pegunungan Phu Thuo) yang terkenal dengan nuansa maha karuna, Biara Bodhisatva Kshitigarbha di Ciou Hua San (Pegunungan Sembilan Puspa) yang terkenal akan maha ikrarnya, Biara Bodhisatva Samantabhadra di Erl Mei San (Pegunungan Go Bi) yang terkenal dengan Maha Vinaya dan Biara Bodhisatva Manjusri di Wu Thai San (Pegunungan Panca Singgasana) yang terkenal dengan Maha Prajnanya sehingga akan membentuk Panca Maha Pegunungan dan bukan lagi Catur Maha Pegunungan. Panca Bodhisatva di atas ternyata memiliki cakupan geografis atau bumi suci mereka masing-masing. Dan kini, menyinggung eksistensi Bumi Suci Bodhisatva Maitreya yang mana di alam ini memiliki keistimewaan yang sarat dengan nuansa suka-cita, tiada hari tanpa keharmonisan, penuh metta karuna, pengabaran dharma yang beralih dari Lokuttara menuju Lokiya.
Dunia Yang Penuh Universalitas.
Untuk memasuki Bumi Sukhavati Amitabha haruslah melalui pembacaan paritta dan sutra secara rutin hingga bebas dari kemelekatan niat dan nafsu. Tetapi untuk mencapai tingkatan ini bukanlah kemampuan sembarang manusia. Selain faktor di atas, ternyata perjalanan untuk memasuki Bumi Sukhavati Amitabha harus melewati 10 trilliun bumi suci lainnya. Namun berbeda sama sekali dengan Tusita Bumi, karena pada bumi ini tidak ada keharusan untuk memutuskan belenggu nafsu. Lagi pula Tusita Bumi adalah bumi suci yang terdekat dengan dunia manusia bahkan memiliki kemiripan unsur sehingga dapat dikategorikan sebagai bumi suci yang paling mudah untuk dicapai dan di sinilah letak karak-teristiknya yang penuh universalitas.
Dunia Pertatapan Buddha Dengan Curahan Dharma Agungnya.
Dari catatan sejarah Buddhisme Cina, ternyata terdapat banyak sekali para pembina tinggi yang telah memasuki Tusita Bumi; sebuah bumi suci yang sesuai dengan gambaran Sutra Bodhisatva Maitreya Memasuki Maha Parinibbana, seperti Master Tao An yang merupakan guru dari Patriat I Mahathera Huei Yen aliran Bumi Suci, pada Dinasti Cin Timur. Kala itu Master Tao An dengan muridnya Fa Yuk dan rekan seperguruan lain yang kesemuanya terdiri dari 8 orang ternyata telah memasuki Tusita Bumi. Selanjutnya Master Suen Cuang dan Khuei Ci pada Dinasti Tang, juga adalah guru yang mengimani untuk memasuki Tusita Bumi. Bahkan Master Shi Yun yang kesohor, pada usianya yang ke-112 tahun telah memberikan kesaksian bahwa Beliau pada saat itu telah pernah mengunjungi Tusita Bumi, di sana kebetulan Bodhisatva Maitreya sedang menyampaikan bimbingan dharma. Setelah diperhatikan lebih lanjut ternyata di antara para pendengar terdapat puluhan orang yang dikenalnya antara lain; Master Kuan Sin dari Cin San, Master Joung Cing dari Thian Thai, Master Cek Phu dari Ciang Si, Master Seng Sin dari Pau Hua, bahkan yang paling mengejutkan ternyata Y.A. Bikkhu Ananda termasuk salah satu yang menyertai sang Bodhisatva.
Pada Sutra Kumpulan Mahathera, sesungguhnya terdapat banyak sekali catatan-catatan tentang para master (Mahathera) yang telah berkunjung ke Tusita Bumi, salah satunya adalah Mahathera Huei Yen. Sekalipun Beliau telah memasuki Bumi Sukhavati Amitabha tetapi tetap berkunjung ke Tusita Bumi, kemungkinan adalah untuk bertemu dengan gurunya, Master Tao An. Sebagaimana diketahui, adalah terlalu gampang bagi para master (Mahathera) yang memiliki tingkat pembinaan tinggi itu untuk memasuki Tusita Bumi. Hal ini jelas membesarkan hati para umat yang berkeinginan memasuki sorga tersebut. Dan ketika telah memasuki Balairung Tusita yaitu tempat sang Bodhisatva selalu memutarkan roda dharma, maka tidak perlu mengkhawatirkan keterjatuhan ke alam yang lebih rendah lagi.
Dari Dunia 'Bodhi-Prajna' Menuju Dunia 'Maitri-Karuna'.
Karakteristik keluhuran Bumi Suci Maitreya adalah terletak pada kebesaran kasihnya yang tiada tara. Walau memiliki kesempurnaan tingkat pembinaan untuk menikmati kehidupan di alam yang lebih tinggi, lebih suci, lebih terang, lebih sempurna, lebih berwibawa; tetapi memang sudah merupakan sifat maha maitri karunanya yang tiada tara. Beliau lebih terpanggil untuk membangun sebuah Bumi Suci di alam kama loka dengan tujuan untuk menyelamatkan umat manusia. Beliau tidak tega melihat betapa banyaknya umat manusia yang semakin sesat terbuai oleh kenikmatan alam lokiya. Berbicara tentang pembinaan atau pelepasan nafsu indera, berarti sama saja dengan mem-bicarakan tentang jalan rumit yang tidak bisa diamalkan manusia. Dengan dasar inilah Sang Bodhisatva yang penuh maitri-karuna, dengan kearifannya yang tak terbatas memba-ngun sebuah Bumi Suci di tengah saha loka ini yang me-rupakan karak-teristik kelu-huran Bu-mi Suci yang tiada dua-nya di dunia manusia.
Sumber :
PUSDIKLAT BUDDHIS MAITREYA
Oleh : Master Sing Yin
Alih Bahasa : Sasanavira, Bd.S
Majalah Cahaya Maitri Vol.22
Dari Dunia Arahat menuju Dunia Bodhisatva.
Pada awalnya antara Buddha Sakyamuni dan Bodhisatva Maitreya merupakan saudara sepembina, tetapi karena masing-masing memiliki ikrar dan nazar yang berbeda maka Buddha Sakyamuni mencapai kebuddhaannya terlebih dahulu sementara Bodhisatva Maitreya masih menekuni Bodhisatva-yana di Tusita Bumi. Walau demikian ada satu kesamaan mereka yaitu panggilan jiwa penuh metta karuna dalam menyikapi setiap jerit derita satwa di sahaloka. Balairung Tusita adalah salah satu kama-loka yang berjarak terdekat dengan sahaloka, alam ini tidak seperti bumi suci lainnya yang mempunyai syarat- syarat yang teramat berat melainkan hanya dengan memprak-tekkan Tri Mustika yaitu kemurnian menjaga sila, mengamalkan dharma, serta bercita-cita (berikrar) menuju ke Tusita Bumi; maka dengan maitri-karuna Maitreya, mereka akan terselamatkan. Dengan analogi seorang dosen yang terpanggil mengajar di sekolah dasar, tanpa menghiraukan latar belakang pendidikan tinggi dan sistem pengajaran yang bermutu, dia tetap akan bersedia mengajar di sekolah dasar tersebut. Nah, inilah yang diartikan dengan semangat yang penuh humanis.
Bodhisatva Avalokitesvara adalah seorang Dewi Maha Asih (maha metta-karuna), demikian pula dengan Bodhisatva Maitreya. Dari nama Maitreya saja sudah menyandang satu gelar yang mengartikan kasih-sayang, yang semakin jelas mengukuhkan kepribadian Beliau yang luar biasa tersebut. Demikian pula Mahathera Che Hang, mendirikan Balairung Maitreya di daerah Si Ce dan menamakan dirinya Si Maitri, membuktikan betapa ia adalah seorang praktisi Maitreya yang begitu kuat mengimani kelahiran di Tusita Bumi untuk bertatap muka dengan Sang Bodhisatva.
Mahathera Thai Shi, yang merupakan pimpinan Buddhisme Moderat, begitu menyadari bahwa di Daratan Cina telah berkiprah nama Catur Maha Pegunungan yang kesohor, maka jiwanya mulai terpanggil untuk menamakan sebuah Pegunungan Bodhisatva Maitreya dengan merombak nama Biara Yun Tou di Yun Nan yang sudah lama didirikan tersebut. Sehingga dengan demikian bisa mengimbangi kebesaran nama Biara Bodhisatva Avalokitesvara di Phu Thuo San (Pegunungan Phu Thuo) yang terkenal dengan nuansa maha karuna, Biara Bodhisatva Kshitigarbha di Ciou Hua San (Pegunungan Sembilan Puspa) yang terkenal akan maha ikrarnya, Biara Bodhisatva Samantabhadra di Erl Mei San (Pegunungan Go Bi) yang terkenal dengan Maha Vinaya dan Biara Bodhisatva Manjusri di Wu Thai San (Pegunungan Panca Singgasana) yang terkenal dengan Maha Prajnanya sehingga akan membentuk Panca Maha Pegunungan dan bukan lagi Catur Maha Pegunungan. Panca Bodhisatva di atas ternyata memiliki cakupan geografis atau bumi suci mereka masing-masing. Dan kini, menyinggung eksistensi Bumi Suci Bodhisatva Maitreya yang mana di alam ini memiliki keistimewaan yang sarat dengan nuansa suka-cita, tiada hari tanpa keharmonisan, penuh metta karuna, pengabaran dharma yang beralih dari Lokuttara menuju Lokiya.
Dunia Yang Penuh Universalitas.
Untuk memasuki Bumi Sukhavati Amitabha haruslah melalui pembacaan paritta dan sutra secara rutin hingga bebas dari kemelekatan niat dan nafsu. Tetapi untuk mencapai tingkatan ini bukanlah kemampuan sembarang manusia. Selain faktor di atas, ternyata perjalanan untuk memasuki Bumi Sukhavati Amitabha harus melewati 10 trilliun bumi suci lainnya. Namun berbeda sama sekali dengan Tusita Bumi, karena pada bumi ini tidak ada keharusan untuk memutuskan belenggu nafsu. Lagi pula Tusita Bumi adalah bumi suci yang terdekat dengan dunia manusia bahkan memiliki kemiripan unsur sehingga dapat dikategorikan sebagai bumi suci yang paling mudah untuk dicapai dan di sinilah letak karak-teristiknya yang penuh universalitas.
Dunia Pertatapan Buddha Dengan Curahan Dharma Agungnya.
Dari catatan sejarah Buddhisme Cina, ternyata terdapat banyak sekali para pembina tinggi yang telah memasuki Tusita Bumi; sebuah bumi suci yang sesuai dengan gambaran Sutra Bodhisatva Maitreya Memasuki Maha Parinibbana, seperti Master Tao An yang merupakan guru dari Patriat I Mahathera Huei Yen aliran Bumi Suci, pada Dinasti Cin Timur. Kala itu Master Tao An dengan muridnya Fa Yuk dan rekan seperguruan lain yang kesemuanya terdiri dari 8 orang ternyata telah memasuki Tusita Bumi. Selanjutnya Master Suen Cuang dan Khuei Ci pada Dinasti Tang, juga adalah guru yang mengimani untuk memasuki Tusita Bumi. Bahkan Master Shi Yun yang kesohor, pada usianya yang ke-112 tahun telah memberikan kesaksian bahwa Beliau pada saat itu telah pernah mengunjungi Tusita Bumi, di sana kebetulan Bodhisatva Maitreya sedang menyampaikan bimbingan dharma. Setelah diperhatikan lebih lanjut ternyata di antara para pendengar terdapat puluhan orang yang dikenalnya antara lain; Master Kuan Sin dari Cin San, Master Joung Cing dari Thian Thai, Master Cek Phu dari Ciang Si, Master Seng Sin dari Pau Hua, bahkan yang paling mengejutkan ternyata Y.A. Bikkhu Ananda termasuk salah satu yang menyertai sang Bodhisatva.
Pada Sutra Kumpulan Mahathera, sesungguhnya terdapat banyak sekali catatan-catatan tentang para master (Mahathera) yang telah berkunjung ke Tusita Bumi, salah satunya adalah Mahathera Huei Yen. Sekalipun Beliau telah memasuki Bumi Sukhavati Amitabha tetapi tetap berkunjung ke Tusita Bumi, kemungkinan adalah untuk bertemu dengan gurunya, Master Tao An. Sebagaimana diketahui, adalah terlalu gampang bagi para master (Mahathera) yang memiliki tingkat pembinaan tinggi itu untuk memasuki Tusita Bumi. Hal ini jelas membesarkan hati para umat yang berkeinginan memasuki sorga tersebut. Dan ketika telah memasuki Balairung Tusita yaitu tempat sang Bodhisatva selalu memutarkan roda dharma, maka tidak perlu mengkhawatirkan keterjatuhan ke alam yang lebih rendah lagi.
Dari Dunia 'Bodhi-Prajna' Menuju Dunia 'Maitri-Karuna'.
Karakteristik keluhuran Bumi Suci Maitreya adalah terletak pada kebesaran kasihnya yang tiada tara. Walau memiliki kesempurnaan tingkat pembinaan untuk menikmati kehidupan di alam yang lebih tinggi, lebih suci, lebih terang, lebih sempurna, lebih berwibawa; tetapi memang sudah merupakan sifat maha maitri karunanya yang tiada tara. Beliau lebih terpanggil untuk membangun sebuah Bumi Suci di alam kama loka dengan tujuan untuk menyelamatkan umat manusia. Beliau tidak tega melihat betapa banyaknya umat manusia yang semakin sesat terbuai oleh kenikmatan alam lokiya. Berbicara tentang pembinaan atau pelepasan nafsu indera, berarti sama saja dengan mem-bicarakan tentang jalan rumit yang tidak bisa diamalkan manusia. Dengan dasar inilah Sang Bodhisatva yang penuh maitri-karuna, dengan kearifannya yang tak terbatas memba-ngun sebuah Bumi Suci di tengah saha loka ini yang me-rupakan karak-teristik kelu-huran Bu-mi Suci yang tiada dua-nya di dunia manusia.
Sumber :
PUSDIKLAT BUDDHIS MAITREYA
Oleh : Master Sing Yin
Alih Bahasa : Sasanavira, Bd.S
Majalah Cahaya Maitri Vol.22