Buddha
18th November 2010, 11:02 AM
... tentang Kesabaran (Khanti)
Kisah kelahiran pengakuan kesabaran.
Jataka nomor 313.
Pada suatu masa, seorang Raja dari Kassi bernama Kalabu bertahta di Benares. Kala itu Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang brahmana muda, bernama Anak Kundaka, dalam sebuah keluarga brahmana yang memiliki kekayaan delapan puluh lac(1) harta mestika. Setelah dewasa dan setelah mempelajari semua keahlian di Taxila, ia mendirikan usahanya sendiri. Memandang kepada tumpukan harta mestika setelah ayahnya wafat, ia merenung, �Keluargaku yang menumpuk harta kekayaan ini telah pergi tanpa membawanya serta, meskipun mewarisinya, aku juga harus pergi.�
Sehingga, setelah dengan cermat memberikan semua kekayaan itu sebagai hadiah kepada siapa pun yang pantas menerimanya, ia memasuki wilayah Himalaya. Dan setelah pergi, hidup dari berbagai jenis buah dalam waktu yang lama.
Namun untuk mendapatkan garam dan bumbu masakan, ia secara perlahan-lahan tiba di Benares, dan tinggal di taman hiburan kerajaan. Hari berikutnya, ketika ia sedang menyusur jalanan kota mengumpulkan dana makanan, ia tiba di depan pintu rumah Panglima Tertinggi Kerajaan. Panglima Tertinggi, suka pada caranya yang sopan, mengajaknya masuk ke dalam rumahnya, menawarkan makanan yang sebenarnya disediakan untuk dirinya sendiri, dan setelah mendapatkan perkenannya, memintanya untuk tinggal di taman hiburan kerajaan.
Lalu pada suatu hari, Raja Kalabu, terbakar dan mabuk oleh minuman keras, datang ke taman hiburan ini bersama dengan rombongan besar, dikeliling oleh penari-penari. Setelah permadani dihamparkan di atas batu mulia, ia merebahkan diri dengan kepalanya di atas pangkuan perempuan kesayangannya. Akan tetapi tatkala perempuan-perempuan penghibur yang ahli bermain musik, bernyanyi, dan menari, itu sedang memainkan peranannya masing-masing, memainkan lagu-lagu dan lain-lainnya untuk memuja Sakka yang agung, raja para dewa, Raja Kalabu terlelap. Sehingga perempuan-perempuan itu berpikir, �Ia yang hendak kami hibur dengan lagu dan sebagainya, telah terlelap. Lalu mengapa kami harus bernyanyi dan sebagainya?�
Meletakkan ke bawah suling dan alat-alat musik lainnya di berbagai tempat, dan pergi berjalan-jalan di taman hiburan, mereka bersuka ria, digembirakan oleh bunga-bunga dan buah-buah dan rumput-rumput.
Bodhisatta yang berbahagia di dalam kebahagiaan penyepian, sedang duduk di atas akar pohon sala yang berbunga, laksana gajah di dalam kekuatannya, di dalam taman hiburan tersebut. Tatkala sedang berjalan-jalan, perempuan-perempuan itu melihatnya, dan berkata satu sama lain, �Ayo, teman-teman, mari kita duduk hingga raja bangun, dan mendengarkan sesuatu dari apa pun itu yang telah menyepi dan duduk di atas akar pohon itu.
�Setelah datang ke sana dan memberi hormat, mereka duduk dalam satu lingkaran mengelilinginya dan berkata, �Berkatalah pada kami apa yang berharga untuk dikatakan.�
Bodhisatta membabarkan Dhamma kepada mereka. Lalu perempuan kesayangan itu, menggerakkan pahanya, membangunkan raja. Ketika telah bangun dan tidak melihat para penghiburnya, ia bertanya, �Ke mana mereka telah pergi?�
�Yang Mulia,� jawabnya, �Mereka telah pergi dan sedang duduk mengelilingi seorang pertapa.�
Raja yang murka mengambil pedangnya dan menghambur sambil berpikir, �Aku akan memberi pelajaran pada pertapa berambut ijuk yang tak tahu malu itu.�
Melihat raja yang murka datang mendekati, yang paling disayang raja di antara perempuan-perempuan itu datang menyongsongnya, mengambil pedang itu darinya dan menenangkannya. Ia datang dan berdiri di dekat Bodhisatta, dan bertanya, �Apa yang hendak engkau buktikan, wahai pertapa?�
�Aku menjalankan kesabaran, Tuan.�
�Apa itu kesabaran?�
�Ia adalah tiada kemarahan kala dikutuk atau dipukul atau dihina orang.�
Sang raja sambil berkata, �Aku hendak melihat kebenaran kesabaranmu,� memanggil datang tukang jagalnya. Ia sedang bertugas di tempatnya, datang dalam pakaian kuning dan memakai kalungan bunga merah serta membawa kapak dan cambuk duri. Tatkala telah memberi hormat kepada raja, ia berkata, �Apa yang harus kulakukan?�
�Tangkap pertapa sesat yang tidak tahu malu ini, dan bawa ia pergi. Jika telah engkau lemparkan ke tanah, gunakanlah cambuk durimu, bilang, �Di depan, di belakang, tambah dua sisi lagi,� beri dia dua ribu cambukan bahkan untuk empat sisi.�
Ia melakukannya. Kulit luar Bodhisatta hancur, kulit sebelah dalamnya, dagingnya, dan darah mengalir keluar. Sekali lagi raja berkata, �Apa yang hendak engkau buktikan, wahai pertapa?�
�Aku menjalankan kesabaran, Tuan, tapi engkau pikir kesabaran hanya sebatas kulit. Kesabaranku tidak sebatas kulit, tak bisa dilihat olehmu, karena kesabaranku, Tuan, berakar kuat di dalam hatiku.�
Sekali lagi penjagal itu bertanya, �Apa yang harus kulakukan?�
�Potong kedua tangan pertapa rambut ijuk yang jahat ini.�
Penjagal mengambil kapaknya, menempatkan korbannya di balok jagal, dan memotong kedua belah tangannya. Lalu raja berkata padanya, �Potong kedua belah kakinya.�
Ia memotongnya. Darah mengalir dari pangkal lengan dan kakinya seperti sari pernik dari wadah yang retak. Sekali lagi raja bertanya, �Apa yang hendak engkau buktikan?�
�Aku menjalankan kesabaran Tuan. Tapi engkau mengira kesabaran ada di kedua tangan dan kedua kakiku. Kesabaran tidak berada di sana, kesabaran berakar kuat pada tempat yang dalam di dalam diriku.�
Raja berkata, �Potong telinga dan hidungnya.�
Penjagal memotong telinga dan hidungnya. Seluruh badannya ditutupi darah. Sekali lagi raja bertanya, �Apa itu yang hendak engkau buktikan?�
�Kesabaranlah yang kujalankan, Tuan. Tapi janganlah mengira kesabaran terletak di telinga dan hidungku. Kesabaran berakar kuat di dalam kedalaman hatiku.�
Raja berkata, �Pertapa rambut ijuk yang keji, duduk dan sanjunglah kesabaranmu,� lalu ia tendang Bodhisatta di jantungnya dan berlalu.
Sesudah ia berlalu, Panglima Tertinggi menghapus darah dari tubuh Bodhisatta, dan setelah membalut pangkal lengan dan kakinya, telinga dan hidungnya, ia dengan lemah-lembut mendudukkannya. Memberi hormat padanya, ia duduk di satu sisi dan berkata, �Yang Mulia, jika engkau hendak marah, seharusnyalah engkau marah hanya kepada raja yang telah menyiksamu, tidak kepada orang lain.�
Dan setelah memohon padanya, ia mengucapkan syair pertama.
Kepada ia yang membuat tangan, kaki, telinga, dan hidungmu terpotong
Kepadanyalah engkau marah, Pahlawan Agung, jangan hancurkan kerajaan ini.�
Mendengar ini, Bodhisatta melantunkan syair kedua.
�Yang membuat tangan, kaki, telinga, dan hidungku terpotong
Hidup sang raja, orang sepertiku tidak akan marah.�
Ketika Raja Kalabu dalam perjalanan meninggalkan taman hiburan itu, dan telah melewati jangkauan pandang Bodhisatta, bumi yang perkasa ini, yang tebalnya dua ratus empat puluh ribu yojana, membelah seperti kain robek; sebuah nyala api, datang dari (Neraka) Avici, menangkap sang raja,
membungkusnya ke atas laksana selimut bulu berwarna merah hadiah dari sanak keluarganya. Tenggelam ke dalam bumi persis di depan gerbang taman hiburan itu, ia lahir di Neraka Avici. Bodhisatta wafat pada hari yang sama. Orang-orang raja dan rakyat datang dengan wewangian dan kalungan bunga. Dengan dupa di tangan, mereka melakukan upacara pemakaman untuk jasad Bodhisatta. Meskipun sebagian dari mereka berkata, �Tetapi Bodhisatta cuma kembali ke wilayah Himalaya,� nyatanya tidaklah demikian.
... Mengidentifikasi kisah kelahiran itu, Sang Guru berkata, �Pada masa itu Devadatta adalah Kalabu, raja dari Kasi, Sariputta adalah Panglima Tertinggi, dan Saya sendiri adalah pertapa yang menjalankan kesabaran.�
Kisah kelahiran pengakuan kesabaran.
Jataka nomor 313.
Pada suatu masa, seorang Raja dari Kassi bernama Kalabu bertahta di Benares. Kala itu Bodhisatta dilahirkan sebagai seorang brahmana muda, bernama Anak Kundaka, dalam sebuah keluarga brahmana yang memiliki kekayaan delapan puluh lac(1) harta mestika. Setelah dewasa dan setelah mempelajari semua keahlian di Taxila, ia mendirikan usahanya sendiri. Memandang kepada tumpukan harta mestika setelah ayahnya wafat, ia merenung, �Keluargaku yang menumpuk harta kekayaan ini telah pergi tanpa membawanya serta, meskipun mewarisinya, aku juga harus pergi.�
Sehingga, setelah dengan cermat memberikan semua kekayaan itu sebagai hadiah kepada siapa pun yang pantas menerimanya, ia memasuki wilayah Himalaya. Dan setelah pergi, hidup dari berbagai jenis buah dalam waktu yang lama.
Namun untuk mendapatkan garam dan bumbu masakan, ia secara perlahan-lahan tiba di Benares, dan tinggal di taman hiburan kerajaan. Hari berikutnya, ketika ia sedang menyusur jalanan kota mengumpulkan dana makanan, ia tiba di depan pintu rumah Panglima Tertinggi Kerajaan. Panglima Tertinggi, suka pada caranya yang sopan, mengajaknya masuk ke dalam rumahnya, menawarkan makanan yang sebenarnya disediakan untuk dirinya sendiri, dan setelah mendapatkan perkenannya, memintanya untuk tinggal di taman hiburan kerajaan.
Lalu pada suatu hari, Raja Kalabu, terbakar dan mabuk oleh minuman keras, datang ke taman hiburan ini bersama dengan rombongan besar, dikeliling oleh penari-penari. Setelah permadani dihamparkan di atas batu mulia, ia merebahkan diri dengan kepalanya di atas pangkuan perempuan kesayangannya. Akan tetapi tatkala perempuan-perempuan penghibur yang ahli bermain musik, bernyanyi, dan menari, itu sedang memainkan peranannya masing-masing, memainkan lagu-lagu dan lain-lainnya untuk memuja Sakka yang agung, raja para dewa, Raja Kalabu terlelap. Sehingga perempuan-perempuan itu berpikir, �Ia yang hendak kami hibur dengan lagu dan sebagainya, telah terlelap. Lalu mengapa kami harus bernyanyi dan sebagainya?�
Meletakkan ke bawah suling dan alat-alat musik lainnya di berbagai tempat, dan pergi berjalan-jalan di taman hiburan, mereka bersuka ria, digembirakan oleh bunga-bunga dan buah-buah dan rumput-rumput.
Bodhisatta yang berbahagia di dalam kebahagiaan penyepian, sedang duduk di atas akar pohon sala yang berbunga, laksana gajah di dalam kekuatannya, di dalam taman hiburan tersebut. Tatkala sedang berjalan-jalan, perempuan-perempuan itu melihatnya, dan berkata satu sama lain, �Ayo, teman-teman, mari kita duduk hingga raja bangun, dan mendengarkan sesuatu dari apa pun itu yang telah menyepi dan duduk di atas akar pohon itu.
�Setelah datang ke sana dan memberi hormat, mereka duduk dalam satu lingkaran mengelilinginya dan berkata, �Berkatalah pada kami apa yang berharga untuk dikatakan.�
Bodhisatta membabarkan Dhamma kepada mereka. Lalu perempuan kesayangan itu, menggerakkan pahanya, membangunkan raja. Ketika telah bangun dan tidak melihat para penghiburnya, ia bertanya, �Ke mana mereka telah pergi?�
�Yang Mulia,� jawabnya, �Mereka telah pergi dan sedang duduk mengelilingi seorang pertapa.�
Raja yang murka mengambil pedangnya dan menghambur sambil berpikir, �Aku akan memberi pelajaran pada pertapa berambut ijuk yang tak tahu malu itu.�
Melihat raja yang murka datang mendekati, yang paling disayang raja di antara perempuan-perempuan itu datang menyongsongnya, mengambil pedang itu darinya dan menenangkannya. Ia datang dan berdiri di dekat Bodhisatta, dan bertanya, �Apa yang hendak engkau buktikan, wahai pertapa?�
�Aku menjalankan kesabaran, Tuan.�
�Apa itu kesabaran?�
�Ia adalah tiada kemarahan kala dikutuk atau dipukul atau dihina orang.�
Sang raja sambil berkata, �Aku hendak melihat kebenaran kesabaranmu,� memanggil datang tukang jagalnya. Ia sedang bertugas di tempatnya, datang dalam pakaian kuning dan memakai kalungan bunga merah serta membawa kapak dan cambuk duri. Tatkala telah memberi hormat kepada raja, ia berkata, �Apa yang harus kulakukan?�
�Tangkap pertapa sesat yang tidak tahu malu ini, dan bawa ia pergi. Jika telah engkau lemparkan ke tanah, gunakanlah cambuk durimu, bilang, �Di depan, di belakang, tambah dua sisi lagi,� beri dia dua ribu cambukan bahkan untuk empat sisi.�
Ia melakukannya. Kulit luar Bodhisatta hancur, kulit sebelah dalamnya, dagingnya, dan darah mengalir keluar. Sekali lagi raja berkata, �Apa yang hendak engkau buktikan, wahai pertapa?�
�Aku menjalankan kesabaran, Tuan, tapi engkau pikir kesabaran hanya sebatas kulit. Kesabaranku tidak sebatas kulit, tak bisa dilihat olehmu, karena kesabaranku, Tuan, berakar kuat di dalam hatiku.�
Sekali lagi penjagal itu bertanya, �Apa yang harus kulakukan?�
�Potong kedua tangan pertapa rambut ijuk yang jahat ini.�
Penjagal mengambil kapaknya, menempatkan korbannya di balok jagal, dan memotong kedua belah tangannya. Lalu raja berkata padanya, �Potong kedua belah kakinya.�
Ia memotongnya. Darah mengalir dari pangkal lengan dan kakinya seperti sari pernik dari wadah yang retak. Sekali lagi raja bertanya, �Apa yang hendak engkau buktikan?�
�Aku menjalankan kesabaran Tuan. Tapi engkau mengira kesabaran ada di kedua tangan dan kedua kakiku. Kesabaran tidak berada di sana, kesabaran berakar kuat pada tempat yang dalam di dalam diriku.�
Raja berkata, �Potong telinga dan hidungnya.�
Penjagal memotong telinga dan hidungnya. Seluruh badannya ditutupi darah. Sekali lagi raja bertanya, �Apa itu yang hendak engkau buktikan?�
�Kesabaranlah yang kujalankan, Tuan. Tapi janganlah mengira kesabaran terletak di telinga dan hidungku. Kesabaran berakar kuat di dalam kedalaman hatiku.�
Raja berkata, �Pertapa rambut ijuk yang keji, duduk dan sanjunglah kesabaranmu,� lalu ia tendang Bodhisatta di jantungnya dan berlalu.
Sesudah ia berlalu, Panglima Tertinggi menghapus darah dari tubuh Bodhisatta, dan setelah membalut pangkal lengan dan kakinya, telinga dan hidungnya, ia dengan lemah-lembut mendudukkannya. Memberi hormat padanya, ia duduk di satu sisi dan berkata, �Yang Mulia, jika engkau hendak marah, seharusnyalah engkau marah hanya kepada raja yang telah menyiksamu, tidak kepada orang lain.�
Dan setelah memohon padanya, ia mengucapkan syair pertama.
Kepada ia yang membuat tangan, kaki, telinga, dan hidungmu terpotong
Kepadanyalah engkau marah, Pahlawan Agung, jangan hancurkan kerajaan ini.�
Mendengar ini, Bodhisatta melantunkan syair kedua.
�Yang membuat tangan, kaki, telinga, dan hidungku terpotong
Hidup sang raja, orang sepertiku tidak akan marah.�
Ketika Raja Kalabu dalam perjalanan meninggalkan taman hiburan itu, dan telah melewati jangkauan pandang Bodhisatta, bumi yang perkasa ini, yang tebalnya dua ratus empat puluh ribu yojana, membelah seperti kain robek; sebuah nyala api, datang dari (Neraka) Avici, menangkap sang raja,
membungkusnya ke atas laksana selimut bulu berwarna merah hadiah dari sanak keluarganya. Tenggelam ke dalam bumi persis di depan gerbang taman hiburan itu, ia lahir di Neraka Avici. Bodhisatta wafat pada hari yang sama. Orang-orang raja dan rakyat datang dengan wewangian dan kalungan bunga. Dengan dupa di tangan, mereka melakukan upacara pemakaman untuk jasad Bodhisatta. Meskipun sebagian dari mereka berkata, �Tetapi Bodhisatta cuma kembali ke wilayah Himalaya,� nyatanya tidaklah demikian.
... Mengidentifikasi kisah kelahiran itu, Sang Guru berkata, �Pada masa itu Devadatta adalah Kalabu, raja dari Kasi, Sariputta adalah Panglima Tertinggi, dan Saya sendiri adalah pertapa yang menjalankan kesabaran.�