PDA

View Full Version : Tuk


Buddha
18th November 2010, 10:58 AM
Pencerahan yang terjadi pada manusia-manusia unggul di muka bumi ini terjadi terus menerus, terus menerus dalam lingkaran yang silih berganti berputar. Pencerahan didapat saat tidak dicari. Dia datang saat usaha untuk mengenalinya hilang.

Selama masih ada keinginan untuk memiliki, baik itu kebijaksanaan atau pengetahuan, maka akan ada usaha untuk mengarah ke sana. Selama proses itu pula pembelajaran terjadi pada jiwa-jiwa miskin papah yang sangat merindukan manisnya madu pencerahan.

Keterikatan adalah belenggu. Dia adalah rahulla yang mengikat mencengkeram kuat seperti tangan tangan besi dari proses pencapaian pencerahan. Manusia terikat, manusia semakin terperosok pada keinginannya untuk memenangkan pendapat.

Ibaratkan seorang laki-laki jatuh ke lubang sumur yang dalam. Sebelum mencapai dasar, dia berhasil bergantungan pada akar-akar pohon tua yang sedikit memberikannya nafas untuk bertahan. Di bawah menunggu ribuan kalajengking dan kelabang dengan sungut sungut beracun. Sementara untuk naik ke atas dan menghiru kebebasan adalah teramat sulit.

pada saat itu, si laki-laki menyadari ada sebuah sarang lebah penuh madu manis yang menetes membangkitkan gairah. Dia menjilatinya. Semakin nikmat, teramat nikmat, dalam kondisi terjepit beban masalah dunia. Kadang dia lupa untuk tujuan kebahagiaan mencapai awan di atas. Sementara kadang dia juga tidak ingin memikirkan ribuan binatang beracun pembunuh yang sudah tak sabar untuk melahap tubuhnya.

Dan Sidarta Gautama gagal dalam usahanya mencari pencerahan. Setelah dia meninggalkan anak dan istrinya, kerajaannya. Dia masih gagal. Kemudian dia melakukan tapa brata maha keras selama beberapa tahun di hutan Uruwella. Dia masih gagal.

Hingga serombongan penari dan pemusik jalanan melintas dengan mendendangkan syair sederhana:

Kecapi yang senarnya terlalu kencang akan putus, dan tidak menghasilkan musik.
Kecapi yang senarnya terlalu kendor juga tidak bisa menghasilkan musik.

TUK

Hanya sekali. Sebuah pencerahan datang. Sebuah kesadaran baru. Bahwa ada perlunya sebuah pelepasan untuk menggapai kebijaksanaan. Sia-siakah pengorbanan? Meninggalkan anak istrinya untuk mencapai kesempurnaan?

Dan apa yang silakukan umatnya? Melakukan seperti yang diperbuat gurunya. Meninggalkan anak istri untuk mengejar, TUK?

Hidup justru menjadi ajaran utamanya, yang tidak disadari umatnya. Sebuah ironis, karena Sidartta justru melarang penerimaan Bhiksu/Bhiksuni apabila tidak da ijin/kerelaan dari orangtua/suami/istri/anak/saudara.

Itulah pelepasan. Bukan choki choki�
yang panjang dan lama�

Pelepasan. Penghilangan harapan. Bahwa sebuah usaha untuk mencapai pencerahan dilakukan tanpa mengharapkan pencerahan itu sendiri. Bahwa akhirnya egoisme harus hilang untuk mencapai pencerahan. Untuk mencapai TUK.

Dan terpujilah mereka yang sudah mewartakan tentang Tuhan. Sesuatu yang akan menjadi sangat asing, bila masih ada rasa egois untuk ngotot mengenalNya. Dan ternyata Dia bisa datang tanpa dicari. Dia ternyata sering datang setalah segala yang membelenggu dilepaskan.

Dan semoga dia juga kembali, setelah dia dilepaskan. Bukan untuk dicengkeram lagi, tapi dibiarkan lepas, bebas, karena hati tak bisa dibohongi. Karena rasa tak bisa diprogram.

Untuk apa bicara dengan emosi, bila bicara dengan cinta ternyata lebih menyenangkan, lebih nyaman, lebih lepas dan lebih indah?

Untuk apa mengharapkan TUK, bila ternyata dia datang justru pada saat usaha untuk menggapainya dilepaskan.

TUK hanyalah sebuah metafora. Sebuah umpama pd kondisi jiwa yang singkat. Seperti seberkas sinar terang yang datang tiba-tiba saat seluruh SUMUT mati lampu.

salam

Kevin Roughtorer Gildor Lubis