Buddha
18th November 2010, 10:54 AM
Penitisan Roh Kekal?
Kecuali unsur-unsur batiniah (n�ma) serta jasmaniah (r�pa) yang membentuk makhluk hidup, Agama Buddha tidak mengakui adanya roh kekal (eternal soul) ataupun kepribadian abadi (eternal ego) yang diperoleh secara gaib dari suatu sumber yang takjelas asal-usulnya. Gagasan atas roh kekal amat dibutuhkan untuk menopang kepercayaan tentang surga dan neraka abadi -suatu dogma yang ditolak secara tegas oleh Agama Buddha karena bertentangan secara mendasar dengan nilai-nilai keadilan. Suatu roh yang kekal harus tetap seperti semula tanpa mengalami perubahan apa pun. Jika roh yang dianggap sebagai saripati (essence) umat manusia bersifat kekal, tidaklah mungkin mereka akan mengalami kebangkitan atau kejatuhan sebagaimana yang dikisahkan dalam mitos Kejadian (Genesis). Orang yang pada awalnya diciptakan sebagai penjahat akan selamanya menjadi penjahat, dan sebaliknya orang yang pada awalnya diciptakan sebagai orang bajik akan selamanya melakukan kebajikan. Dalam pada itu, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskan secara masuk akal, mengapa roh-roh yang berbeda secara beranekaragam dibentuk pada permulaannya.
Ajaran tentang Tumimbal Lahir (Rebirth) dalam Agama Buddha perlu dibedakan dari gagasan tentang Penitisan Kembali (Reincarnation) dalam agama lain, yang merujuk pada perpindahan suatu roh kekal (�tman) dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya dalam suatu proses penyucian diri hingga akhirnya bergabung kembali dengan Roh-Asal yang Luhur (Parama-�tman). Agama Buddha juga menolak adanya makhluk titisan (avat�ra) yang secara legandaris turun ke dunia dalam wujud manusia atau hewan untuk menumpas kejahatan dan menganjurkan kebajikan [berdasarkan Kitab Bhagavad-G�t�]. Buddha Gotama bukanlah salah seorang [dari sepuluh] penitisan ViSu sebagaimana yang diakui oleh penganut aliran Agama Hindu [berdasarkan Kitab Bh�gavat, Var�ha, Agni dan ViSu-Pur�na].(11) Pengakuan yang mencuat belakangan dan mengimbas kuat sekitar abad kesepuluh Masehi -ketika Agama Buddha sedang menyebar keluar dari India- itu merupakan suatu siasat untuk 'mencaplok' serta 'menelan' Agama Buddha.(12)
Dalam Kitab ViSu-Pur�na tersirat dendam kesumat serta ketakpuasan kaum Hindu terhadap keberhasilan penyebaran Agama Buddha di India. Lazimnya, para dewa dan para iblis terlibat dalam peperangan, dan kemenangan selalu berada di pihak dewa. Namun, pada suatu kesempatan, para dewa terkalahkan. Para iblis berhasil mencapai kemenangan karena mereka telah menganut serta menjalankan ajaran Veda. Satu-satunya cara untuk dapat menaklukkan mereka ialah dengan membuat mereka melepaskan kepercayaan terhadap ajaran Veda. Para dewa memuja ViSu untuk mencari pertolongan. ViSu kemudian menciptakan wujud khayalan (m�y�moha); pertama kali muncul sebagai pertapa telanjang (digambara) yang mengacu pada Jainisme, untuk membujuk para iblis agar melaksanakan praktek penebusan karma buruk; dan selanjutnya muncul sebagai bhikkhu berjubah merah(rakt�mbara) yang merujuk pada Agama Buddha, untuk membujuk para iblis agar mencampakkan upacara pengurbanan binatang sebagaimana yang dipujikan dalam kitab-kitab Veda. Terperdayainya para iblis merupakan kesempatan emas bagi para dewa.
Akhirnya, para iblis berhasil ditaklukkan. Mitos ini secara bermuslihat melecehkan Jainisme serta Agama Buddha sebagai penyebab kekalahan, kehancuran. Misi yang diemban oleh ViSu dalam menitis sebagai Buddha ialah untuk memperdayai para iblis dengan mewejangkan ajaran sesat (Adharma); bukan mengajarkan kebenaran (Dhamma) sebagaimana yang diyakini oleh umat Buddha.(13) Lebih daripada semua itu, penitisan ViSu yang kesepuluh [terakhir], dalam wujud sebagai Kalk� bertunggangan kuda putih dengan pedang terhunus, konon dikatakan mengemban misi utama dalam membasmi para penganut Agama Buddha dari seluruh muka bumi.
Dalam Kitab Upaniad termuat banyak penjabaran tentang �tman. �tman ini dikatakan terbebas dari kematian (vimtyuh) serta kesedihan(viokah) dan mempunyai pemikiran yang nyata (satyasamkalpah). Kadangkala �tman diidentifikasikan sebagai 'diri' dalam keadaan bermimpi atau dalam keadaan tertidur pulas. �tman dapat dipisahkan dan mengembara keluar dari tubuh jasmaniah -terutama sewaktu sedang tidur ibarat pedang yang dapat dikeluarkan dari sarungnya. Bagi para penganut Jainisme, �tman yang diidentikkan dengan kehidupan (j�va), bersifat terbatas dan beraneka ragam bentuk serta ukurannya. Bukan hanya umat manusia yang memiliki �tman tetapi segala sesuatu di alam semesta ini juga memilikinya. Beberapa �j�vaka menganggap �tman itu berwarna biru, berbentuk segi delapan (octagonal) atau bundar (globular),dan berjarak lima ratus yojana. Bagaimanapun, segala gagasan tentang '�tman' atau 'atta' ditolak dengan tegas oleh Buddha Gotama; kecuali sebagai sebutan sehari-hari dalam persepakatan umum. Sakk�ya-ditthi atau Atta-ditthi [pandangan atas keberadaan roh yang kekal] adalah belenggu (samyojana) pertama yang merintangi jalan menuju pencapaian kesucian batin.
Seseorang mungkin akan bertanya, "Kalau dalam Agama Buddha tidak dipercayai adanya suatu roh yang kekal, lalu apa yang bertumimbal lahir kembali dalam kehidupan mendatang?" Yang bertumimbal lahir kembali ialah unsur-unsur batiniah (n�ma) dan jasmaniah (r�pa) -yang kerap disebut lima kelompok kehidupan (pa�cakkhandha). Kalau dipertanyakan lebih lanjut apakah yang bertumimbal lahir kembali itu merupakan suatu batin-jasmani yang sama, jawabannya ialah 'bukan'. Batin-jasmani tidaklah bersifat kekal [tak berubah sama sekali]. Dalam kenyataan, kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung dalam perubahan yang terus-menerus (sant�na, continuous flux). Kita pada saat ini bukanlah kita yang sama pada saat sebelum atau saat kemudian. Kita pada hari ini bukanlah kita yang sama pada hari kemarin atau esok. Namun, kita pada kehidupan ini berasal dari kita pada kehidupan-kehidupan yang lampau, dan ini semua kemudian menjadi persyaratan bagi kita pada kehidupan mendatang. Seseorang mungkin akan menyanggah, "Jika bukan sesuatu yang sama, mengapa kita pada kehidupan mendatang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan kita dalam kehidupan sekarang dan lampau?"
Untukmenganggapi sanggahan semacam ini, N�gasena Thera menyajikan suatu perumpamaan yang gamblang tentang pencuri mangga. Ketika dituduh mencuri mangga oleh pemiliknya, pencuri itu berkilah bahwa mangga yang ia ambil bukanlah mangga yang sama dengan yang ditanam oleh pemiliknya. Karena itu, ia tidak patut menerima hukuman apa pun. Apakah karena [bibit] mangga yang ditanam tidaklah persis sama seperti [buah] mangga yang diambil, pencuri itu terbebas dari delik pencurian? Tidak bukan? Demikian pula, bukanlah karena tidak ada roh yang kekal, suatu makhluk tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Ini dapat diibaratkan dengan hukum Daya Tarik Bumi (Gravitation) yang bersifat universal, yang menarik semua benda tanpa kecuali -entah berjiwa atau tidak.
NB:
11 Naasnya, gagasan tentang avat�ra ini kemudian dikembangkan oleh para penganut Mah�y�na. Dalam Saddharma-pundar�ka S�tra, Sang Buddha dipersanjung secara berlebih-lebihan sebagai dewa dari para dewa yang telah hidup sejak waktu yang nirhingga (infinity) dan akan hidup untuk selamanya (forever). Peraihan Nirv�na sebagai S�kyamuni Buddha hanyalah suatu khayalan belaka (illusion), yang semata-mata hendak Beliau perlihatkan (nirm�na-k�ya). Sang Buddha dipercayai sebagai Bapa Dunia (the Father of the World), Juru Selamat (Saviour) dan Pelindung (Protector) semua makhluk.
12 Para penganut Agama Hindu yang bersalin dari Brahmanisme bukan hanya menampung pendiri Agama Buddha, melainkan juga menyerap beberapa ajaran Sang Buddha seperti 'ketanpakekerasan' (ahims�).
13 Mitos tersebut memperlihatkan adanya keberpihakan Agama Hindu kepada para dewa, dan kebencian terhadap para iblis [pilih-kasih]. Yang dipentingkan bukanlah keyakinan terhadap ajaran Veda. Para iblis yang telah menganut serta menjalankan ajaran Veda, secara licik diperdayai untuk melepaskannya demi keunggulan (superiority) para dewa. Prinsip semacam ini sangatlah bertentangan dengan paham Agama Buddha. Agama diperuntukkan bagi kepentingan semua makhluk hidup tanpa kecuali; bukan sebaliknya makhluk-makhluk tertentu sengaja diciptakan dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan agama.
Kecuali unsur-unsur batiniah (n�ma) serta jasmaniah (r�pa) yang membentuk makhluk hidup, Agama Buddha tidak mengakui adanya roh kekal (eternal soul) ataupun kepribadian abadi (eternal ego) yang diperoleh secara gaib dari suatu sumber yang takjelas asal-usulnya. Gagasan atas roh kekal amat dibutuhkan untuk menopang kepercayaan tentang surga dan neraka abadi -suatu dogma yang ditolak secara tegas oleh Agama Buddha karena bertentangan secara mendasar dengan nilai-nilai keadilan. Suatu roh yang kekal harus tetap seperti semula tanpa mengalami perubahan apa pun. Jika roh yang dianggap sebagai saripati (essence) umat manusia bersifat kekal, tidaklah mungkin mereka akan mengalami kebangkitan atau kejatuhan sebagaimana yang dikisahkan dalam mitos Kejadian (Genesis). Orang yang pada awalnya diciptakan sebagai penjahat akan selamanya menjadi penjahat, dan sebaliknya orang yang pada awalnya diciptakan sebagai orang bajik akan selamanya melakukan kebajikan. Dalam pada itu, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskan secara masuk akal, mengapa roh-roh yang berbeda secara beranekaragam dibentuk pada permulaannya.
Ajaran tentang Tumimbal Lahir (Rebirth) dalam Agama Buddha perlu dibedakan dari gagasan tentang Penitisan Kembali (Reincarnation) dalam agama lain, yang merujuk pada perpindahan suatu roh kekal (�tman) dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya dalam suatu proses penyucian diri hingga akhirnya bergabung kembali dengan Roh-Asal yang Luhur (Parama-�tman). Agama Buddha juga menolak adanya makhluk titisan (avat�ra) yang secara legandaris turun ke dunia dalam wujud manusia atau hewan untuk menumpas kejahatan dan menganjurkan kebajikan [berdasarkan Kitab Bhagavad-G�t�]. Buddha Gotama bukanlah salah seorang [dari sepuluh] penitisan ViSu sebagaimana yang diakui oleh penganut aliran Agama Hindu [berdasarkan Kitab Bh�gavat, Var�ha, Agni dan ViSu-Pur�na].(11) Pengakuan yang mencuat belakangan dan mengimbas kuat sekitar abad kesepuluh Masehi -ketika Agama Buddha sedang menyebar keluar dari India- itu merupakan suatu siasat untuk 'mencaplok' serta 'menelan' Agama Buddha.(12)
Dalam Kitab ViSu-Pur�na tersirat dendam kesumat serta ketakpuasan kaum Hindu terhadap keberhasilan penyebaran Agama Buddha di India. Lazimnya, para dewa dan para iblis terlibat dalam peperangan, dan kemenangan selalu berada di pihak dewa. Namun, pada suatu kesempatan, para dewa terkalahkan. Para iblis berhasil mencapai kemenangan karena mereka telah menganut serta menjalankan ajaran Veda. Satu-satunya cara untuk dapat menaklukkan mereka ialah dengan membuat mereka melepaskan kepercayaan terhadap ajaran Veda. Para dewa memuja ViSu untuk mencari pertolongan. ViSu kemudian menciptakan wujud khayalan (m�y�moha); pertama kali muncul sebagai pertapa telanjang (digambara) yang mengacu pada Jainisme, untuk membujuk para iblis agar melaksanakan praktek penebusan karma buruk; dan selanjutnya muncul sebagai bhikkhu berjubah merah(rakt�mbara) yang merujuk pada Agama Buddha, untuk membujuk para iblis agar mencampakkan upacara pengurbanan binatang sebagaimana yang dipujikan dalam kitab-kitab Veda. Terperdayainya para iblis merupakan kesempatan emas bagi para dewa.
Akhirnya, para iblis berhasil ditaklukkan. Mitos ini secara bermuslihat melecehkan Jainisme serta Agama Buddha sebagai penyebab kekalahan, kehancuran. Misi yang diemban oleh ViSu dalam menitis sebagai Buddha ialah untuk memperdayai para iblis dengan mewejangkan ajaran sesat (Adharma); bukan mengajarkan kebenaran (Dhamma) sebagaimana yang diyakini oleh umat Buddha.(13) Lebih daripada semua itu, penitisan ViSu yang kesepuluh [terakhir], dalam wujud sebagai Kalk� bertunggangan kuda putih dengan pedang terhunus, konon dikatakan mengemban misi utama dalam membasmi para penganut Agama Buddha dari seluruh muka bumi.
Dalam Kitab Upaniad termuat banyak penjabaran tentang �tman. �tman ini dikatakan terbebas dari kematian (vimtyuh) serta kesedihan(viokah) dan mempunyai pemikiran yang nyata (satyasamkalpah). Kadangkala �tman diidentifikasikan sebagai 'diri' dalam keadaan bermimpi atau dalam keadaan tertidur pulas. �tman dapat dipisahkan dan mengembara keluar dari tubuh jasmaniah -terutama sewaktu sedang tidur ibarat pedang yang dapat dikeluarkan dari sarungnya. Bagi para penganut Jainisme, �tman yang diidentikkan dengan kehidupan (j�va), bersifat terbatas dan beraneka ragam bentuk serta ukurannya. Bukan hanya umat manusia yang memiliki �tman tetapi segala sesuatu di alam semesta ini juga memilikinya. Beberapa �j�vaka menganggap �tman itu berwarna biru, berbentuk segi delapan (octagonal) atau bundar (globular),dan berjarak lima ratus yojana. Bagaimanapun, segala gagasan tentang '�tman' atau 'atta' ditolak dengan tegas oleh Buddha Gotama; kecuali sebagai sebutan sehari-hari dalam persepakatan umum. Sakk�ya-ditthi atau Atta-ditthi [pandangan atas keberadaan roh yang kekal] adalah belenggu (samyojana) pertama yang merintangi jalan menuju pencapaian kesucian batin.
Seseorang mungkin akan bertanya, "Kalau dalam Agama Buddha tidak dipercayai adanya suatu roh yang kekal, lalu apa yang bertumimbal lahir kembali dalam kehidupan mendatang?" Yang bertumimbal lahir kembali ialah unsur-unsur batiniah (n�ma) dan jasmaniah (r�pa) -yang kerap disebut lima kelompok kehidupan (pa�cakkhandha). Kalau dipertanyakan lebih lanjut apakah yang bertumimbal lahir kembali itu merupakan suatu batin-jasmani yang sama, jawabannya ialah 'bukan'. Batin-jasmani tidaklah bersifat kekal [tak berubah sama sekali]. Dalam kenyataan, kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung dalam perubahan yang terus-menerus (sant�na, continuous flux). Kita pada saat ini bukanlah kita yang sama pada saat sebelum atau saat kemudian. Kita pada hari ini bukanlah kita yang sama pada hari kemarin atau esok. Namun, kita pada kehidupan ini berasal dari kita pada kehidupan-kehidupan yang lampau, dan ini semua kemudian menjadi persyaratan bagi kita pada kehidupan mendatang. Seseorang mungkin akan menyanggah, "Jika bukan sesuatu yang sama, mengapa kita pada kehidupan mendatang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatan kita dalam kehidupan sekarang dan lampau?"
Untukmenganggapi sanggahan semacam ini, N�gasena Thera menyajikan suatu perumpamaan yang gamblang tentang pencuri mangga. Ketika dituduh mencuri mangga oleh pemiliknya, pencuri itu berkilah bahwa mangga yang ia ambil bukanlah mangga yang sama dengan yang ditanam oleh pemiliknya. Karena itu, ia tidak patut menerima hukuman apa pun. Apakah karena [bibit] mangga yang ditanam tidaklah persis sama seperti [buah] mangga yang diambil, pencuri itu terbebas dari delik pencurian? Tidak bukan? Demikian pula, bukanlah karena tidak ada roh yang kekal, suatu makhluk tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Ini dapat diibaratkan dengan hukum Daya Tarik Bumi (Gravitation) yang bersifat universal, yang menarik semua benda tanpa kecuali -entah berjiwa atau tidak.
NB:
11 Naasnya, gagasan tentang avat�ra ini kemudian dikembangkan oleh para penganut Mah�y�na. Dalam Saddharma-pundar�ka S�tra, Sang Buddha dipersanjung secara berlebih-lebihan sebagai dewa dari para dewa yang telah hidup sejak waktu yang nirhingga (infinity) dan akan hidup untuk selamanya (forever). Peraihan Nirv�na sebagai S�kyamuni Buddha hanyalah suatu khayalan belaka (illusion), yang semata-mata hendak Beliau perlihatkan (nirm�na-k�ya). Sang Buddha dipercayai sebagai Bapa Dunia (the Father of the World), Juru Selamat (Saviour) dan Pelindung (Protector) semua makhluk.
12 Para penganut Agama Hindu yang bersalin dari Brahmanisme bukan hanya menampung pendiri Agama Buddha, melainkan juga menyerap beberapa ajaran Sang Buddha seperti 'ketanpakekerasan' (ahims�).
13 Mitos tersebut memperlihatkan adanya keberpihakan Agama Hindu kepada para dewa, dan kebencian terhadap para iblis [pilih-kasih]. Yang dipentingkan bukanlah keyakinan terhadap ajaran Veda. Para iblis yang telah menganut serta menjalankan ajaran Veda, secara licik diperdayai untuk melepaskannya demi keunggulan (superiority) para dewa. Prinsip semacam ini sangatlah bertentangan dengan paham Agama Buddha. Agama diperuntukkan bagi kepentingan semua makhluk hidup tanpa kecuali; bukan sebaliknya makhluk-makhluk tertentu sengaja diciptakan dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan agama.