Log in

View Full Version : Buddha


Buddha
18th November 2010, 10:53 AM
Bagi seorang pencerita, rasanya ideal jika hidup Buddha berakhir dengan luara biasa. Kita menahan napas menanti hal itu. Awalnya ia hidup seperti pangeran tampan di negri dongeng, lalu pada bagian berikutnya ia hidup sebagai pertapa pengembara, mengalami berbagai ujian dan penderitaan, sampai akhirnya mencapai puncak yang brilian ketika ia mendapatkan pencerahan dalam waktu satu malam, di bawah pohon Bodhi. Dimana kehidupan luar biasa ini akhirnya tamat?

Ternyata tepat di bumi. Buddha hidup tenang selama 45 tahun berikutnya, berkelana menjelajahi India Utara sebagai guru terkenal sebelum wafat pada usia delapan puluh tahun. Ia wafat karena memakan daging babi yang sudah tidak bagus, sungguh suatu akhir yang begitu rendah hati dan sangat biasa.

Untuk memuaskan kerinduan kita pada hal dramatis, kita harus melihat karakter-karakter lain dalam kisah ini. Orang-orang yang dekat dengan Siddharta menikmati reuni yang hangat dengannya. Yashodara dan putranya Rahula, menjadi pengikut Buddha yang taat, dan rasanya cukup pantas. Mereka dihormati sampai akhir hidup mereka. Takdir para karakter lain lebih rumit. Lingkaran pengikut Buddha yang bertambah besar, yang dikenal dengan nama Sangha, juga meliputi dua tokoh yang kurang bias menyesuaikan diri, musuh besarnya, Devadatta, serta Channa si prajurit yang kasar. Menurut cerita, Devadatta tetap angkuh dan menyimpan dengki; bahkan sebagai murid dia membuat masalah. Dalam salah satu kisah terkenal, Devadatta mencoba membunuh Buddha dengan cara menggulingkan batu ke arahnya; dalam kisah yang lain ia membuat mabuk seekor gajah dan mengirim binatang itu menyerang Sang Welas Asih. (Buddha berhasil menghindari keduanya)Seperti yang sering terjadi, tokoh jahat dalam kisah itu terlalu menarik untuk dilewatkan, jadi ada banyak kisah tentang intrik politik dengan pangeran kerajaan tetangga bernama Ajatashatru, juga kisah-kisah kecil tentang Devadatta yang memprotes berbagai ajaran yang disampaikan Buddha pada para pengikutnya. Sulit bagi seorang pencerita untuk menggambarkan seluk-beluk berbagai intrik yang terjadi di ashram.

Channa juta tidak terlalu betah mengikuti aturan. Setelah melepaskan perannya sebagai pengemudi kereta perang yang gagah berani, Channa kecewa karena statusnya diturunkan menjadi bhikku. Dosa utamanya adalah kesombongan. Ia selalu mengingatkan semua orang bahwa ia dulu sahabat karib Sidharta. Ia bersikap terlalu akrab dengan Buddha sehingga para pengikut lain merasa tidak nyaman. Sampai suatu ketika kelakukan buruk Channa bahkan sudah melampauibatas toleransi Buddha. Pemimpin para muird, Ananda, yang menurut runutan sejarah adalah sepupu Buddha, dikirim untuk memperingatkan Channa, dan sejak itu mereka berpisah jalan. Ada yang menyebutkan Channa menerima peringatan itu dengan gusar, kemudian berubah. Versi lain menyebutkan Channa menjadi depresi lalu bunuh diri.

Tapi kit asalah jika kecewa pada tokoh kita. Pencerahan hanyalah awal dari kebangkitan spiritual Buddha, yang sangat luar biasa dilihat dari berbagai sisi. Buddhisme mengguncang dunia spiritual India, menghancurkan hak-hak istimewa kasta Brahmana dan mengangkat kehormatan spiritual orang-orang berkasta rendah yang tadinya merupakan kalangan terpinggirkan hingga kedudukan mereka sejajar.

Buddha meniup kuil-kuil seperti hembusan angin kencang dan dengan jenius menyederhanakan kesulitan manusia menjadi suatu masalah utama: Penderitaan. Jika penderitaan selalu ada dalam setiap kehidupan, katanya, maka sebelum ada akhir penderitaan, pencerahan tak ada gunanya. Yang sama tak bergunanya adalah semua teori tentang Tuhan atau dewa-dewa, surge dan neraka, dosa, penebusan, jiwa dan lain sebagainya. Ini bentuk reformasi yang paling tegas, dan banyak yang tidak bisa menerimanya. Orang-orang menginginkan Tuhan. Buddha bahkan menolak untuk membahas apakah Tuhan sungguh-sungguh ada. Ia sendiri dengan tegas menolak bahwa dirinya sosok Ilahi. Orang-orang menginginkan sesuatu yang sudah biasa mereka lakukan, ritual dan upacara. Buddha menghindari upacara. Ia ingin setiap orang melihat ke dalam dan menemukan kemerdekaan melalui perjalanan pribadi yang dimulai di dunia fisik dan berakhir di Nirvana, tingkat kesadaran yang suci serta abadi. Ia mengajarkan bahwa setiap orang memiliki Nirvana, tapi Nirvana bagaikan mata air murni yang terletak jauh di dalam bumi. Untuk mencapainya dibutuhkan konsentrasi, bakti dan kerja keras.

Tidak heran ajakan Buddha untuk kebangunan diri sangat menarik dan sangat sulit. Jalan Tengah, yang dijuluki begitu karena tidak terlalu keras namun juga tidak terlalu mudah, terbukti sangat memikat, namun perjalanan menuju Nirvana sangat sunyi dan pemandangan sepanjang perjalanan itu tidak terlalu indah. Namun ajarannya tak terbantahkan. Semua yang dikothbahkan Buddha secara logis mengacu pada Kebenaran Mulia Pertama, yang juga merupakan hal pertama yang dikatakan Buddha kepada kelipa pertapa setelah ia tercerahkan: kehidupan mengandung penderitaan. Tiga ajaran berikutnya lebih mirip dengan psikoterapi modern daripada agama biasa:

KEBENARAN MULIA PERTAMA: Kehidupan mengandung penderitaan.
KEBENARAN MULIA KEDUA: Penderitaan memiliki sebab, dan sebabnya dapat diketahui.
KEBENARAN MULIA KETIGA: Penderitaan dapat diakhiri.
KEBENARAN MULIA KEEMPAT: Jalan untuk mengakhiri penderitaan memiliki delapan ruas.

Sekarang tugas si pencerita sudah terlampaui karena keempat pernyataan sederhana tersebut menimbulkan ledakan teologi yang tersebar ke seluruh Asia dan dunia. Berkat ajaran Buddha selama berpuluh puluh tahun, kader-kader murid yang sepenuhnya berkomitmen pada ajaran Buddha melintasi Himalaya dan mengembara sejauh mereka bisa melangkah. Deretan budaya yang mengalami revolusi para bhikku pengembara ini sangat mencengangkan: Tibet, Nepal, Cina, Jepang, Korea, Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Myanmar, Vietnam, jusa sampai ke Malaysia dan Indonesia. Dalam banyak kasus, para penyebar agama Buddha menciptakan kebudayaan baru. Seorang pengamat yang melihat dari luar hanya bisa ternganga kagum.

Kenapa orang-orang begitu mantap menerima ajaran baru ini? Karena Kebenaran Mulia Pertama tidak terbantahkan. Orang-orang tahu mereka menderita, dan bukannya menunjukkan jalan keluar, agama-agama mereka yang lama malah memberikan pengganti dalam bentuk dogma, doa-doa, berbagai ritual dan sejenisnya. Dalam bentuk paling sederhana, Buddhisme berjalan menuju alun-alun dan berkata, �Inilah delapan hal yang akan membuka jalan menuju damai dan bukan kesengsaraan.� Delapan Ruas Jalan Utama meminta setiap orang untuk mengubah cara piker mereka, mencabut segala hal yang salah, tak berguna, serta penuh prasangka, kemudian mengganti kebiasaan-kebiasaan lama tersebut dengan peningkatan kesadaran. Dengan kata lain, proses untuk menjadi sadar, yang Buddha alami dalam semalam, disusun dalam pedoman hidup berikut:

� Pandangan benar
� Pikiran Benar
� Perkataan benar
� Perbuatan benar
� Mata pencaharian benar
� Daya upaya benar
� Kesadaran benar
� Meditasi benar

Beberapa langkah ini terdengar natural. Kita semua ingin percaya perbuatan dan perkataan kita adalah baik. Kita tidak ingin memiliki perbuatan atau pikiran yang buruk. Langkah-langkah lainnya membutuhkan bimbingan khusus. Apa yang dimaksud dengan kesadaran benar? Meditasi benar? Semua aspek ini berakar pada latihan-latihan meditasi Yoga yang juga dirombak oleh Buddha supaya bisa dilaksanakan oleh orang awam.

Sebagai seorang pencerita, saya rasa bukan tugas saya untuk menyebarkan Buddhisme. Biarlah itu dilakukan oleh para penyebar agama versi modern yang merupakan pengikut Buddha sejati. Rasanya tak pantas bagi saya untuk mengambil tempat mereka. Namun saya ingin berbicara dengan anda, para pembaca, yang mungkin baru kali ini mencoba mengenal Buddha. Saya juga begitu, dan jelas saya bertanya: Apa gunanya ajaran ini bagi saya? Apakah ada sesuatu yang akan membuka mata saya dan membuat saya lebih sadar, saat ini juga?

Secara pribadi, saya menemukan tiga hal. Ketiganya dikenal dengan tiga corak umum Dharma (Tilakkhana �ed), atau dalam bahsa sehari-hari, Tiga Fakta mendasar tentang Keberadaan. Ketiga hal ini lebih berpengaruh bagi saya ketimbang Jalan Tengah karena bersifat universal, melampaui batasan-batasan agama.

1. Duddha
Kehidupan tidak memberikan kepuasan. Kenikmatan dalam dunia materi bersifat sementara. Kesengsaraan akan muncul tanpa bisa ditolak. Karena itu, tak satupun pengalaman kita dapat memberikan kepuasan mendalam. Perubahan takkan pernah berhenti.
2. Anicca
Segalanya tidak kekal. Semua pengalaman terus berganti dan berubah. Sebab dan akibat bergerak tanpa henti dan membingungkan. Karena itu seseorang takkan pernah mendapatkan kepastian atau kekekalan
3. Anatta
Diri yang tanpa aku yang kekal tak dapat diandalkan dan sepenuhnya tidak nyata. Apa yang kita sebut jiwa dan kepribadian hanyalah khayalan dan bayangan. Kita tidak pernah berhenti berusaha membuat diri kita nyata, tapi kita juga tak pernah berhasil. Karena itu kita berpegang pada kepercayaan terhadap ilusi.

Bisakah orang membaca ketiga hal tersebut tanpa tergetar? Buddha bukan hanya guru baik hati yang ingin supaya oran-orang mendapat kedamaian. Ia dokter bedah radikal yang memeriksa mereka dan berkata, �Jelas saja kalian sakit. Kalian sudah dipenuhi dengan Ilusi dan sekarang kita harus menyingkirkan semua itu,� Wajar saja jika banyak pendengar kembali ke agama tradisional mereka, banyak juga yang kembali pada meterialisme, yang menjanjikan bahwa tubuh, pikiran, serta dunia materi benar-benar nyata.

Kenapa kita harus menerima kata-kata Buddha bahwa itu semua tidak nyata? Menurut saya, itulah pertanyaan utamanya. Tidak sulit untuk menerima bahwa kehidupan seseorang mengundang penderitaan, dan tidak terlalu sulit juga menerima bahwa pergantian dan perubahan menyebabkan ketidakpuasan. Tapi untuk menerima bahwa seluruh dunia serta semua orang yang ada di dalamnya hanya ilusi? Itu tantangan besar, dan kesadaran kita harus benar-benar mengalami pergeseran untuk memahami hal tersebut.

Kata �ilusi� memiliki sekumpulan makna, beberapa diantaranya sangat menarik. Misalkan, ilusi bahwa jika kau jatuh cinta itu akan berlangsung selamanya. Ilusi bahwa kau takkan pernah mati. Ilusi bahwa ketidaktahuan adalah kebahagiaan. Buddha melihat bahaya tersembunyi di balik semua itu. Ia tak pernah bicara keras, namun saya bisa membayangkannya memecahkan semua gelembung itu: cinta berakhir, semua orang mati, ketidaktahuan adalah kebodohan. Namun jika berhenti sampai di situ, Buddha hanya akan menjadi moralis membosankan.

Definisinya tentang ilusi begitu tepat, bahkan nyaris menakutkan. Segala sesuatu yang bisa dilihat, didengar, atau disentuh tidak nyata. Apa pun yang kita anggap kekal juga tidak nyata. Apa pun yang bisa dipikirkan juga tidak nyata. Apakah ada sesuatu yang terlepas dari cengkeraman ilusi?

Tidak ada.

Namun saat kita tidak lagi terkejut, Buddha mengumumkan bahwa dengan pergeseran kesadaran, kenyataan akan timbul dengan sendirinya. Bukan sebagai benda. Bukan sebagai sensasi. Bukan juga sebagai pikiran selintas. Kenyataan adalah sebagimana ia adanya. Itulah dasar keberadaan, sumber tempat segala sesuatu yang dihasilkan. Dalam istilah yang paling mendasar, Buddhisme mengganti seluruh bayangan tanpa akhir dengan satu Keberadaan yang utuh. Kebebasan yang benar-benar utuh sehingga tidak perlu lagi dipikirkan atau disebut namanya.

Kisahnya sama sekali bukan kisah pangeran yang romantic, pertapa yang menderita atau orang suci yang penuh kemenangan. Siddharta menyadari kebenaran, yang terdengar sangat inspiratif, namun dalam hal ini kebenaran itu mengubah seluruh dirinya. Kebenaran ini menjungkirbalikkan setiap kepercayaan, menyusikan setiap indra dan menjernihkan pikiran yang kalut secara total. Lewat mata Buddha, akar penderitaan adalah ilusi, dan satu satunya jalan keluar dari ilusi adalah dengan berhenti percaya pada keberadaan diri yang tidak kekal serta dunia yang mendukung keberadaan diri yang seperti itu. Tak ada pesan spiritual yang seradikal itu. Tak ada juga pesan yang sepenting itu.