Buddha
18th November 2010, 10:51 AM
AJARAN �TANPA AKU�
Sebagai seorang Buddhis, kita seharusnya mengulang ajaran Sang Buddha dari saat ke saat. Untuk kesempatan kali ini, marilah kita mengulang ajaran anatta yang telah dijelaskan dari berbagai aspek dan cukup mendetail oleh Sang Buddha. Ada sekelompok orang yang mengajarkan bahwa terdapat sesuatu yang tidak berubah, yang tetap, yang nyata, yang abadi di dalam diri ini. Ada yang menyebut hal tersebut sebagai citta dengan menjelaskan bahwa citta jenis ini kekal, dan citta jenis yang lain tidak. Ini adalah ajaran yang tak sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Dengan jelas tak ada sesuatupun yang abadi/kekal yang terdapat di diri ini.
Tahukah kita bagaimana Bhante Ananda memperoleh pengertian Dhammanya? Sama sekali bukan dari Sang Buddha secara langsung. Ia mengerti dan memperoleh mata Dhammanya melalui seorang bhikkhu yang bijaksana. Diskusi mereka adalah diskusi yang sangat menarik. Bhikkhu tersebut menasehati Bhante Ananda, �Ananda, oleh karena diri ini memiliki unsur-unsur yang terlihat/terkesan abadi/kekal, maka dari itulah orang-orang menganggapnya abadi/kekal.� Kemudian ia mengajari Bhante Ananda kenyataan tentang diri ini.
Ajaran ini bukanlah ajaran yang mudah dimengerti. Bila mudah, kita dapat mengharapkan Bhante Ananda akan memperoleh mata Dhamma tersebut dari Sang Buddha karena Bhante Ananda banyak mendengarnya dari Sang Buddha secara langsung. Akan tetapi setelah dijelaskan sedikit berbeda (dari aspek yang sedikit berbeda), Bhante Ananda barulah terbuka mata Dhammanya. Dhamma ini seharusnya dijelaskan dengan metode yang mudah dimengerti dan bukan dijelaskan dengan teori-teori yang membingungkan. Jadi memang begitulah, ketiga murid utama Sang Buddha�Bhante Sariputta, Maha Moggalana, dan Ananda�memperoleh mata Dhamma mereka bukan langsung dari Sang Buddha.
Badan/tubuh/jasmani ini bukanlah diri yang sejati. Kenapa bukan? Seandainya ia memang benar-benar milik kita, maka ia tak akan meninggalkan kita. Ia tak akan menjadi sakit, tua, dan mati. Tetapi karena ia bukan milik kita, maka keberadaannya hanya tergantung situasi dan kondisi. Inilah yang disebut oleh Sang Buddha sebagai �tanpa aku.� Jangan kita menganggap sesuatu yang bukan milik kita sebagai kita atau milik kita.
Badan/tubuh/jasmani ini terdiri dari indera penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap rasa, peraba. Melalui indera inilah objek-objek disadari oleh kita. Bentuk mampu dilihat, aroma mampu dicium, suara mampu didengar, rasa mampu dirasa, benda mampu diraba. Seandainya indera kita rusak, maka proses ini tak akan bisa berfungsi. Misalnya orang buta tak dapat melihat, orang tuli tak dapat mendengar, dst. Melihat, mencium, mendengar, merasa, meraba ini dinamakan proses pencerapan. Proses pencerapan dikatakan oleh Sang Buddha sebagai sesuatu yang bukan diri. Mengapa? Karena pertama-tama tak ada objek (bentuk, aroma, suara, rasa, benda) yang kekal/abadi. Semua objek tergantung oleh banyak hal dan tak kekal. Kedua, badan jasmani ini atau kelima indera ini sendiri adalah tak kekal. Setelah kita tua, kelima indera ini akan rapuh. Inilah kenyataan tentang tubuh dan indera ini. Maka oleh karena objek dan indera yang tak kekal ini, maka tak mungkin pencerapan ini bisa kekal keberadaannya. Mengapa? Karena tak mungkin sesuatu yang kekal tergantung pada sesuatu yang tak kekal. Pencerapan ini sebenarnya adalah pertemuan antara unsur materi dan unsur mental. Tanpa adanya unsur mental, tak mungkin ada proses pencerapan. Kita ambil contoh yang paling sederhana: orang yang sedang tertidur pulas tak akan mampu mendengar bisikan suara yang halus yang dapat ia dengar sewaktu ia tak sedang tidur. Jadi walau orang yang sedang tidur masih ada telinganya, dan suara bisikan itu ada, tetap saja ia tak akan mampu mendengar karena kesadarannya tersebut sedang lemah.
Mari kita membahas tentang kesadaran. Kesadaran ini dianggap sebagai diri oleh banyak orang. Oleh Sang Buddha kesadaran ini diperumpamakan sebagai api. Tetapi banyak juga orang yang menganggap api itu kekal. Jadi bila api dianggap kekal maka perumpamaan ini menjadi kurang sesuai. Lagi-lagi, apapun yang keberadaannya tergantung pada hal lain tak pantas kita anggap sebagai aku/milikku. Mengapa? Karena kita hanya akan menderita dibuatnya. Sesuatu yang keberadaannya tergantung pada hal lain pasti akan berubah. Dan ketika ia berubah maka kita akan menderita. Ada juga orang yang berkata, �Terimalah apa adanya maka engkau tak akan menderita.� Ini seharusnya tak dianggap demikian. Oleh Sang Buddha sendiri dikatakan, �Kelima kelompok (khanda) inilah aku nyatakan sebagai dukkha.� (Lima kelompok = badan, kesadaran, persepsi, perasaan, & pikiran). Kebanyakan orang mengaku adanya roh. Dan kebanyakan orang menganggap kesadaran inilah roh tersebut. Roh berpindah dari satu badan ke badan lain (tumimba lahir). Kesadaran berpindah dari satu badan ke badan lain juga. Begitu juga api pindah dari satu tempat ke tempat lain. Yang patut kita sadari tentang kesadaran ini adalah keberadaannya juga tergantung pada hal lain. Kata Sang Buddha, kesadaran ini berubah-ubah terus. Ketika ada suara keras, maka kesadaran akan condong ke sana (kesadaran pendengaran muncul dan bersatu dengan suara tersebut dan indera pendengar = munculah proses pendengaran). Ketika ada cahaya yang terang, maka kesadaran penglihatan akan muncul, dst. Begitulah kesadaran ini terus berpindah-pindah. Ia bukanlah sesuatu yang abadi. Orang bijaksana tak menganggapnya aku/milikku. Bagaikan api yang pindah dari lilin ke arang, maka sewaktu ia di lilin ia dekanal sebagai api lilin, di arang dikenal sebagai api arang, dst. Tetapi keberadaan api tersebut tergantung pada lilin/arang. Bila lilin atau arang habis, apakah mungkin api tersebut masih tetap ada? Tidak mungkin. Maka itulah yang dimaksud dengan tidak kekal dan bukan milik kita.
Perasaan adalah sesuatu yang dianggap diri oleh banyak orang. Hampir boleh dikatakan semua orang mau senang dan tak mau sedih. Ketika senang mereka mengatakan �aku senang,� dst. Mungkin bukan hal yang terlalu sulit untuk mejelaskan kepada orang lain bahwa perasaan ini bukanlah hal yang kekal. Yang lebih sulit adalah menyadari mereka (membuka mata mereka) akan kenyataan ini. Umumnya orang hanya sekedar mendengar dan tak menyediakan waktu mereka untuk benar-benar memahami ajaran Sang Buddha ini. Kita lahir disertai keterikatan yang sangat kuat terhadap perasaan ini. Melepaskan keterikatan terhadap perasaan bukanlah hal yang mudah. Seseorang harus melaksanakannya setahap demi setahap dengan cara yang tepat.
Pikiran adalah sesuatu yang juga sering disalah pahami sebagai sesuatu yang kekal/abadi. Bukanlah sulit bagi kita untuk mengetahui bahwa pikiran ini selalu berubah-ubah. Ajaran Sang Buddha menitik beratkan pada pelatihan pikiran ini. Tetapi ini bukan berarti ajaran Sang Buddha tak menitik beratkan pada perasaan, kesadaran, dst. Kenyataan tentang sifat asli dari semua unsur dari kelima kelompok ini sangat penting. Tetapi ada sesuatu hal mengenai pikiran ini yang unik. Hal unik tersebut adalah adanya kemungkinan pikiran ini dapat dikuasai oleh kebencian, keserakahan, dan kebodohan; dan adanya juga kemungkinan pikiran ini terbebas dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan. Kita seharusnya telah menyadari bahwa kebencian (dosa) dan keserakahan (lobha) adalah sumber penderitaan. Tetapi yang namanya kebodohan batin ini (moha) adalah sungguh sulit disadari. Mengapa? Gelap adalah sifatnya. Sungguh sulit dilihat adalah sifatnya.
Jadi mengapa ajaran Sang Buddha menitik beratkan pada pengembangan pikiran sedangkan pikiran itu sendiri telah diketahui sebagai sesuatu yang tak kekal/abadi dan bukan milik/diri ini? Alasannya adalah ajaran Sang Buddha bersifat bertahap dan mengajari kita untuk melepaskan [keterikatan]. Yakni tanpa mengembangkan pikiran ini terdahulu, tak mungkin seseorang dapat melenyapkan kebencian, keserakahan, dan kebodohan. Ketiga hal ini adalah sumber penderitaan yang sejati.
Bagaimanakah cara mengembangkan pikiran ini? Pertama-tama pikiran ini harus menyadari dulu makna sesungguhnya dari diri ini, yakni sesungguhnya adalah tanpa aku. Kelima kelompok ini muncul dan bertahan untuk sementara dan keberadaan mereka tergantung pada hal lain, yakni tak ada sesuatupun di diri ini yang kekal/abadi, tak ada yang keberadaanya tak tergantung pada hal lain. Setelah itu pikiran ini dikembangkan dengan mengurangi kebencian dan keserakahan dengan memakai perhatian (sati), kebijaksanaan, dan daya upaya. Bila saja cukup pengembangannya maka akan tiba saatnya pikiran ini akan menjadi jernih, bersih, tenang, dan tentram�dan saat itulah konsentrasi akan teraih (jhana). Setelah meraih konsentrasi ini, maka akan muncul suatu saat Dhamma ini akan dilihat secara langsung. Saat itulah semua kekotoran batin akan lenyap tanpa sisa. Inilah alasannya mengapa konsentrasi adalah bagian terakhir dari jalan utama berunsur delapan, dan pengertian adalah bagian pertama dari jalan utama berunsur delapan.
Maka sungguh besar manfaatnya bagi kita untuk merenungi ajaran anatta ini. Karena ajaran ini dapat membuka mata Dhamma. Dan karena ajaran ini dapat mengurangi kebencian dan keserakahan. Dan karena ajaran ini dapat melenyapkan kebencian dan keserakahan secara tuntas. Dan lebih dari itu, ajaran ini juga dapat melenyapkan semua kekotoran batin.
Sebagai seorang Buddhis, kita seharusnya mengulang ajaran Sang Buddha dari saat ke saat. Untuk kesempatan kali ini, marilah kita mengulang ajaran anatta yang telah dijelaskan dari berbagai aspek dan cukup mendetail oleh Sang Buddha. Ada sekelompok orang yang mengajarkan bahwa terdapat sesuatu yang tidak berubah, yang tetap, yang nyata, yang abadi di dalam diri ini. Ada yang menyebut hal tersebut sebagai citta dengan menjelaskan bahwa citta jenis ini kekal, dan citta jenis yang lain tidak. Ini adalah ajaran yang tak sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Dengan jelas tak ada sesuatupun yang abadi/kekal yang terdapat di diri ini.
Tahukah kita bagaimana Bhante Ananda memperoleh pengertian Dhammanya? Sama sekali bukan dari Sang Buddha secara langsung. Ia mengerti dan memperoleh mata Dhammanya melalui seorang bhikkhu yang bijaksana. Diskusi mereka adalah diskusi yang sangat menarik. Bhikkhu tersebut menasehati Bhante Ananda, �Ananda, oleh karena diri ini memiliki unsur-unsur yang terlihat/terkesan abadi/kekal, maka dari itulah orang-orang menganggapnya abadi/kekal.� Kemudian ia mengajari Bhante Ananda kenyataan tentang diri ini.
Ajaran ini bukanlah ajaran yang mudah dimengerti. Bila mudah, kita dapat mengharapkan Bhante Ananda akan memperoleh mata Dhamma tersebut dari Sang Buddha karena Bhante Ananda banyak mendengarnya dari Sang Buddha secara langsung. Akan tetapi setelah dijelaskan sedikit berbeda (dari aspek yang sedikit berbeda), Bhante Ananda barulah terbuka mata Dhammanya. Dhamma ini seharusnya dijelaskan dengan metode yang mudah dimengerti dan bukan dijelaskan dengan teori-teori yang membingungkan. Jadi memang begitulah, ketiga murid utama Sang Buddha�Bhante Sariputta, Maha Moggalana, dan Ananda�memperoleh mata Dhamma mereka bukan langsung dari Sang Buddha.
Badan/tubuh/jasmani ini bukanlah diri yang sejati. Kenapa bukan? Seandainya ia memang benar-benar milik kita, maka ia tak akan meninggalkan kita. Ia tak akan menjadi sakit, tua, dan mati. Tetapi karena ia bukan milik kita, maka keberadaannya hanya tergantung situasi dan kondisi. Inilah yang disebut oleh Sang Buddha sebagai �tanpa aku.� Jangan kita menganggap sesuatu yang bukan milik kita sebagai kita atau milik kita.
Badan/tubuh/jasmani ini terdiri dari indera penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap rasa, peraba. Melalui indera inilah objek-objek disadari oleh kita. Bentuk mampu dilihat, aroma mampu dicium, suara mampu didengar, rasa mampu dirasa, benda mampu diraba. Seandainya indera kita rusak, maka proses ini tak akan bisa berfungsi. Misalnya orang buta tak dapat melihat, orang tuli tak dapat mendengar, dst. Melihat, mencium, mendengar, merasa, meraba ini dinamakan proses pencerapan. Proses pencerapan dikatakan oleh Sang Buddha sebagai sesuatu yang bukan diri. Mengapa? Karena pertama-tama tak ada objek (bentuk, aroma, suara, rasa, benda) yang kekal/abadi. Semua objek tergantung oleh banyak hal dan tak kekal. Kedua, badan jasmani ini atau kelima indera ini sendiri adalah tak kekal. Setelah kita tua, kelima indera ini akan rapuh. Inilah kenyataan tentang tubuh dan indera ini. Maka oleh karena objek dan indera yang tak kekal ini, maka tak mungkin pencerapan ini bisa kekal keberadaannya. Mengapa? Karena tak mungkin sesuatu yang kekal tergantung pada sesuatu yang tak kekal. Pencerapan ini sebenarnya adalah pertemuan antara unsur materi dan unsur mental. Tanpa adanya unsur mental, tak mungkin ada proses pencerapan. Kita ambil contoh yang paling sederhana: orang yang sedang tertidur pulas tak akan mampu mendengar bisikan suara yang halus yang dapat ia dengar sewaktu ia tak sedang tidur. Jadi walau orang yang sedang tidur masih ada telinganya, dan suara bisikan itu ada, tetap saja ia tak akan mampu mendengar karena kesadarannya tersebut sedang lemah.
Mari kita membahas tentang kesadaran. Kesadaran ini dianggap sebagai diri oleh banyak orang. Oleh Sang Buddha kesadaran ini diperumpamakan sebagai api. Tetapi banyak juga orang yang menganggap api itu kekal. Jadi bila api dianggap kekal maka perumpamaan ini menjadi kurang sesuai. Lagi-lagi, apapun yang keberadaannya tergantung pada hal lain tak pantas kita anggap sebagai aku/milikku. Mengapa? Karena kita hanya akan menderita dibuatnya. Sesuatu yang keberadaannya tergantung pada hal lain pasti akan berubah. Dan ketika ia berubah maka kita akan menderita. Ada juga orang yang berkata, �Terimalah apa adanya maka engkau tak akan menderita.� Ini seharusnya tak dianggap demikian. Oleh Sang Buddha sendiri dikatakan, �Kelima kelompok (khanda) inilah aku nyatakan sebagai dukkha.� (Lima kelompok = badan, kesadaran, persepsi, perasaan, & pikiran). Kebanyakan orang mengaku adanya roh. Dan kebanyakan orang menganggap kesadaran inilah roh tersebut. Roh berpindah dari satu badan ke badan lain (tumimba lahir). Kesadaran berpindah dari satu badan ke badan lain juga. Begitu juga api pindah dari satu tempat ke tempat lain. Yang patut kita sadari tentang kesadaran ini adalah keberadaannya juga tergantung pada hal lain. Kata Sang Buddha, kesadaran ini berubah-ubah terus. Ketika ada suara keras, maka kesadaran akan condong ke sana (kesadaran pendengaran muncul dan bersatu dengan suara tersebut dan indera pendengar = munculah proses pendengaran). Ketika ada cahaya yang terang, maka kesadaran penglihatan akan muncul, dst. Begitulah kesadaran ini terus berpindah-pindah. Ia bukanlah sesuatu yang abadi. Orang bijaksana tak menganggapnya aku/milikku. Bagaikan api yang pindah dari lilin ke arang, maka sewaktu ia di lilin ia dekanal sebagai api lilin, di arang dikenal sebagai api arang, dst. Tetapi keberadaan api tersebut tergantung pada lilin/arang. Bila lilin atau arang habis, apakah mungkin api tersebut masih tetap ada? Tidak mungkin. Maka itulah yang dimaksud dengan tidak kekal dan bukan milik kita.
Perasaan adalah sesuatu yang dianggap diri oleh banyak orang. Hampir boleh dikatakan semua orang mau senang dan tak mau sedih. Ketika senang mereka mengatakan �aku senang,� dst. Mungkin bukan hal yang terlalu sulit untuk mejelaskan kepada orang lain bahwa perasaan ini bukanlah hal yang kekal. Yang lebih sulit adalah menyadari mereka (membuka mata mereka) akan kenyataan ini. Umumnya orang hanya sekedar mendengar dan tak menyediakan waktu mereka untuk benar-benar memahami ajaran Sang Buddha ini. Kita lahir disertai keterikatan yang sangat kuat terhadap perasaan ini. Melepaskan keterikatan terhadap perasaan bukanlah hal yang mudah. Seseorang harus melaksanakannya setahap demi setahap dengan cara yang tepat.
Pikiran adalah sesuatu yang juga sering disalah pahami sebagai sesuatu yang kekal/abadi. Bukanlah sulit bagi kita untuk mengetahui bahwa pikiran ini selalu berubah-ubah. Ajaran Sang Buddha menitik beratkan pada pelatihan pikiran ini. Tetapi ini bukan berarti ajaran Sang Buddha tak menitik beratkan pada perasaan, kesadaran, dst. Kenyataan tentang sifat asli dari semua unsur dari kelima kelompok ini sangat penting. Tetapi ada sesuatu hal mengenai pikiran ini yang unik. Hal unik tersebut adalah adanya kemungkinan pikiran ini dapat dikuasai oleh kebencian, keserakahan, dan kebodohan; dan adanya juga kemungkinan pikiran ini terbebas dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan. Kita seharusnya telah menyadari bahwa kebencian (dosa) dan keserakahan (lobha) adalah sumber penderitaan. Tetapi yang namanya kebodohan batin ini (moha) adalah sungguh sulit disadari. Mengapa? Gelap adalah sifatnya. Sungguh sulit dilihat adalah sifatnya.
Jadi mengapa ajaran Sang Buddha menitik beratkan pada pengembangan pikiran sedangkan pikiran itu sendiri telah diketahui sebagai sesuatu yang tak kekal/abadi dan bukan milik/diri ini? Alasannya adalah ajaran Sang Buddha bersifat bertahap dan mengajari kita untuk melepaskan [keterikatan]. Yakni tanpa mengembangkan pikiran ini terdahulu, tak mungkin seseorang dapat melenyapkan kebencian, keserakahan, dan kebodohan. Ketiga hal ini adalah sumber penderitaan yang sejati.
Bagaimanakah cara mengembangkan pikiran ini? Pertama-tama pikiran ini harus menyadari dulu makna sesungguhnya dari diri ini, yakni sesungguhnya adalah tanpa aku. Kelima kelompok ini muncul dan bertahan untuk sementara dan keberadaan mereka tergantung pada hal lain, yakni tak ada sesuatupun di diri ini yang kekal/abadi, tak ada yang keberadaanya tak tergantung pada hal lain. Setelah itu pikiran ini dikembangkan dengan mengurangi kebencian dan keserakahan dengan memakai perhatian (sati), kebijaksanaan, dan daya upaya. Bila saja cukup pengembangannya maka akan tiba saatnya pikiran ini akan menjadi jernih, bersih, tenang, dan tentram�dan saat itulah konsentrasi akan teraih (jhana). Setelah meraih konsentrasi ini, maka akan muncul suatu saat Dhamma ini akan dilihat secara langsung. Saat itulah semua kekotoran batin akan lenyap tanpa sisa. Inilah alasannya mengapa konsentrasi adalah bagian terakhir dari jalan utama berunsur delapan, dan pengertian adalah bagian pertama dari jalan utama berunsur delapan.
Maka sungguh besar manfaatnya bagi kita untuk merenungi ajaran anatta ini. Karena ajaran ini dapat membuka mata Dhamma. Dan karena ajaran ini dapat mengurangi kebencian dan keserakahan. Dan karena ajaran ini dapat melenyapkan kebencian dan keserakahan secara tuntas. Dan lebih dari itu, ajaran ini juga dapat melenyapkan semua kekotoran batin.